Urgensi Pendidikan Bagi Wanita  

Wednesday, June 20, 2007

Oleh: Aini Aryani M

Kemajuan wanita adalah sebagai ukuran kemajuan suatu negeri. Kaum ibu yang dapat menggoyangkan buaian dengan tangan kirinya, dapat pula menggoyangkan dunia dengan tangan kanannya.” ( Napoleon Bonaparte )

Boomingnya arus globalisasi, mengharuskan setiap individu untuk turut berperan aktif didalamnya, baik itu laki-laki atau perempuan. Sayangnya, statement yang menyatakan bahwa tugas wanita hanya terbatas dalam rumah semata masih mengakar sampai saat ini, hingga tidak sedikit wanita yang enggan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan alasan telah menguasai “ilmu” memasak dan berhias yang mereka anggap sebagai “pengetahuan inti seorang wanita” dan merasa tidak perlu menuntut pendidikan yang tinggi. Padahal lebih dari itu, seorang wanita dikaruniai kemampuan lebih dari sekedar menunaikan tugas domestiknya. Memang, seorang wanita tidak boleh mengabaikan rumah tangganya, dan tetap mencurahkan kasih sayang untuk keluarganya. Syed Muhammad Quthb berkata, “ Mother is the focus of attention for all the members of the family” ( Islam, The Miss understood Religion Quoted by Encyclopedia of Seerah ). Namun disamping itu, wanita memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan diri dalam masyarakat.

“Ibu adalah Al-Madrasah Al-Ula bagi putera puterinya.” Ungkapan tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa wanita hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup guna mendidik putera puterinya sebaik mungkin. Kewajiban menuntut ilmu yang tinggi tidak hanya diwajibkan bagi laki-laki, karena pendidikan juga teramat penting bagi wanita. Seorang wanita berpendidikan dapat memberikan kontribusi lebih besar bagi keluarga, masyarakat, agama, bahkan kepada bangsa. Sebagai contoh, seorang muslimah yang berasal dari Hamedan, Iran bernama Shirin Ebadi mendapat penghargaan Nobel Peace Prize di Oslo, Norwegia pada tanggal 10 Desember 2003 lalu. Ia adalah seorang pengacara muslimah yang memperjuangkan hak asasi manusia, menentang kekerasan terhadap anak-anak, serta membela wanita-wanita yang yang dirampas kemerdekaannya, sehingga mereka kembali mendapatkan hak-haknya. Dengan talenta, keramahan, dan keahliannya yang mengagumkan, Shirin Ebadi menjadi muslimah pertama di dunia yang mendapatkan penghargaan sekelas Nobel. Seorang Shirin Ebadi adalah salah satu wanita yang membuktikan bahwa wanita yang memiliki pendidikan dan kemampuan tertentu, dapat memberikan kontribusi lebih besar bagi masyarakat, agama, bahkan kepada negerinya.

Pada zaman Rasulullah SAW. dan di masa kepemimpinan khulafa`ur Rasyidin, para wanita telah banyak turut andil dalam membangun masyarakat dengan bekal pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Aisyah bint Abi Bakr, Ummu Salamah, Hafsah, dan Ummu Waraqah dikenal sebagai wanita yang banyak menghafal Al-Qur`an serta mendalami tafsirnya. Dengan pengetahuan tersebut mereka mengajari para wanita lainnya. Kemudian Ummu Habibah, Aisyah bint Abi Bakr, Fatimah Az Zahrah, Ummu Sharik, Shafiyah, Juwairiyah, Ummu Aiman, Asma bint Abi Bakr, serta Fatimah bint Qais dikenal sebagai wanita ahli syari`ah yang sering menjadi tempat bertanya seputar masalah-masalah syar`i bagi para wanita yang ingin mengetahui syariat islam secara mendalam. Ada pula wanita yang dikenal sebagai orator hebat bernama Zaraqah bint Adi. Dengan keahliannya dalam berorasi, ia mampu mengobarkan semangat tentara Ali Bin Abi Thalib di perang Shiffien ketika mereka mulai putus asa dalam berjuang.

Selain para wanita tersebut di atas, masih berderet panjang nama-nama wanita yang berperan penting dalam masyarakat di waktu itu. Seperti Asma bint Umis yang mendalami tafsir, Ummu Salamah yang mendalami Ilmu Asrar, Khansa dan Ummu Ziyad yang mendalami ilmu sastra, serta Rufadah Aslamiyah dan Ummu Muta` yang menguasai ilmu bedah dan obat-obatan. Bahkan Aisyah adalah seorang wanita yang dikenal banyak meriwayatkan hadits hingga menempati urutan keempat setelah Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan Anas bin Malik diantara para periwayat hadits. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya peranan wanita dalam banyak aspek.

Namun disamping kesibukan sosialnya diluar rumah, hendaknya wanita tidak mengabaikan kewajiban dalam rumah tangganya yang menjadi Natural and Domestic Duties for Women. Serta segala aktivitas dan pemikirannya hendaknya tidak berseteru dengan ketetapan syari`at yang ada. Karena jika berlebihan dalam hal emansipasi, dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam pemikiran feminisme radikal. Seperti Maryam Mirza yang nekat menjadi khatib sholat Ied di Toronto, Kanada pada hari raya Iedul Fitri November 2004. Atau seperti perbuatan aneh yang dilakukan oleh Prof. Dr. Aminah Wadud yang berani menjadi khatib jum`at sekaligus mengimami jamaah yang berjumlah sekitar 100 orang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang diadakan di sebuah katedral pada tanggal 18 maret 2005.

Memang, seorang filosof bernama Jean Jacques Rousseau pernah berkata, “ Man was born free but everywhere he is in chain.” Mungkin pernyataan tersebut ada benarnya. Namun, jika kita menjadikan “chain” tersebut sebagai rantai peraturan yang baik dan positif, maka “rantai” tersebut dapat mengatur kehidupan manusia dengan baik pula, sehingga mereka dapat hidup dengan damai, karena manusia memang harus hidup dengan peraturan. Dan sebaik-baik peraturan adalah aturan yang telah ditetapkan Allah dan tak satupun manusia yang berhak menghujatNya.

Mungkin sempat terlintas pertanyaan: Apakah diskriminasi jika wanita tidak diperbolehkan menjadi imam bagi laki-laki?...Adakah dinamakan suatu ketidak adilan jika shaf dalam sholat jamaah dibedakan antara laki-laki dan perempuan?...Adakah dinamakan suatu kemerdekaan jika mereka berhasil berbuat suatu kenyelenehan yang melanggar syari`at?...Sebenarnya justru mereka malah terjajah dengan pemikiran dan ambisi-ambisi yang bersumber dari pemikiran-pemikiran mereka sendiri yang ingin merubah nash-nash yang ada. Padahal, sebenarnya pengkhususan-pengkhususan tersebut bukanlah suatu diskriminasi melainkan suatu kehormatan dan hak istimewa untuk wanita.

Laki-laki dan perempuan di tempat-tempat tertentu memang dibedakan, namun tetap bernilai sama. Seorang laki-laki yang tengah mempertaruhkan nyawanya di medan perang demi membela agama Allah, dinamakan “berjihad”. Begitu pula seorang wanita yang mempertaruhkan nyawanya ketika tengah melahirkan seorang anak juga dinamakan “berjihad”. Disinilah salah satu bukti keadilan Allah. Sehingga tidak ada yang berhak under estimate atau superior atas lain. Karena perbedaan dihadapanNya adalah perbedaan tingkat ketakwaan kepadaNya. “Inna Akromakum `ind-Allahi Atqokum…”. Betapa indahnya islam.

Namun bukan berarti wanita harus merasa inferior dengan perbedaan dan batasan-batasan tersebut. Justru, dengan itu wanita mendapat kehormatan dan keistimewaan. Karena kehormatan itulah, wanita diperbolehkan untuk mengaktualisasikan dirinya baik dalam keluarga maupun masyarakat tanpa harus berseteru dengan syari`at dan nash-nash yang ada, tidak bertentangan dengan kodratnya, serta dalam batas-batas kesopanan yang akan menjaga kehormatan dirinya. Untuk merealisasikannya, dibutuhkan pendidikan yang memadai bagi wanita. Oleh karena itu, wanita diberikan hak istimewa wanita dalam menuntut ilmu sebagaimana hak yang dimiliki oleh kaum pria. Wallau a`lam bisshowab.[]

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


3 comments: to “ Urgensi Pendidikan Bagi Wanita

  • bujanganl
    July 28, 2007 at 6:59 PM  

    Asslamualaikum

    wah ternyata tulisan ukhti keren juga neih , boleh juga nieh sekali kali kit di kasi tulisanya :D eh iya salam knl dulu ya , kalau mau berkunjung silahkan ke http://budakcairo.co.nr/
    makasih uhkti , oh iya satu lagi neih
    kalau mau hubungan lewat chat silahkan add bujanganl@yahoo.com
    syukran sebelum dan sesudahnya
    Waslkm

  • Banyumili Travel
    August 26, 2007 at 12:00 AM  

    Setidaknya permasalahan gender dalam pendidikan telah ditemukan dalam lokakarya guru-guru dengan para instruktur dari Australi yang mengidentifikasi sebagai berikut:
    1.Rasa percaya diri siswa perempuan sangat kurang.
    2.Kepercayaan diri yang kurang ini menyebabkan siswa tidak mendapatkan keuntungan dibandingkan siswa laki-laki
    3.Siswa perempuan cenderung menghindari resiko di kelas
    4.Tingkat partisipasi siswa perempuan sangat rendah
    5.Siswa perempuan lebih fokus pada hafalan dan pengulangan- siswa laki-laki tidak menghafal
    6.Siswa perempuan lebih suka mendangarkan dan menyerap informasi
    7.Siswa perempuan SMP cenderung menerima stereotipi
    8.Siswa perempuan dapat menerima jika prestasi dalam matematik dan science lebih rendah dari laki-laki
    9.Pada usia sembilan tahun prestasi laki-laki dan perempuan sama, pada 13 tahun terjadi gap dan pada 17 tahun jauh lebih rendah
    10.Siswa perempuan memiliki sikap yang lebih negatif dibanding siswa laki-laki
    11.Perempuan cenderung drop out dari sains
    12.Hanya 13 persen perempuan bekerja dalam sains
    13.Anak perempuan terbentuk oleh sikap orang tua dan masyarakat, contoh orang dewasa, mitos, mainan yang diberikan, peralatan yang digunakan dan buku cerita yang mereka baca, pelibatan yang dibiasakan sehingga berpengaruh pada persepsi dan familiaritas topik-topik sains
    14.Siswa perempuan tidak banyak dilibatkan dibanding laki-laki
    15.Siswa perempuan menerima pola kelas, stereotipi dan diskriminasi
    16.Siswa perempuan sedikit menjawab pertanyaan guru dibanding laki-laki
    17.Guru sains lebih berharap agar anak laki-laki membuat prestasi sains
    18.Siswa perempuan kurang mendapat perhatian, feed back dan bantuan dari guru
    19.Siswa laki-laki cenderung lebih mengontrol peralatan dibanding perempuan
    20.Siswa perempuan hanya diminta menjadi tukang catat
    21.Masih banyak teks, bahan dan media yang menguntungkan laki-laki
    22.Siswa perempuan mendapatkan kegiatan terkait sains yang lebih sedikit dibanding anak laki-laki
    23.Siswa perempuan cenderung dipaksa keluarga untuk memilih karir dibanding laki-laki.
    24.Guru SD kebanyakan perempuan

    Maap kalo kebanyakan komentar
    Salam,
    siril_wafa@yahoo.co.id
    sirilwafa@gmail.com

  • Banyumili Travel
    August 28, 2007 at 5:09 AM  

    PENDIDIKAN UNTUK PEREMPUAN
    (Belajar dari Pengalaman Pesantren Cipasung)


    Puji syukur semoga senantiasa terlantun ke hadirat Allah SWT. Atas rahmat dan karunia-Nya , saat ini kita masih diberi kesempatan untuk menghirup nafas kehidupan dan melakukan berbagai kerja kemanusian kita. Segala ujian dan cobaan-Nya, termasuk gempa Tsunami seperti yang baru-baru ini menimpa saudara kita di Aceh dan Sumatera Utara dapat mengingatkan kita akan makna solidaritas dan tanggung jawab kekhalifahan yang belum usai. Kita hanya dapat berharap bahwa kita dapat melewati masa sulit ini dan membangun kembali kekuatan kita untuk membangun kembali puing-puing peradaban yang semapat porak poranda. Dan pendidikan merupakan satu titik perhatian yang tidak boleh kita lupakan dalam kerangka upaya membangun kembali peradaban itu.
    Pesantren merupakan salah satu pilar pendidikan yang mendapatkan amanah untuk mendidik dan mencerahkan umat manusia. Tak bisa dipungkiri, bahwa pesantren menempati posisi penting dan strategis dalam khasanah pendidikan Islam. Berbagai ajaran, spirit keagamaan, semangat keikhlasan, kemandirian dan perjuangan membangun umat merupakan concern pesantren yang walau bagaimanapun akan selalu tetap dipertahankan meskipun trend modernisme yang serba materialistik dan hedonistik tengah menyerbu. Melalui seminar ini, kami hanya ingin berbagi pengalaman tentang upaya membangun nuansa keadilan antara lelaki-perempuan sebagai salah satu ibadah mu’amalah yang menjadi ajaran Islam selama ini. Dalam kesempatan ini, saya ingin mengisahkan bentuk perhatian dan upaya yang kami lakukan melalui pendidikan terutama bagi pemerataan akses keadilan bagi lelaki perempuan bersama teman-teman dalam keluarga besar dan komunitas Pesantren Cipasung Tasikmalaya.

    I. Mengenal Pesantren Cipasung
    Pesantren Cipasung didirikan pada tahun 1931 oleh Almarhum K.H. Ruhiat. Pesantren ini terletak di kampung Cipasung Desa Cipakat Kecamatan Singaparna kabupaten Tasikmalaya. Pada awal berdirinya di tahun 1931, Pesantren Cipasung hanya memiliki 40 orang santri putera dan beberapa ‘santri kalong’. ‘Santri kalong’ adalah istilah untuk santri yang hanya mengikuti pengajian malam hari saja dan pada siang harinya mereka beraktifitas di rumahnya masing-masing.
    Pada tahun 1937,di Pesantren Cipasung didirikan Kursus Kader Muballighin Wal Musyawirin, yakni suatu ajang latihan berpidato dan bermusyawarah.Kursus yang diadakan setiap malam Kamis ini bertujuan menyiapkan kader-kader mubaligh Islam.
    Pada tahun 1942, di masa pemerintahan Jepang,Pesantren Cipasung melakukan langkah progresif dengan memberikan kesempatan kepada para santri perempuan untuk mengikuti pengajian kitab-kitab yang ‘besar’, yang sebelumnya hanya dapat mengikuti pengajian kitab-kitab ‘menengah’ saja. Salah seorang angkatan pelopornya adalah Hj. Suwa, yang kemudian menjadi pengajar kitab tingkat lanjutan (seperti Fathul Mu’in dan Alfiah) di Pesantren Cipasung baik bagi santri laki-laki maupun santri perempuan. Tokoh angkatan berikutnya adalah Hj.Nonoh Hasanah yang menjadi pendiri dan pengasuh pondok Pesantren Putri Cintapada Tasikmalaya. Selanjutnya pada tahun 1943 diadakan juga ajang latihan berpidato untuk santri perempuan yang disebut Kursus Kader Mubalighoh.
    Langkah yang dilakukan Abah KH. Ruhiat menjadikan Pesantren Cipasung semakin terkenal disamping karena reputasi kelimuan KH. Ruhiat yang diakui dikalangan ulama sekaligus tokoh NU yang disegani khususnya di Jawa Barat juga tradisi mencetak kiayi di Pesantren cipasung di anggap berhasil dibuktikan dengan banyaknya alumni yang menjadi tokoh agama dan masyarakat bahkan mendirikan pesantren sekaligus memimpinnya. Hambali Ahmad tokoh besar Muhammadiyah, Dr.KH.Mutaqien, KH. Ilyas Ruhiat untuk menyebut beberapa nama.
    Setelah kemerdekaan Bangsa Indonesia, pesantren Cipasung mengembangkan pendidikannya dengan mendirikan sekolah pada tahun 1948 didirikan sekolah pendidikan Islam yang disamping mengajarkan pelajaran agama yang biasa diajarkan pesantren juga diajarkan pengetahuan umum. Pada tahun 1953 menjadi sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) ,kemudian sekolah Rakyat Islam ( SRI ) yang sekarang menjadi Madrasah Ibtidaiyah ( MI ) disusul tahun 1959 didirikan SMAI dan pada tanggal 25-09-1965 berdiri Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Islam (PTI) Cipasung yang kemudian menjadi IAIC. Pada tahun 1969 didirikan pula Sekolah Persiapan IAIN yang pada tahun 1978 menjadi Madrasah Aliyah Negeri ( MAN ) Cipasung; pada tahun 1992 Madrasah Tsanawiyah; tahun 2002didirikan pula Raudhatul Athfal, sehingga sampai tahun 2003 jumlah siswa dan mahasiswa sebanyak 5772 orang, yang berada di Asrama sebanyak 861 siswa santri putra dan 863 santri putri yang dikelola dalam 11 Asrama putera dan 11 asrama puteri.
    Pada tanggal 17 Dzulhijjah 1397/18 November 1977, Abah Ajeungan KH.Ruhiat meninggal dan pimpinan pesantren dipegang oleh KH. Moh Ilyas Ruhiat.
    Pada garis besarnya pendidikan di pondok pesantren Cipasung, formal, informal dan non formal,juga mengembangkan aspek ekonomi ( Koperasi ) Pendidikan latihan keterampilan dan perpustakaan yang bekerja sama dengan LP3ES,P3M, Rahima dsb.
    Dengan perkembangan yang demikian pondok pesantren Cipasung, telah mempunyai garis besar kebijakan pesantren yang kemudian disempurnakan menjadi pola dasar dan pembinaan Pondok Pesantren Cipasung yang berasaskan (1)Tafaqquh fid dien (2) Da’wah, (3)Taawaun, (4) Musyawarah, (5) Ukhuwah Islamiyah, dan bertujuan jangka panjang membina dan mengembangkan ketawaan kepada Allah mengembangkan keilmuan yang bermanfaat dan pengabdian terhadap agama masyarkat dan negara dengan sasaran pengembangan 10 tahunan memiliki standar pendidikan yang baik dengan mengembangkan pendidikan dengan sistem terpadu dan metodhe pendidikan yang baru,menjalin kerja sama dengan berbagai pihak dalam rangka peningkatan mutu efektifitas pendidikan, untuk mencapai tujuan tersebut telah didirikan Yayasan Pesantren Cipasung,sejak tanggal 21 Agustus 1967.
    Kurikulum untuk sekolah formal mengikuti kurikulum nasional sedang kitab yang dipelajari di pesantren masih mempertahankan kitab klasik baik dibidang Aqidah, Fiqh maupun Tasauf, yang jika dianalisa secara kritis citra dan potret perempuan dalam kontruksi diskursus keislaman klasik khususnya fiqih diwarnai dengan beragam ketidakseimbangan relasi gender.
    Berikut adalah beberapa citra dan potret perempuan dalam diskursus keislaman klasik.
    1. Perempuan secara hukum dinilai sebagai mahluk setengah laki-laki( waris, berdasar QS Annisa :7)
    2. Perempuan sebagai makhluk tidak sempurna,lemah kemampuan intelektualnya tidak mampu menguasai gejolak emosional, berfikir irrasional, karena itu menurut An-Nawawi perempuan tidak boleh menjadi hakim,tidak boleh menjadi pemimpin publik ( QS.Annisa: 34 )
    3. Perempuan adalah mahluk penggoda dan mudah tergoda oleh bujuk rayuan, karena itu perempuan dilarang memakai wewangian selain untuk suaminya dll.
    4. Perempuan adalah mahluk yang lemah dan tidak cukup mandiri untuk mengurus dirinya sendiri, sehingga dalam banyak aktivitas hukum, mereka dipandang masih membutuhkan represitasi dan bimbingan laki-laki sebagai wali ( menikah harus pakai wali, pergi haji harus ada mahram)
    5. Perempuan adalah makhluk yang ditakdirkan untuk mendampingi laki-laki karena dia diciptakan dari tulang rusuk Adam, Oleh karena itu tugas utama perempuan adalah melayani kebutuhan suaminya.
    6. Secara sosial ramah perempuan adalah domestik dan ranah laki-laki adalah publik ( laki-laki adalah kepala keluarga,istri ibu rumah tangga, suami berkewajiban menyediakan segala kebutuhan istri dan keluarga-nya. Dunia laki-laki adalah publik,produksi diluar rumah,perempuan di dalam rumah,dunia pelayanan dan reproduksi.
    Kurikulum di Pesantren Cipasung tidak membedakan antara santri putera dan santri puteri. Pada masing-masing tingkatan, mereka hanya dipisahkan tempat belajarnya saja. Kitab yang dipelajari juga tidak ada yang khusus laki-laki ataupun khusus perempuan. Kegiatan ekstra kurikuler (seperti diskusi reguler, latihan berpidato, olah raga, seni baca Al-Qur’an, kaligrafi, keterampilan berbahasa Arab dan Inggris) dapat diikuti oleh setiap santri dan memperoleh bimbingan yang setara.

    II. Kedudukan, peran dan hak-hak perempuan dalam Islam
    Citra dan potret perempuan dalam konstruksi diskursus ke-Islaman klasik seperti dipaparkan sebelumnya, sangat bertentangan dengan semangat perwahyuan Al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri mengajarkan bahwa Islam datang untuk memberikan kebahagiaan dan kedamaian hidup (rahmatan lil alamin) bagi seluruh manusia tanpa membedakan jenis kelamin, suku, bangsa,dan variabel-variabelstruktur sosial lainnya (QS Al-Hujurat :13), walau secara teknis melalui pendekatan kebahasaan, budaya dan sosial, Al Qura’an terkesan telah menggariskan perangkat normatif yang memberikan ketentuan hukum yang berbeda kepada laki-laki dan perempuan.
    Prinsip moral keadilan mengajarkan bahwa Allah tidak mungkin bersikap diskriminatif terhadap setiap hambaNya. Teori hukum Islam mengajarkan bahwa seorang mukallaf hanya bertanggung jawab terhadap segala aturan hukum yang dia lakukan secara sengaja dan sadar, artinya tidak logis jika harus bertanggung jawab terhadap tindakan yang tidak kita pilih, menjadi laki-laki atau perempuan. Jika itu diterima sebagai suatu postulat kebenaran dan hukum artinya kita harus menerima suatu kesimpulan bahwa ketimpangan gender sudah terbentuk sejak zaman azali, kebenaran asumsi ini bertentangan dengan universalitas keadilan Allah.
    Kedua alasan tadi mengajarkan kepada kita bahwa perlakuan dan pembebanan hukum yang berbeda kepada laki-laki dan perempuan tidak dapat diterima menurut logika keadilan Allah dan asas pertanggungjawaban. Oleh sebab itu ketentuan dan pembebanan hukum yang berbeda antara lak-laki dan perempuan walau dikatakan bersumber pada Al Qur’an bukan konstruksi ilahiyah, tetapi ia lebih sebagai produk historis (sosial budaya) dimana sejarah Islam diterjemahkan ke dalam bahasa sosial budaya tertentu.
    Kaidah Fiqhiyah menyebutkan bahwa hukum berubah seiring dengan pergerakan perubahan waktu. Eksistensi ketentuan hukum berotasi sesuai dengan alasannya. Kaidah ini secara implisit menegaskan bahwa ketentuan hukum bukan suatu ketetapan azali yang didasarkan pada faktor biologis yang bersifat kodrati. Perbedaan hukum seseungguhnya merupakan fenomena sosial; budaya (terkadang politik); persoalan kemanusiaan dalam upaya hidup mendunia.
    Dimensi teologi Islam yang membedakan ketentuan hukum bagi laki-laki dan perempuan yang bahkan secara teknis ditampakkan dan dibaha-sakan dalam struktur linguistik bahasa dan relativitas budaya yang diterima Al-Qur’an; tidak harus dipahami sebagai perbedaan yang bersifat kodrati yang mengacu pada faktor biologis manusia tetapi sebagai proses hidup manusia mendunia.
    Pemikiran yang dipaparkan tadi telah diproduksi dan direproduksi melalui pesantren, yang disatu sisi seakan ketentuan tersebut tidak dapat berubah, tetapi kaidah hukum (ushul fiqh) yang juga dipelajari di pesantren memberi peluang untuk adanya perubahan. Oleh karena itu Pesantren Cipasung dalam hal ini Nahdina (sebuah forum kajian dan sosialisasi hak perempuan) berupaya untuk menekuni hal tersebut sebagai tindakan penguatan wacana dan melakukan proses perubahan dan penyadaran.
    Langkah-langkah yang telah dilakukan Nahdina adalah sebagai berikut :
    1. Penguatan lembaga sebagai arena penambahan,pemantapan dan penya-maan wawasan dengan cara melakukan pertemuan rutin guru-guru pesantren yang telah mendapatkan pelatihan. Pertemuan yang dilakukan setiap bulan sekali ini bertujuan untuk bertukar pikiran dan informasi melalui diskusi secara bergiliran.
    2. Memperluas jaringan melalui pembentukan jaringan (network building) Kajian Penguatan Hak Perempuan Tasikmalaya. Jaringan ini beranggo-takan organisasi massa berbasis Islam (Muslimat NU, Fatayat NU, Aisyiah Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiah, Kohati, Persistri) dan LSM yang peduli terhadap pemberdayaan perempuan.
    3. Sosialisasi untuk menyemakan wawasan melalui pengajian rutin, intergrasi dengan mata pelajaran baik di sekolah maupun di pesantren.
    4. Menerjemahkan istilah gender ke dalam bahasa yang lebih akrab dengan budaya Sunda atau dengan menyeberkan dalam bentuk syair-syair yang biasa dikumandangkan saat menjelang pengajian (shalawat gender).
    Sangat disadari bahwa langkah-langkah tersebut baru merupakan langkah wal dan kecil, tapi menyadari bahwa jika tidak dilakukan secara terus menerus, harapan bahwa perempuan akan dihargai sebagai manusia yang sama terhormatnya dengan manusia dengan jenis kelamin lain ketika Allah menciptakannya, hanya akan menjadi impian utopia yang takkan pernah terwujud.
    Melalui tulisan ini aku ingin mengatakan mimpiku membikin sebuah pesantren dengan tetap mempertahankan nilai-nilai luhur kepesantrenan (ikhlas, sederhana, zuhud, wara’, mandiri, dsb.), dengan spesifikasi pember-dayaan dan penguatan perempuan di bidang informasi, terutama biang ilmu agama yang selama ini ‘dikuasai’ laki-laki. Semoga, aamiin…



    Seminar “Pendidikan untuk Perempuan” Jakarta 5 Januari 2005 oleh Oleh Dra. Hj. Djudju Zubaidah

 

Design by Amanda @ Blogger Buster