Menyibak Tabir di Rimbun Jati  

Saturday, August 11, 2007

Oleh: Aini Aryani

Pijar bola api meredup, menyisakan sedikit sinarnya di gumpalan awan barat, hingga senja terlukis dalam jingga yang mengagumkan. Seorang pemuda memandang lukisan alam tersebut penuh takjub, maha karya alam yang tak tertandingi oleh karya lukis manapun, mengingatkannya pada pelukisnya yang Maha Hebat, hingga terluncurlah pujian tulus sebagai ungkapan kekaguman yang sangat, “Subhanallah… Menakjubkan sekali” gumamnya.

Namun sudut matanya menangkap pemandangan yang sangat berbeda. Di lapangan cukup luas, beberapa orang membawa tumpeng serta beberapa makanan khas desa yang dihiasi kembang tujuh rupa. Mereka meletakkan sesajen tersebut di bawah sebuah pohon besar yang akan dipersembahkan untuk makhluk yang mereka percayai sebagai penghuni pohon tersebut. Aroma kemenyan menusuk penciumannya. Ia menatap pemandangan tersebut geram, “Kapankah kemusyrikan berhenti membodohi para penduduk desa ini, sementara mereka mengaku beriman kepadaNya…”
***

“Zim, makan, yuk. Tadi gue liat si Ipul masak cumi goreng sama tumis kangkung tuh di dapur…” ajak Aril. “Mmhh…aromanya menggoda selera, euy..!!!” celetuknya lagi seraya menuju ruang makan. Hazim mengekornya. Selesai menikmati sarapan, Hazim segera menuju surau. Ia diminta pemuda desa untuk mengisi mentor di surau yang berdekatan dengan lapangan. Sementara itu, Aril dan Ipul menuju sawah luas milik Pak Samsul, kepala desa Damar Jati untuk menemani beliau meninjau pekerja disana.

Seperti inilah kegiatan ketiga mahasiswa KKN tersebut di desa Damar Jati, Jawa Tengah yang memiliki panorama alam yang masih alami dan belum banyak tersentuh modernisasi. Tak heran kalau hutan yang berdekatan dengan desa tersebut terlihat begitu rimbun. Tapi, Hazim merasa ada sesuatu yang ganjil disana, hutan jati yang terletak di sebelah barat desa dikenal paling angker dibanding hutan sekitarnya. Usai mengisi mentor, Hazim menyusul kedua temannya. Namun, tiba-tiba ia tertarik untuk melihat sumber mata air di bawah sebuah pohon besar yang terletak di sebelah barat lapangan. Ia melihat mata air itu lebih dekat, kemudian tersenyum penuh arti.

“Eh, men, tadi Pak Samsul minta bantuan kita buat nyariin solusi gimana caranya biar para warga bisa nikmatin air bersih. Soalnya lu tau kan kalo gini hari lagi kemarau.” ujar Aril. Hazim terdiam sejenak lalu tersenyum.
“Kok malah tersenyum tho, Zim. Mbok ya ikut prihatin sama Pak Kades yang mikirin sawah warganya yang kekurangan air.” Ipul sebal melihat tingkah Hazim.
“Aku punya ide biar para penduduk bisa menikmati air bersih. Tadi sepulang dari surau, aku lihat ada mata air jernih di bawah pohon besar dekat lapangan sana. Aku pikir kita bisa membangun sarana air dibawah pohon agar warga bisa menikmati air tersebut.” Hazim tak sabar mengutarakan pendapatnya. Tapi,

“Pohon besar dekat lapangan bola?” tebak Aril. Hazim mengangguk. Aril dan Ipul saling pandang.
“Waduh, Zim. Orang-orang desa ndak akan ngizinin kita. Pohon itu kan pohon keramat. Nanti malah kita yang kena getahnya. Apa kamu ndak takut santetnya Mbah Suro?” ujar Ipul dengan logat jawanya yang medhok.
“Iya, Zim. Apa nggak ada solusi laen? Gue sih setuju aja dengan pendapat tadi. Tapi, tuh tugas cukup berat kayaknya .” Aril menimpali. Hazim mengerutkan dahi, menyisakan garis-garis vertikal diantara kedua alisnya.
“Kalian masih percaya tentang khurafat en tahayul?!” tanya Hazim heran.
“Yaa gue sih nggak percaya-percaya amat. Tapi… kalo boleh jujur, gue keder juga waktu ngeliat tampang Mbah Suro. Tapi, kalo lu emang maunya gitu, gue dukung kok.” jawab Aril mantap.
“Apa? Mbah Suro suka makan bubur kedele?” Penyakit telmi Ipul kumat. Hazim tersenyum geli. Aril menepuk dahinya.
”Oh God…bukan, Puuulll…maksud gue, kalo boleh jujur, gue keder juga…bukan ngomongin bubur kedele. Aduh, kapan sih lu berenti jadi orang TelMi.!!” kata Aril sebal.

Hazim menghela nafas. Ternyata sulit juga nyatuin persepsi dengan kawan yang berbeda karakter, pikirnya. Aril adalah pemuda kota yang jauh dari lingkungan bernuansa tahayyul. Berbeda dengan Ipul yang berasal dari desa semacam Damar Jati yang masih bernuansa kejawen. Mungkin itu sebabnya mengapa Ipul begitu penakut. Tapi Hazim telah membulatkan tekad untuk membangun sarana air di bawah pohon tersebut. Meski resiko yang mungkin akan ditanggungnya tidak gampang. Segera ia menuju rumah Pak Samsul untuk mengutarakan pendapatnya.
***

“Wah, itu tugas cukup berat, Nak Hazim. Pohon itu dianggap keramat oleh orang desa sini karena letaknya berdekatan dengan hutan jati. Apalagi kalo Mbah Suro sampai marah, bisa-bisa…” kalimat Pak Samsul terpotong. Tapi Hazim bisa menebak kalimat selanjutnya,
“Tapi, Pak. Bukankah itu suatu kemusyrikan? Tidak ada yang mampu melindungi manusia dari pengaruh buruk dunia ghaib kecuali Allah. Jika Dia berkehendak, tidak akan ada makhluk ghoib yang mampu mengganggu manusia. Karena manusia lebih mulia dari jin bahkan dari malaikat sekalipun.” ujar Hazim berapi-api.
“Betul, Pak. Saya setuju dengan pendapat Hazim. ” Tiba-tiba Firman, putera Pak Samsul muncul. “Dari dulu saya kurang suka melihat orang desa ini memuja-muja pohon itu, mendewakan Mbah Suro, bahkan tidak berani mendekati hutan jati itu. Sama sekali tidak rasional. “ lanjut Firman.
“Sebenarnya bapak juga sering memikirkan hal itu. Tapi bapak bingung bagaimana caranya menghilangkan ketakutan yang menghantui warga. Walaupun bapak adalah Kades disini, tapi mereka lebih mendengarkan Mbah Suro daripada bapak.” jelasnya lagi.
“Pak, saya jadi curiga kalo makhluk ghaib di hutan jati yang menimbulkan ketakutan warga cuma rekayasa beberapa oknum yang ingin mengeruk keuntungan tertentu.” jelasnya. Hazim mengangguk setuju. Hampir tidak percaya, ternyata pelosok desa seperti Damar Jati memiliki pemuda secerdas Firman.

“Saya setuju dengan pendapat Firman. Kalau Pak Samsul mengizinkan, saya ingin bekerja sama dengan Firman untuk menyingkap rahasia ini.” ujar Hazim.
“Bapak izinkan. Moga berhasil, Nak. Jangan lupa berdoa kepada Gusti Alloh.”

Sore itu juga Firman beserta ketiga mahasiswa itu menuju mata air yang dimaksud. Namun, langkah mereka terhenti oleh pemandangan aneh. Orang-orang tengah berkerumun tak jauh dari pohon besar. Ternyata, di bawah salah satu pohon jati tergeletak mayat seorang wanita setengah baya. Gaun abu-abu yang dikenakannya bersimbah warna merah darah. Tak ada yang berani mendekat karena pohon jati tersebut masih dalam kawasan hutan, kecuali Mbah Suro. Laki-laki tua itu membaca jampi-jampi kemudian membawa mayat itu ke dalam hutan setelah menyuruh penduduk kembali ke rumah masing-masing untuk membuat sesajen persembahan untuk jin penghuni pohon besar yang tengah kelaparan. Katanya, untuk meredam kemarahannya. Firman dan Hazim hanya bisa menertawakan dalam hati. Jin marah karena kelaparan, lalu membunuh seorang wanita? Benar-benar nonsense, batin mereka dalam hati.

Aril merasakan ada yang menggenggam tangannya kuat. Dia melirik ke belakang. O`o ternyata itu tangan Ipul yang tengah ketakutan.
“Eh, Pul. Ngapain pegang-pegang tangan gue…lu takut ya..!!” tanya Aril. Ipul segera melepaskan pegangannya, lalu menghapus keringat dingin yang membanjiri dahinya. Hazim tersenyum geli.
“Iy..Iya, ngeri banget, Ril. Aku ndak berani ikut campur…” jawabnya polos.
“Masa baru mulai langkah udah mau mundur lagi sih, Pul.” tantang Hazim.
“Kita ndak usah neko-neko, Zim. Sing penting kita slamet. Poko`e aku ndak berani ngelawan Mbah Suro.” katanya masih dengan nada cemas. Firman hanya geleng-geleng kepala. Penakut sekali pemuda ini, pikirnya.
***

Semburat merah mega muncul di ufuk, menghela sedikit demi sedikit warna hitam sekitarnya. Firman terbangun lalu berwudhu`, kemudian mulai melangkah menuju surau untuk mengumandangkan nama Sang Pencipta.
“Werrr…” angin menghembus, ia mendekapkan kedua tangannya berusaha mengurangi dingin shubuh yang menusuk. Tiba di surau, ia segera mengumandangkan adzan lalu menghadapNya khusyu`.

Namun saat ia melangkah untuk pulang, ia mendengar suara berisik yang berasal dari hutan jati yang berdekatan dengan pohon besar . Penasaran, Firman mendekat…
“Suro, jati di belakang rumahmu masih utuh, kan?” Suara seorang wanita yang berbicara dengan Mbah Suro membuat kening Firman berkerut.
“Nyonya ndak usah kawatir, dijamin ndak akan ada yang berani ngambil barang yang saya simpan” Suara berat yang tak asing lagi baginya, Suara Mbah Suro.
“Bagus. Sekarang kamu siap-siap. Bos mau bicara langsung dengan kamu.”
“Saya dipanggil ke Jakarta, Nya?!” tanya Mbah Suro. Wanita itu mengangguk.
“Iya, mungkin bos butuh sedikit bantuan kamu di pabrik meubelnya. Yaa sekitar tiga hari-lah.” jawabnya.
Tak lama setelah itu, truk besar segera menuju belakang rumah Mbah Suro dan mengangkut beberapa kayu jati berjumlah besar. Terdesak dengan rasa penasarannya, Firman mengintip dari balik pohon besar itu. Matanya menangkap wajah wanita setengah baya yang tengah menghembuskan asap rokoknya kemudian menyerahkan segepok rupiah ke tangan keriput Mbah Suro.
Sepertinya aku pernah melihat wanita itu, tapi dimana? Tanya Firman dalam hati. Ia berpikir keras. Akhirnya ia ingat bahwa wanita tersebut adalah wanita bergaun abu-abu yang tergeletak di bawah pohon jati kemarin sore.

Pagi masih gelap ketika truk yang mengangkut jati-jati itu berlalu disusul Jeep hitam yang membawa Mbah Suro dan wanita tersebut, kemudian lenyap ditelan rimbunnya hutan. Firman segera menuju rumah Hazim dan kedua temannya.
***
“Apa? Wanita itu masih hidup? Berarti…” Hazim mulai menangkap keganjilan.
“Hiiyy..Itu pasti mayat hidup.” sahut Ipul ngeri.
“Huss… jangan sembarangan ngomong. Lu tuh mikirnya yang serem-serem mulu.” timpal Aril. Ipul memonyongkan bibirnya.
“Maksudku, kejadian kemaren itu bisa jadi cuma rekayasa Mbah Suro karena dia menyimpan kayu-kayu yang ditebang ilegal di belakang rumahnya. Makanya, dia meminta wanita itu untuk pura-pura mati agar para penduduk desa makin takut mendekati hutan jati itu. ” jelas Firman.
“Jadi, maksudmu Mbah Suro menyebar cerita menyeramkan agar para penduduk takut dan tidak berani berbuat macam-macam yang bisa membuat kejahatannya tercium?” tanya Hazim. Firman mengangguk mantap.
“Ooh…aku paham, pasti maksud kalian Mbah Suro itu juga penakut. Jadi, aku ndak apa-apa tho kalo takut juga. Lha wong Mbah Suro aja takut kok..” tebak Ipul sok tau. Aril menepuk jidat.
“Aduh, Pul…Pul…jangan keseringan sotoy alias sok tau gitu dong.?..”Aril sebal.
Tiba-tiba satu pertanyaan terlintas di benaknya. “Terus, wanita setengah baya itu siapa dong?!” tanyanya.
“Dari percakapan mereka, sepertinya wanita itu tangan kanan pengusaha Meubel di Jakarta yang membeli kayu jati ilegal dari Mbah Suro. Gimana kalau nanti malam kita datangi sekitar rumah Mbah Suro, siapa tau kita dapat informasi baru. Mumpung dia lagi ke Jakarta. Tapi untuk sementara ini jangan sampai ada yang tau rencana kita.” saran Firman. Hazim dan Aril mengangguk setuju. Mereka bertiga beralih menatap Ipul yang jadi salah tingkah.
“Eenng…tugasku masak aja ya? Sekalian jagain rumah…he..he…Bukannya takut lho, tapi…tapi cuma pengen nunggu rumah aja. Ndak apa-apa, tho? Mmhh…aku ke dapur dulu ya?” dalihnya seraya menuju dapur setengah berlari.
“Dasar penakut.” ejek Aril. “Oiya, gue kebetulan punya handy cam, kira-kira perlu dibawa nggak?” tambahnya. “Good idea.” jawab Firman.

Malamnya, rencana dilaksanakan. Seperti yang diduga, di belakang rumah Mbah Suro ditemukan batang-batang kayu jati, beberapa batang kemenyan, dan tulang-tulang seperti tulang ayam. Firman menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Pantas..!!” gumamnya pelan. “Pantas apanya, Fir?!” tanya Hazim.
“Waktu mengintip aksi mereka, aku sama sekali tidak melihat hidangan makanan di bawah pohon besar itu. Padahal, malamnya banyak para penduduk yang meletakkan sesajen seperti yang diperintahkan Mbah Suro kemaren sore.” jawabnya.
“Maksud kamu, yang menikmati hidangan-hidangan itu Mbah Suro?!” tanyanya lagi hampir tak percaya.
“Bisa jadi.” jawab Firman. Tiba-tiba…
“Men, liat nih apa yang di dalem rumahnya.” Teriak Aril. Mereka mengintip sebagian isi rumah dari jendela yang mungkin lupa dikunci oleh penghuninya. Mereka melihat sisa tumpeng dan beberapa makanan lainnya.
“Kayaknya mereka habis party tuh, tadi shubuh. Mungkin Mbah Suro tergesa-gesa perginya, makanya nggak sempet beresin sisa-sisanya.” Aril berpendapat.

Mereka pulang usai merekam beberapa hal penting. “Masalah ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Ini bukan hanya membodohi masyarakat dan merugikan negara, tapi juga menodai agama dan membuat orang-orang desa terbawa arus kemusyrikan. Kita harus hentikan secepatnya. Insya Allah besok pagi aku akan berangkat ke kecamatan untuk melaporkan ke pihak yang berwenang sebelum Mbah Suro kembali dari Jakarta.” kata Firman.
“Perlu bantuan? Maksudku, kamu perlu teman kesana?” tawar Aril.
“Mmh…gimana kalo aku sendirian aja yang kesana, karena kalau salah satu dari kalian ikut, itu bisa mengundang kecurigaan. Oiya, Ril hasil rekaman kita tadi mungkin akan sangat berguna untuk bukti.” sarannya.
“Siiip, bawa aja. Nih…” Aril menyerahkan hasil rekamannya. Firman segera pulang dan mengabarkan semuanya pada ayahnya. Paginya, ia segera berangkat menuju kecamatan untuk melaporkan pada pihak berwenang.
**&&&**

“Angkat tangan…!!!” Seorang polisi dengan pistol di tangan menangkap basah laki-laki tua yang tengah menebang jati. Laki-laki itu berbalik lalu terkejut melihat beberapa polisi di sekelilingnya, terlebih ketika matanya bersirobok dengan sepasang mata milik Firman dan ketiga kawannya. Mbah Suro membuang parangnya lalu perlahan mengangkat tangannya tanpa mengalihkan tatapan geramnya pada keempat pemuda di depannya. Tak lama kemudian kedua tangan Mbah Suro terkunci dalam besi borgol.
Mereka tersenyum lega, akhirnya kemungkaran dapat terungkap. Rencana membangun sarana air di bawah pohon tersebut dapat terlaksana. Kekurangan air dapat diminimalisir dan ketakutan para penduduk akhirnya berhasil dilenyapkan.

Hazim kagum dengan kecerdasan dan keberanian Firman. Kehidupan yang jauh dari kebisingan kota tak membuatnya tertinggal dari para pemuda kota sebayanya. Justru itu membuatnya tampak bersahaja. Akhirnya Hazim tahu, ternyata Firman adalah alumnus Al-Azhar University di Mesir yang baru setengah tahun lalu menyelesaikan studinya. Ia menimba ilmu di negeri Ali Jinah tersebut dengan beasiswa karena index prestasinya selalu di atas 3,5. Benar-benar pribadi yang pantas dijadikan teladan.
***

Senja dalam jingganya yang mengagumkan terlukis lagi di langit sebelah barat. Menandakan pijar bola api mulai meredup, memberi kesempatan bagi galaksi lain untuk muncul. Untuk kesekian kalinya, pemuda itu menikmati alam terlukis di kanvas langit sana penuh takjub dan syukur. Seperti rasa syukurnya atas kebahagiaannya hari itu, karena Sang Pencipta lukisan alam tersebut telah mengembalikan kedamaian desanya dari nuansa khurafat yang berbau kemusyrikan. (Nie)

*Tulisan diatas pernah dimuat di Buletin NUN, yang diterbitkan oleh Dept. Media & Informasi PPMI Pakistan, edisi Maret 2007

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


 

Design by Amanda @ Blogger Buster