SOS: PAKISTAN  

Monday, December 31, 2007

(BENAZIR BHUTTO TEWAS)
Oleh: Akmal Nasery Basral, Kurie Suditomo, Aini Aryani.
Sumber: Majalah TEMPO, edisi 31 Desember 2007, Kajian Utama.


”Jiye Benazir! Hidup Benazir!”
Pekik ribuan pelayat mengoyak keheningan Desa Garhi Khuda Bakhs, Larkana, Provinsi Sindh, tempat mausoleum keluarga Bhutto terbaring. ”Jiye Bhutto!” Raung kesedihan itu bergelombang, susul-menyusul, seperti melodi qawwali yang kerap dilantunkan penyanyi karismatik Nusrat Fateh Ali Khan. Hanya kali ini tak ada kegembiraan. Pekik itu menjadi semacam ode perpisahan bagi tubuh beku Benazir, 54 tahun, yang terbujur di peti mati.

Berbalut parcham-e-sitara aw hilal, sebutan untuk bendera Pakistan yang berhias bintang dan bulan sabit, peti itu dikubur di samping makam sang ayah, Zulfikar Ali Bhutto, pada Jumat terakhir tahun 2007 yang masai. Suami Benazir, Asif Ali Zardari, yang terbang dari Dubai bersama ketiga anaknya, Bilawal, Bahktwar, dan Aseefa, hanya bergumam pasrah, ”Ini menyedihkan.”

Di pelbagai tempat di sekujur Pakis-tan, surup merasuki massa. Sepuluh stasiun kereta api dan sejumlah gerbong dibakar di sekitar Sindh, membuat transportasi antara Karachi, ibu kota Sindh, dan Punjab di sebelah timur, terputus. Kota lain di Provinsi Sindh seperti Sukkur, Shahdad Kot, dan Rotri juga mendidih dengan kecaman terhadap Presiden Musharraf dan Al-Qaidah.

Di pusat bisnis ibu kota Islamabad, ratusan warga membakar ban-ban mobil, menyebabkan asap hitam membubung tinggi. Di pinggiran Peshawar sebuah bom memangsa empat nyawa, satu di antaranya politikus senior dari partai sang Presiden. Hanya sehari setelah Benazir mangkat, 23 nyawa melayang akibat kerusuhan di beberapa kota. Pidato Musharraf di televisi lokal Dawn News, yang mengajak masyarakat berkabung selama tiga hari dan mengibarkan bendera setengah tiang, gagal menurunkan emosi akibat kematian dramatis Benazir.

”Ada ancaman yang sangat nyata akan pecahnya perang saudara di Pakistan,” ujar Riaz Malik dari partai oposisi Gerakan Pakistan untuk Keadilan. Kekhawatiran Malik boleh jadi tak berlebihan. ”Bahkan bagi mereka yang selama ini bersikap kritis terhadap Benazir Bhutto,” tulis Tariq Ali dalam kolomnya di The Guardian, ”Kematiannya tetap mendatangkan kemarahan.”

Maut, dan caranya yang kerap datang secara mengerikan, sesungguhnya bukan hal baru bagi putri tertua klan Bhutto tersebut (baca Dinasti Berdarah dari Sindh). Benazir pernah menggambarkan betapa sulit perjuangannya untuk membawa jenazah sang adik Shahnawaz, yang tewas di Cannes, Prancis, agar bisa dikebumikan berdasarkan tradisi keluarga di Larkana. ”Seorang Bhutto lainnya meninggal akibat keyakinan politik,” tulisnya dalam otobiografi Daughter of The East (1988), ”Tetapi kesedihan tak mampu menghalangi kami dari aktivitas politik atau usaha menegakkan demokrasi.”

Namun, bagaimana nyawa Benazir sendiri pupus di tengah sorak sorai pendukungnya yang sedang tenggelam dalam eforia di lapangan Liaquat Bagh, Rawalpindi, pada Kamis petang, tetap mendatangkan aneka tafsir. Misalnya dari John Moore, fotografer Getty Images yang sempat memotret detik-detik terakhir Benazir melambaikan tangan sebelum tembakan dan bom bunuh diri menamatkan hidupnya (lihat Tragedi di Rawalpindi).
Tudingan pertama tentang otak pembunuhan terarah kepada Presiden Musharraf. Itu reaksi spontan yang ditunjukkan pendukung Benazir ketika dengan cemas mengawal pemimpin mereka ke Rumah Sakit Umum Rawalpindi. Mereka menuduh Musharraf terlibat pembunuhan Benazir. Permintaan Benazir agar Musharraf menyediakan empat mobil pengawal pada saat berkampanye hanya dipenuhi satu. Itu pun dengan jumlah aparat yang minim.

Maka, begitu mantan perdana menteri termuda dalam sejarah Pakistan itu dinyatakan meninggal dunia pukul 18.16 waktu setempat (20.16 WIB), mereka menghancurkan kaca-kaca rumah sakit dan mengumpat, mencaci-maki, ”Anjing, Musharraf anjing!”

Koresponden lepas Tempo di Islamabad, Aini Aryani, menyaksikan bagaimana ribuan orang mengamuk dengan meledakkan truk, motor, mobil, melempari toko, bangunan umum, dan pasar yang mereka lewati, seperti pasar Aabpara di sektor G/6 yang berdekatan dengan Masjid Merah. Semua institusi pendidikan diliburkan selama tiga hari, termasuk kampus Universitas Islam Internasional Islamabad.

Keyakinan bahwa Musharraf berada di belakang tragedi berdarah ini diperkuat oleh juru bicara Benazir di Amerika Serikat, Mark Siegel, yang menerima surat elektronik Benazir tertanggal 26 Oktober 2007, delapan hari setelah kepulangannya ke Pakistan dari pengasingan delapan tahun di Dubai dan London. ”Jika saya terbunuh, Presiden Pervez Musharraf yang harus dipersalahkan,” tulisnya.

Sikap ini berbeda jauh dengan kehati-hatian Benazir dalam memandang militer, seperti yang pernah dikatakannya kepada Yuli Ismartono dari Tempo dalam sebuah wawancara setelah terdongkel dari periode pertamanya sebagai Perdana Menteri (1988-1990). ”Terhadap militer, saya selalu bersikap fleksibel dan berusaha menyesuaikan diri.… Semua pihak harus berusaha keras untuk bekerja sama demi kepentingan negara. Kalau tidak, ya akan ada pemilu tiap dua tahun.” (Tempo, 1 September 1990).
Spekulasi kedua tentang pelaku pembunuhan datang dari kantor berita portal Internet Italia Adnkronos International (AKI), yang melansir ucapan juru bicara Al-Qaidah, Mustafa Abu Al-Yazid, yang mengaku bahwa kelompok mereka berada di belakang tragedi Kamis kelabu itu. ”Kami menghancurkan aset utama Amerika yang bercita-cita menghancurkan mujahidin,” katanya. Lebih jauh Al-Yazid menyatakan bahwa perintah pembunuhan datang dari orang nomor dua di Al-Qaidah, Ayman Al-Zahiri, sejak Oktober.
Namun edaran yang diterbitkan FBI dan Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat pada hari itu juga menyangsikan bahwa klaim tersebut betul-betul muncul dari Al-Qaidah, karena tak adanya klaim serupa di situs web mereka–sebuah ciri yang selalu dilakukan Al-Qaidah dalam aksi-aksi sebelumnya. ”Itu sebuah klaim yang terbuka dan tak bisa dikonfirmasi,” ujar Ross Fein, juru bicara Direktur Intelijen Nasional Mike Mc Connell, seperti dikutip CNN.

Tak seperti kepastian klaim Al-Qaidah yang masih diperdebatkan, sebutan ”aset utama Amerika” terhadap Benazir mungkin tak sepenuhnya keliru, terutama melihat masa-masa bulan madu Gedung Putih dan Musharraf yang sudah layu. Setelah tragedi 11 September 2001 yang membuat Presiden George Bush mengumandangkan slogan ”War on Terror”, Pakistan yang ditengarai sebagai markas persembunyian Al-Qaidah dan Taliban mendapat injeksi dana hampir US$ 10 miliar (sekitar Rp 90 triliun). Namun, alih-alih terjadi ”pembersihan” seperti yang diinginkan Amerika Serikat, Musharraf dinilai justru memberikan ruang bagi perkembangan kaum ekstremis, selain semakin menunjukkan gejala otoriter.

Perasaan jengkel terhadap kondisi itu membuat Kongres meloloskan undang-undang yang berisi pembatasan bantuan Amerika Serikat atas Pakistan. Dengan total bantuan yang kini menyusut hanya menjadi US$ 300 juta, dan sudah ditandatangani Bush pada Rabu pekan lalu, Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice mensyaratkan Pakistan harus melakukan reformasi politik, termasuk pelepasan tahanan politik dan memperbaiki sistem yudisial.

Caranya? Kekuasaan Musharraf harus dipangkas dengan mensyaratkannya untuk bekerja sama dengan Benazir Bhutto. Sepekan lagi, niat yang sudah dianyam sejak kembalinya Benazir dari pengasingan dua bulan silam praktis bakal tercapai dengan dilangsungkannya pemilu parlemen pada 8 Januari. Tapi kematian Benazir membuat segalanya berubah cepat. ”Pemerintah akan mendiskusikan lagi dengan pihak oposisi tentang jadwal pemilu,” ujar Perdana Menteri Muhammad Mian Soomro.

Nawaz Sharif, pemimpin Partai Liga Muslim Pakistan (PML)-N, sudah menyatakan memboikot pemilu. Ini merekatkan kembali aliansi partai oposisi Gerakan Seluruh Partai Demokratis yang bubar setelah Benazir dengan Partai Rakyat Pakistannya memutuskan ikut pemilu. Aliansi ini terdiri atas 35 partai politik yang berideologi nasionalis dan Islam.

Pernyataan beberapa ketua Partai Rakyat Pakistan bahwa mereka menetapkan hari berkabung selama 40 hari menyiratkan partai ini mendukung aksi boikot itu. Ini berarti Partai Liga Muslim-Q bentukan Musharraf dan 2-3 partai kecil akan berjalan sendirian.

”Ini tahun berdarah bagi Pakistan,” kata bekas bintang kriket Imran Khan, pemimpin Partai Tehrik-e-Insaaf yang memboikot pemilu, ”dan rakyat sudah tak percaya pada Musharraf.”
Dengan sejumlah ketidakpastian itu, peta politik Pakistan pun makin tak genah. Dan pemakaman Benazir tampaknya baru menjadi ”seri pertama” dari buyarnya sebuah euforia untuk menjadikan Pakistan lebih demokratis dalam waktu dekat.

________________________________________

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Pemegang Tongkat Estafet Amanah Bangsa  

Friday, November 9, 2007

Oleh: Aini Aryani

Generasi Muda dan Pendidikan
Pemuda adalah generasi penerus bangsa. Slogan tersebut sekilas memang terdengar ‘klise’. Namun keabsahan slogan ini tidak terbantahkan karena mau tidak mau, sanggup atau tidak sanggup, pemudalah yang akan menggantikan kedudukan generasi-generasi sebelumnya dalam membangun bangsa. Selain itu, pemuda sudah sepantasnyalah menjadi agent of change, pembawa perubahan, yang membawa bangsa menjadi lebih baik, lebih bersatu, lebih makmur, dan lebih madani.

Bisa dibilang, 'perahu' bangsa Indonesia hampir karam. Sudah terlalu sering gelar-gelar negatif dilekatan pada tanah dimana kita dan pendahulu dilahirkan. Mulai dari rendahnya SDM bangsa, tingginya tingkat korupsi, tingkat kemiskinan dan lain sebagainya. Untuk itulah generasi muda perlu kembali merefleksikan kehendak bersama yang sudah didengungkan pemuda bangsa sejak Oktober 1928 dahulu. Berikut penulis paparkan beberapa pendapat mengenai bagaimana semestinya peran generasi muda dalam membangun dan mencerdaskan bangsa:

Hendaknya generasi muda mengawali pendidikan sebagai modal dasar, disiplin, kejujuran, dedikasi, kemauan untuk bekerja keras, berwawasan luar, membuka diri, melihat dunia luas, tapi tetap punya kepribadian. (Endang Trisnowati, Protokol Konsuler KBRI Islamabad).

Being citizen of a country, young generation have three basic responsibilities:
1. Understanding the religion, Allah’s demand and fulfill it.
2. Should be loyal to the country, improve the condition.
3. To excel in the field of knowledge according to what they were studying. In other word, the right person should be in the right profession.
(Dr. Ateequzafar Khan, Dean of International Institute of Islamic Economics IIUI Pakistan)

Bangsa akan maju secara umum jika dalam generasi bangsa tersebut ada kesadaran tanpa terjadinya Generation Gape. Generasi muda harus dilibatkan dalam segala bidang baik dalam birokrasi dan bidang-bidang lainnya, juga harus dibekali pengalaman serta diberi arahan atau ancer-ancer untuk melihat kesempatan. (Andre Norman, MA., Kepala Fungsi Ekonomi KBRI Islamabad)

Dari beberapa pandangan diatas, terlihat adanya korelasi erat antara pemuda dan pendidikan. Seorang tokoh pembaharu Perancis bernama Jean Jaqques Rosseau menyatakan bahwa semua yang kita butuhkan dan semua kekurangan kita waktu lahir, hanya akan kita penuhi melalui pendidikan. Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani kuno juga berpendapat bahwa perbaikan masyarakat hanya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu meperbaiki sistem pendidikan. Tidak ketinggalan pula Van de venter, tokoh politik ETIS atau balas budi yang menjadi tonggak awal perkembangan munculnya golongan terpelajar Indonesia juga mengatakan bahwa pendidikan yang diberikan kepada rakyat pribumi, akan dapat merubah nasib pribumi. Bahkan jauh-jauh sebelumnya, kanjeng nabi Muhammad SAW, sang revolusioner sejati yang menempati urutan nomor satu dalam 100 tokoh berpengaruh dunia versi Michael Heart, telah bersabda bahwa menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi seluruh muslim/muslimah. Dan yang paling pantas menyandang kewajiban tersebut adalah generasi muda, karena mereka yang memiliki kesempatan lebih banyak untuk menuntutnya, dan kelak dipundak merekalah amanah agama, bangsa dan umat dibebankan.

Generasi Muda dan Bangsa
Pemuda dan termasuk di dalamnya mahasiswa kadang memang memiliki kekuatan yang sering tidak terduga. Sejarah membuktikan, perubahan bangsa banyak dimulai oleh gerakan kepemudaan dan mahasiswa. Gerakan pemuda dan mahasiswa Argentina (1955) misalnya, berhasil meluluhlantakkan kekuasaan diktator Juan Veron. Gerakan pemuda dan mahasiswa Kuba (1957) juga berhasil menghancurkan diktator Batista. Keberhasilan itu juga tercermin pada gerakan reformasi pemuda dan mahasiswa Indonesia (1998).

Bahkan, kemerdekaan Indonesia diraih dengan semangat kepemudaan yang tinggi, dilakukan oleh orang-orang muda yang progresif, dinamis, berani dan heroik. Modal inilah yang telah menjadikan bangsa ini dapat meraih kemerdekaannya, karena tanpa itu semua, mungkin proklamasi kemerdekaan sulit terwujud.

Konklusi
Generasi muda adalah aset termahal bangsa, sedangkan ilmu pengetahuan, keterampilan dan pendidikan merupakan unsur dasar yang akan menentukan kecekatan mereka dalam berpikir tentang dirinya dan lingkungannya. Seseorang yang mampu mengubah dirinya menjadi lebih baik diharapkan mampu mengubah keluarganya, kelak mengubah daerahnya dan kemudian mengubah negaranya serta mengubah dunia dimana dia hidup. Seseorang memiliki eksistensi tentang arti penting dirinya dan kehidupan yang diberikan Tuhan bagi dia dan sangat disayangkan jika itu berbuah dalam kesia-siaan.

Benarlah apa yang dinyatakan seorang bijak:
Give a man a fish, and you will feed him for a meal.
But teach a man how to fish, and you will feed him for life.


Kata bijak yang sangat menggugah yang berarti “Berikan pada seseorang seekor ikan, maka kamu memberinya hanya sekali makan. Tapi ajarilah seseorang untuk memancing, maka kamu telah memberi dia makan seumur hidupnya”. Suatu ungkapan yang boleh diberi acungan jempol. Dalam ungkapan itu tersimpan makna untuk memanusiakan manusia agar ia menjadi manusia, memberdayakan, mendidik, melatih, memberi pengetahuan dan keterampilan agar kelak ia yang memberdayakan dan bertanggungjawab pada dirinya, kehidupannya serta masa depan diri dan bangsanya.[]

NB: Tulisan diatas pernah dimuat di buletin KUNTUM, suplemen Majalah IKPM edisi November 2007 yang diterbitkan oleh organisasi para alumni Gontor di Pakistan.

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Islam Berideologi Patriarki; Benarkah...???  

Monday, October 8, 2007

Oleh: Aini Aryani

Pendahuluan
Islam kerap dipandang memiliki formulasi hukum yang cenderung menguntungkan kaum pria. Pandangan ini tak hanya bersumber dari Barat yang notabene non-Muslim, namun juga dari kalangan Muslim sendiri. Mereka beranggapan bahwa setting-an hukum Islam mengarah pada budaya patriarki dan memandang ‘sebelah-mata’ terhadap perempuan (misogyny). Berbagai stereotype yang dilekatkan kepadanya, serta aneka citra negatif memunculkan anggapan bahwa Islam memenjarakan kebebasan perempuan, memasung hak-haknya, bahkan menggiring kedudukannya ke bawah derajat kaum pria. Benarkah demikian?

Hukum warisan dalam Islam, hak penjatuhan thalaq bagi laki-laki, larangan bagi wanita mengimami laki-laki dalam sholat, aturan shaf dalam sholat yang mengharuskan wanita di belakang laki-laki, kewajiban patuh pada suami yang menjadi kepala keluarga, dll, Hukum-hukum Islam semacam ini seringkali dipandang patriarkal yang membuat sebagian muslimah merasa menjadi korban subordinasi dan marginalisasi. Kemudian menganggap hukum Islam tak lagi relevan dengan trend kekinian yang membuat pemeluknya menjadi terbelakang, khususnya perempuan muslim.

Semua itu menjadi stimulus munculnya pergerakan ‘Feminisme Islam’ dalam dunia feminisme yang mengacu pada konsistensi perjuangan dalam menghilangkan subordinasi, memusnahkan ideologi patriarki serta meluruskan pandangan misogyny dengan menggunakan paradigma Islam sebagai bahasan utama.

Gender Equality; Persamaan Porsi ataukah Nilai?
‘Feminisme Islam’ muncul pada pertengahan tahun 90-an sebagai terma baru dalam dunia feminisme, yang didefinisikan sebagai studi persamaan gender (gender equality) dan keadilan sosial dengan menggunakan paradigma Islam. Namun di sisi lain, feminisme seringkali menjadi mainstream (arus utama) yang menjebak aktivis perempuan menjadi bias dan bahkan cenderung keliru dalam memahami mengenai terminologi feminisme dan aliran-aliran yang berkembang didalamnya.

Dalam perjuangan dan pemikirannya, muslimah harus bergesekan dengan polemik dan trend kekinian yang sering menjebak, sehingga dalam perjalanannya terjadi polarisasi gerakan yang membentuk aliran berpikir yang dipengaruhi oleh ideologi Barat seperti Liberalisme dan Sosialisme-Marxis yang notabene sekuler. Kekecewaan mereka pada dominasi kaum pria di beberapa bidang dalam masyarakat membuat mereka menggugat syariat sebagai sumber hukum pertama, sehingga memunculkan keinginan untuk memformulasikan hukum yang (menurut mereka) menguntungkan.

Bukanlah dinamakan diskriminasi ketika wanita tidak diperbolehkan menjadi imam bagi laki-laki, atau ketika ia harus berdiri di shaf shalat yang berada di belakang laki-laki. Karena itu semata-mata bertujuan agar prosesi penyerahan diri dihadapan Tuhan berjalan dengan lebih tunduk, khusyu’ dan sakral. Bukan untuk ditafsirkan sebagai penempatan derajat wanita sebagai kelas kedua dalam kehidupan sosial. Demikian pula ketika isteri harus mematuhi suami yang menjadi kepala keluarganya, bukanlah berarti bahwa ia mengabdi dan tunduk pada pria, akan tetapi melaksanakan kewajibannya yang telah ditentukan Penciptanya.

Laki-laki tidaklah menjadi lebih tinggi dihadapan Allah hanya karena menjadi kepala rumah tangga, menjadi imam atau berdiri di shaf yang berada di depan wanita dalam shalat. Karena masing-masing tentunya mendapatkan ganjaran yang sama dalam melaksanakan tugas yang sudah dibagi oleh-Nya. Yang menjadi patokan hanyalah satu, yakni Tingkat Takwa, dan itu tak ada relasinya dengan gender. Siapapun mampu dan dipersilakan berlomba-lomba mencapainya. Tentunya manusia juga tidaklah lebih tau dari Tuhan dalam memandang mana yang lebih sesuai dan adil untuk mereka, karena sejatinya Allah-lah yang lebih mengetahui kapasitas ciptaan-Nya. Oleh karena itu tidaklah pantas bagi manusia untuk menggeser tongkat aturan agama dari porosnya.

Maka, ‘Gender Equality’ tidaklah selalu bermakna persamaan hak dan kewajiban dalam bidang atau porsi yang benar-benar serupa, karena yang menjadi substansi dari persamaan itu adalah ‘Nilai’. Laki-laki yang ingin mendapatkan manisnya berjihad diberikan-Nya jalan dengan cara mempertaruhkan nyawa di medan perang atas nama agama Allah. Begitu pula wanita yang ingin mendapatkan manisnya berjihad diberikan-Nya jalan dengan cara mempertaruhkan nyawa ketika ia tengah melahirkan bayi dari rahimnya. Kadangkala laki-laki dan wanita ditempatkan di bidang atau porsi yang berbeda, namun tetap memiliki ‘nilai’ yang sama. Inilah sesungguhnya makna dari Gender Equality.

Penutup
Kadangkala kaum pria merasa dirinya lebih utama karena memiliki ukuran otak akal yang lebih besar, dan menganggap wanita memiliki kekurangan karena didominasi perasaan dan emosi. Atau, kaum pria merasa lebih superior dengan alasan memiliki fisik yang lebih kuat dari wanita, hingga menganggap bahwa laki-laki memang ditakdirkan untuk lebih diutamakan.

Lebih ironis lagi ketika sebagian kalangan memandang ajaran-ajaran agama menjurus pada ideologi patriarki. Perasaan inferior dan kekecewaanpun muncul dari kaum wanita dan memicu mereka untuk mengambil tindakan. Akhirnya muncul gerakan-gerakan yang menuntut persamaan hak dan kedudukan di berbagai bidang, termasuk merekonstruksi aturan agama yang sudah proporsional. Kemudian terciptalah terma-terma semacam Feminisme, Emansipasi, dan Gender Equality.

Padahal, sebenarnya bukan masalah persamaan yang menjadi inti utama dalam membahas feminisme, tapi proporsionalitas dalam melihatnya. Kelembutan perasaan adalah keistimewaan bagi wanita yang lebih memberikan potensi takwa. Bila ia disatukan dengan ilmu, akan menjadi kekuatan tersendiri. Sebaliknya, bila ia tidak disertai dengan ilmu, maka akan menjadi sumber kelabilan jiwa. Sangat disayangkan bila wanita menganggapnya sebagai kekurangan dan berusaha mengeliminasinya dengan rasio agar sama dan tak kalah dengan pria.

Akal wanita tidak kurang untuk mencerna ilmu. Sedangkan pria juga membutuhkan perasaan untuk bertafakkur. Pria juga membutuhkan kelembutan hati yang akan memberikan emosi stabil dalam menyertai rasionya saat berfikir. Tak ada yang harus merasa lebih dan menganggap yang lain berada di bawahnya.

Meminjam kalimat Bapak Hendri Tandjung, MA., MM., : “Ngeri juga kalau isi dunia hanya Hard Science. Karena Hard Science tanpa Soft Science ibarat manusia tanpa daging, hanya tengkorak...” Begitu juga rasio tanpa dibarengi perasaan ibarat raga tanpa daging, hanya tengkorak yang rapuh. Itulah mengapa Relasi Gender tak harus dipahami sebagai perseteruan dan pertarungan antar kelompok (class struggle). Melainkan dalam perspektif kerja-sama dan hubungan timbal-balik, dalam arti saling menopang dan bahu-membahu membangun keluarga, bangsa dan negara, saling mengisi, saling melengkapi, saling mengerti dan saling menghargai satu sama lain.
Wallahu a’lam bisshowab.

Referensi:
1. Anis Ahmad, Women and Social Justice: An Islamic Paradigm, Institute of Policy Studies, Shirkat Printing Press; Lahore 1991
2. Zahratunnisa, BA, Muslimah di Ruang Pemikiran, An-Nahdlah edisi Juni 2006

NB: Tulisan diatas pernah dimuat di Majalah Dinamika edisi September 2007, majalah yang diterbitkan oleh Dept. Media & Informasi PPMI (Persatuan Pelajar & Mahasiswa Indonesia) di Pakistan.

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Perempuan...  

Wednesday, August 15, 2007

Oleh: Aini Aryani M.


“HUH…CUMA PEREMPUAN!!!”
Desau meremehkan yang sering didengarnya dari mulut makhluk jumawa bernama LAKI-LAKI. Underestimate. Ia benci…!!! “Aku bukan perempuan biasa. Aku mampu menyaingi makhluk-makhluk pongah itu,” ikrarnya dalam hati. Kenapa tidak???? Bahkan dirinya pernah menyingkirkan sejumlah laki-laki dalam sebuah olimpiade sains dunia.

Perempuan paro baya itu tersenyum mendapati pernyataan seorang Sosialis hebat, Friedrich Engels yang merujuk pada teori Marxis klasik bahwa perubahan status perempuan hanya dapat terjadi melalui revolusi sosialis, perempuan akan mencapai keadilan sejati jika urusan domestikasi diubah bentuk menjadi industri sosial, dan mendidik anak menjadi urusan publik.

Yeah...konsep ini yang ia cari. Ia tak suka melihat para wanita menjadi abdi suami mereka, menjadikan diri mereka kelas kedua dalam rumah sendiri, dan hanya bisa diam ketika posisinya ditempatkan dibelakang laki-laki. Lihat saja dalam ritual shalat bersama. “Uffhh....budak kontemporer yang tunduk pada si Pemasung kebebasan perempuan” desisnya. Ia heran, mengapa begitu banyak wanita yang malah menikmati itu semua.

Gamang menyelusup di ruang dalam hatinya, lalu bermimpi andai dirinya sehebat Mary Wollstonecraft (Amerika), Helene Cixous (Prancis), Julia Kristeva (Bulgaria), Fatimah Mernissi (Maroko), Taslima Nasreen (Bangladesh), Riffat Hassan (Pakistan), Ashgar Ali Engineer (India), Huda Sya’rawi (Mesir), Aminah Wadud Muhsin (Malaysia), atau Gadis Arivia (Indonesia). Tentulah ia dapat memangkas cara berpikir kaumnya. Paling tidak, agar mereka tak lagi menjadi budak laki-laki. Dirinya sanggup berada di garda terdepan demi mengusung Gender Equality, di segala bidang kalau perlu. Ya...di segala bidang, tanpa diskriminasi...!!

Peristiwa The Love Boat...
Berbagai eksperimen untuk membuktikan bahwa PRIA DAN WANITA SERATUS PERSEN SAMA telah menyebabkan banyak kerugian. Tahun 1997 pemerintah Inggris memberlakukan “Gender Free Approach” dalam merekrut tentaranya dan mengadakan ujian fisik yang sama kepada kadet pria dan wanita. Yang terjadi adalah tingkat cedera yang tinggi di kalangan kadet wanita. Dalam Perang Teluk, satu per 10 kru wanita Kapal Perang Amerika USS Acadia dikembalikan karena hamil di perjalanan menuju atau di medan perang, sementara jumlah tentara pria yang dikembalikan: Nol. Kapal itu kemudian diolok-olok sebagai The Love Boat.

Hiyyy...ia merinding. Ternyata fisik wanita dan pria memang tak sama kuat. Tapi baginya itu bukanlah sebuah excuse untuk menjastifikasi superioritas laki-laki atas kaumnya. Lalu kenapa wanita mau memasung hak dan freedom-nya demi laki-laki??? Apa yang mereka cari??? Mengapa Tuhan menetapkan peraturan yang begitu patriarkal??? Adakah laki-laki lebih mulia dihadapan-Nya karena alasan itu??? Jika ia, sungguh malang dirinya dengan kodrat sebagai wanita. Haruskah dirinya berpaling pada agama lain yang mungkin meninggikan derajad kaumnya???.....Jiwanya merintih. Menggugat Tuhan. Meragukan keyakinan.

Talmud (kitab aturan kehidupan pribadi & peribadatan Yahudi):
“Berbahagialah orang-orang yang mempunyai anak laki-laki, dan celakalah orang-orang yang mempunyai anak perempuan.”

Aristoteles (Filosuf Yunani):
“Kekuasaan orang-orang yang bebas terhadap para budak adalah salah satu bentuk hukum alam; demikian pula kekuasaan kaum lelaki atas kaum perempuan....”

Kitab-kitab landasan perundang-undangan Hindu:
“Budak, istri (wanita) dan hamba sahaya tidak boleh memiliki harta.” (Manu 8:46).
“Wanita dan binatang mesti ditekan dengan kekerasan.” (Ramayana).
“Dengan wanita tidak boleh dilakukan persahabatan, karena hati wanita adalah lubang srigala.” (Regweda).

John Chrysostom (Pendeta Kristiani):
“Karena wanitalah, setan memperoleh kemenangan dan karena itu pula surga menjadi hilang. Dari segala binatang buas, perempuanlah yang paling berbahaya.”

Carl Vogt (Penganut Paham Darwinisme):
“Dimanapun kita merasakan pendekatan terhadap jenis binatang, perempuan lebih dekat dengannya daripada laki-laki...Oleh sebab itu, kita akan menemukan lebih banyak kemiripan (menyerupai kera) jika kita mengambil wanita sebagai patokan.”

Perempuan itu merinding. Jiwanya bergetar. Geram. Hanya satu kata yang dapat mewakili perasaannya; “Biadab!!!”. Baginya, pandangan-pandangan itulah yang berporos budaya patriarki. Bahkan menganggap wanita sederajad dengan binatang. “Benar-benar inhuman,” pikirnya. Ternyata memang hanya agamanyalah yang memuliakan wanita.

Begitu banyak pelanggaran dalam islam yang hukumannya berupa membebaskan budak wanita. Begitu banyak pula adat-adat tak manusiawi yang dihapus oleh Islam, semacam Nikah ad-Dayzan , Nikah as-Syighār , Nikah al-Badal , Zawaj al-Istibdhā‘ , Nikah Mut’ah ,dll. Tidakkah itu artinya Islam datang dengan membawa kemuliaan bagi kaumnya??

Islam tidak memandang bahwa laki-laki lebih tinggi dihadapan Allah hanya karena menjadi kepala rumah tangga, imam atau berdiri di shaf depan wanita. Karena masing-masing tentunya mendapatkan ganjaran yang sama dalam melaksanakan tugas yang sudah dibagi-Nya. Yang menjadi patokan hanyalah satu: “Tingkat Takwa”, dan itu tak ada relasinya dengan gender. Siapapun mampu dan dipersilakan berlomba-lomba mencapainya.

Bagai salju di musim panas. Uraian tersebut sungguh menyejukkan hatinya. Menebas paradigma negatifnya hingga tumbang. Ya…kenapa ia baru menyadari itu semua di usianya yang setua ini. Hampir saja ia tergelincir ke jurang feminisme radikal. Padahal paham itu lahir dalam konteks sosio-historis khas di negara-negara Barat terutama abad XIX–XX M ketika wanita tertindas oleh sistem masyarakat liberal-kapitalistik yang cenderung eksploitatif. Sedangkan dirinya bukan bagian dari mereka.

Ah...sungguh beruntung menjadi seorang muslim/ah, memiliki budaya yang jauh beradab dari mereka yang mengaku beradab, tapi moral terbelakang. Buktinya....mereka menyamakan wanita dengan binatang, sementara mereka tak bisa hidup tanpa wanita.

Dalam remang, ia bersujud. Bersyukur Tuhan masih merengkuh hati dan otaknya. Man izdada ilman wa lam yazdad hudan, lam yazdad minaLLAHi illa bu’dan. Seseorang yang bertambah ilmunya tanpa hidayah, akan membuat jarak semakin jauh antara dirinya dengan Allah. Karena hati yang tak berdzikir adalah mati, sedangkan otak yang tak bertafakkur mendekati kufur. (Nie, Summer 2007))

Notes:
Nikah ad-Dayzan: bentuk nikah dimana anak sulung laki-laki dibolehkan menikahi janda mendiang ayahnya (ibu tiri).

Nikah as-Syighar: bentuk nikah dimana dua orang bapak/saudara laki-laki saling menyerahkan putrinya/saudari perempuannya masing-masing kepada satu sama lain untuk sama-sama dinikahinya tanpa mahar.

Nikah al-Badal: bentuk nikah dengan cara saling bertukar isteri hanya dengan kesepakatan kedua suami tanpa perlu membayar mahar.

Nikah Istibdha’: bentuk nikah dimana seorang suami boleh dengan paksa menyuruh isterinya untuk tidur dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah hamil sang isteri dipaksa untuk kembali kepada suaminya semula, semata-mata karena mereka ingin mendapatkan bibit unggul dari orang lain yang dipandang mempunyai keistimewaan tertentu.

Nikah Mut’ah: bentuk nikah dimana masa penikahan hanya berlangsung sesuai perjanjian kedua belah pihak (semacam kawin kontrak)

*Tulisan diatas pernah dimuat di Buletin An-Nahdlah PCI-NU cabang Pakistan edisi Agustus 2007

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Menyibak Tabir di Rimbun Jati  

Saturday, August 11, 2007

Oleh: Aini Aryani

Pijar bola api meredup, menyisakan sedikit sinarnya di gumpalan awan barat, hingga senja terlukis dalam jingga yang mengagumkan. Seorang pemuda memandang lukisan alam tersebut penuh takjub, maha karya alam yang tak tertandingi oleh karya lukis manapun, mengingatkannya pada pelukisnya yang Maha Hebat, hingga terluncurlah pujian tulus sebagai ungkapan kekaguman yang sangat, “Subhanallah… Menakjubkan sekali” gumamnya.

Namun sudut matanya menangkap pemandangan yang sangat berbeda. Di lapangan cukup luas, beberapa orang membawa tumpeng serta beberapa makanan khas desa yang dihiasi kembang tujuh rupa. Mereka meletakkan sesajen tersebut di bawah sebuah pohon besar yang akan dipersembahkan untuk makhluk yang mereka percayai sebagai penghuni pohon tersebut. Aroma kemenyan menusuk penciumannya. Ia menatap pemandangan tersebut geram, “Kapankah kemusyrikan berhenti membodohi para penduduk desa ini, sementara mereka mengaku beriman kepadaNya…”
***

“Zim, makan, yuk. Tadi gue liat si Ipul masak cumi goreng sama tumis kangkung tuh di dapur…” ajak Aril. “Mmhh…aromanya menggoda selera, euy..!!!” celetuknya lagi seraya menuju ruang makan. Hazim mengekornya. Selesai menikmati sarapan, Hazim segera menuju surau. Ia diminta pemuda desa untuk mengisi mentor di surau yang berdekatan dengan lapangan. Sementara itu, Aril dan Ipul menuju sawah luas milik Pak Samsul, kepala desa Damar Jati untuk menemani beliau meninjau pekerja disana.

Seperti inilah kegiatan ketiga mahasiswa KKN tersebut di desa Damar Jati, Jawa Tengah yang memiliki panorama alam yang masih alami dan belum banyak tersentuh modernisasi. Tak heran kalau hutan yang berdekatan dengan desa tersebut terlihat begitu rimbun. Tapi, Hazim merasa ada sesuatu yang ganjil disana, hutan jati yang terletak di sebelah barat desa dikenal paling angker dibanding hutan sekitarnya. Usai mengisi mentor, Hazim menyusul kedua temannya. Namun, tiba-tiba ia tertarik untuk melihat sumber mata air di bawah sebuah pohon besar yang terletak di sebelah barat lapangan. Ia melihat mata air itu lebih dekat, kemudian tersenyum penuh arti.

“Eh, men, tadi Pak Samsul minta bantuan kita buat nyariin solusi gimana caranya biar para warga bisa nikmatin air bersih. Soalnya lu tau kan kalo gini hari lagi kemarau.” ujar Aril. Hazim terdiam sejenak lalu tersenyum.
“Kok malah tersenyum tho, Zim. Mbok ya ikut prihatin sama Pak Kades yang mikirin sawah warganya yang kekurangan air.” Ipul sebal melihat tingkah Hazim.
“Aku punya ide biar para penduduk bisa menikmati air bersih. Tadi sepulang dari surau, aku lihat ada mata air jernih di bawah pohon besar dekat lapangan sana. Aku pikir kita bisa membangun sarana air dibawah pohon agar warga bisa menikmati air tersebut.” Hazim tak sabar mengutarakan pendapatnya. Tapi,

“Pohon besar dekat lapangan bola?” tebak Aril. Hazim mengangguk. Aril dan Ipul saling pandang.
“Waduh, Zim. Orang-orang desa ndak akan ngizinin kita. Pohon itu kan pohon keramat. Nanti malah kita yang kena getahnya. Apa kamu ndak takut santetnya Mbah Suro?” ujar Ipul dengan logat jawanya yang medhok.
“Iya, Zim. Apa nggak ada solusi laen? Gue sih setuju aja dengan pendapat tadi. Tapi, tuh tugas cukup berat kayaknya .” Aril menimpali. Hazim mengerutkan dahi, menyisakan garis-garis vertikal diantara kedua alisnya.
“Kalian masih percaya tentang khurafat en tahayul?!” tanya Hazim heran.
“Yaa gue sih nggak percaya-percaya amat. Tapi… kalo boleh jujur, gue keder juga waktu ngeliat tampang Mbah Suro. Tapi, kalo lu emang maunya gitu, gue dukung kok.” jawab Aril mantap.
“Apa? Mbah Suro suka makan bubur kedele?” Penyakit telmi Ipul kumat. Hazim tersenyum geli. Aril menepuk dahinya.
”Oh God…bukan, Puuulll…maksud gue, kalo boleh jujur, gue keder juga…bukan ngomongin bubur kedele. Aduh, kapan sih lu berenti jadi orang TelMi.!!” kata Aril sebal.

Hazim menghela nafas. Ternyata sulit juga nyatuin persepsi dengan kawan yang berbeda karakter, pikirnya. Aril adalah pemuda kota yang jauh dari lingkungan bernuansa tahayyul. Berbeda dengan Ipul yang berasal dari desa semacam Damar Jati yang masih bernuansa kejawen. Mungkin itu sebabnya mengapa Ipul begitu penakut. Tapi Hazim telah membulatkan tekad untuk membangun sarana air di bawah pohon tersebut. Meski resiko yang mungkin akan ditanggungnya tidak gampang. Segera ia menuju rumah Pak Samsul untuk mengutarakan pendapatnya.
***

“Wah, itu tugas cukup berat, Nak Hazim. Pohon itu dianggap keramat oleh orang desa sini karena letaknya berdekatan dengan hutan jati. Apalagi kalo Mbah Suro sampai marah, bisa-bisa…” kalimat Pak Samsul terpotong. Tapi Hazim bisa menebak kalimat selanjutnya,
“Tapi, Pak. Bukankah itu suatu kemusyrikan? Tidak ada yang mampu melindungi manusia dari pengaruh buruk dunia ghaib kecuali Allah. Jika Dia berkehendak, tidak akan ada makhluk ghoib yang mampu mengganggu manusia. Karena manusia lebih mulia dari jin bahkan dari malaikat sekalipun.” ujar Hazim berapi-api.
“Betul, Pak. Saya setuju dengan pendapat Hazim. ” Tiba-tiba Firman, putera Pak Samsul muncul. “Dari dulu saya kurang suka melihat orang desa ini memuja-muja pohon itu, mendewakan Mbah Suro, bahkan tidak berani mendekati hutan jati itu. Sama sekali tidak rasional. “ lanjut Firman.
“Sebenarnya bapak juga sering memikirkan hal itu. Tapi bapak bingung bagaimana caranya menghilangkan ketakutan yang menghantui warga. Walaupun bapak adalah Kades disini, tapi mereka lebih mendengarkan Mbah Suro daripada bapak.” jelasnya lagi.
“Pak, saya jadi curiga kalo makhluk ghaib di hutan jati yang menimbulkan ketakutan warga cuma rekayasa beberapa oknum yang ingin mengeruk keuntungan tertentu.” jelasnya. Hazim mengangguk setuju. Hampir tidak percaya, ternyata pelosok desa seperti Damar Jati memiliki pemuda secerdas Firman.

“Saya setuju dengan pendapat Firman. Kalau Pak Samsul mengizinkan, saya ingin bekerja sama dengan Firman untuk menyingkap rahasia ini.” ujar Hazim.
“Bapak izinkan. Moga berhasil, Nak. Jangan lupa berdoa kepada Gusti Alloh.”

Sore itu juga Firman beserta ketiga mahasiswa itu menuju mata air yang dimaksud. Namun, langkah mereka terhenti oleh pemandangan aneh. Orang-orang tengah berkerumun tak jauh dari pohon besar. Ternyata, di bawah salah satu pohon jati tergeletak mayat seorang wanita setengah baya. Gaun abu-abu yang dikenakannya bersimbah warna merah darah. Tak ada yang berani mendekat karena pohon jati tersebut masih dalam kawasan hutan, kecuali Mbah Suro. Laki-laki tua itu membaca jampi-jampi kemudian membawa mayat itu ke dalam hutan setelah menyuruh penduduk kembali ke rumah masing-masing untuk membuat sesajen persembahan untuk jin penghuni pohon besar yang tengah kelaparan. Katanya, untuk meredam kemarahannya. Firman dan Hazim hanya bisa menertawakan dalam hati. Jin marah karena kelaparan, lalu membunuh seorang wanita? Benar-benar nonsense, batin mereka dalam hati.

Aril merasakan ada yang menggenggam tangannya kuat. Dia melirik ke belakang. O`o ternyata itu tangan Ipul yang tengah ketakutan.
“Eh, Pul. Ngapain pegang-pegang tangan gue…lu takut ya..!!” tanya Aril. Ipul segera melepaskan pegangannya, lalu menghapus keringat dingin yang membanjiri dahinya. Hazim tersenyum geli.
“Iy..Iya, ngeri banget, Ril. Aku ndak berani ikut campur…” jawabnya polos.
“Masa baru mulai langkah udah mau mundur lagi sih, Pul.” tantang Hazim.
“Kita ndak usah neko-neko, Zim. Sing penting kita slamet. Poko`e aku ndak berani ngelawan Mbah Suro.” katanya masih dengan nada cemas. Firman hanya geleng-geleng kepala. Penakut sekali pemuda ini, pikirnya.
***

Semburat merah mega muncul di ufuk, menghela sedikit demi sedikit warna hitam sekitarnya. Firman terbangun lalu berwudhu`, kemudian mulai melangkah menuju surau untuk mengumandangkan nama Sang Pencipta.
“Werrr…” angin menghembus, ia mendekapkan kedua tangannya berusaha mengurangi dingin shubuh yang menusuk. Tiba di surau, ia segera mengumandangkan adzan lalu menghadapNya khusyu`.

Namun saat ia melangkah untuk pulang, ia mendengar suara berisik yang berasal dari hutan jati yang berdekatan dengan pohon besar . Penasaran, Firman mendekat…
“Suro, jati di belakang rumahmu masih utuh, kan?” Suara seorang wanita yang berbicara dengan Mbah Suro membuat kening Firman berkerut.
“Nyonya ndak usah kawatir, dijamin ndak akan ada yang berani ngambil barang yang saya simpan” Suara berat yang tak asing lagi baginya, Suara Mbah Suro.
“Bagus. Sekarang kamu siap-siap. Bos mau bicara langsung dengan kamu.”
“Saya dipanggil ke Jakarta, Nya?!” tanya Mbah Suro. Wanita itu mengangguk.
“Iya, mungkin bos butuh sedikit bantuan kamu di pabrik meubelnya. Yaa sekitar tiga hari-lah.” jawabnya.
Tak lama setelah itu, truk besar segera menuju belakang rumah Mbah Suro dan mengangkut beberapa kayu jati berjumlah besar. Terdesak dengan rasa penasarannya, Firman mengintip dari balik pohon besar itu. Matanya menangkap wajah wanita setengah baya yang tengah menghembuskan asap rokoknya kemudian menyerahkan segepok rupiah ke tangan keriput Mbah Suro.
Sepertinya aku pernah melihat wanita itu, tapi dimana? Tanya Firman dalam hati. Ia berpikir keras. Akhirnya ia ingat bahwa wanita tersebut adalah wanita bergaun abu-abu yang tergeletak di bawah pohon jati kemarin sore.

Pagi masih gelap ketika truk yang mengangkut jati-jati itu berlalu disusul Jeep hitam yang membawa Mbah Suro dan wanita tersebut, kemudian lenyap ditelan rimbunnya hutan. Firman segera menuju rumah Hazim dan kedua temannya.
***
“Apa? Wanita itu masih hidup? Berarti…” Hazim mulai menangkap keganjilan.
“Hiiyy..Itu pasti mayat hidup.” sahut Ipul ngeri.
“Huss… jangan sembarangan ngomong. Lu tuh mikirnya yang serem-serem mulu.” timpal Aril. Ipul memonyongkan bibirnya.
“Maksudku, kejadian kemaren itu bisa jadi cuma rekayasa Mbah Suro karena dia menyimpan kayu-kayu yang ditebang ilegal di belakang rumahnya. Makanya, dia meminta wanita itu untuk pura-pura mati agar para penduduk desa makin takut mendekati hutan jati itu. ” jelas Firman.
“Jadi, maksudmu Mbah Suro menyebar cerita menyeramkan agar para penduduk takut dan tidak berani berbuat macam-macam yang bisa membuat kejahatannya tercium?” tanya Hazim. Firman mengangguk mantap.
“Ooh…aku paham, pasti maksud kalian Mbah Suro itu juga penakut. Jadi, aku ndak apa-apa tho kalo takut juga. Lha wong Mbah Suro aja takut kok..” tebak Ipul sok tau. Aril menepuk jidat.
“Aduh, Pul…Pul…jangan keseringan sotoy alias sok tau gitu dong.?..”Aril sebal.
Tiba-tiba satu pertanyaan terlintas di benaknya. “Terus, wanita setengah baya itu siapa dong?!” tanyanya.
“Dari percakapan mereka, sepertinya wanita itu tangan kanan pengusaha Meubel di Jakarta yang membeli kayu jati ilegal dari Mbah Suro. Gimana kalau nanti malam kita datangi sekitar rumah Mbah Suro, siapa tau kita dapat informasi baru. Mumpung dia lagi ke Jakarta. Tapi untuk sementara ini jangan sampai ada yang tau rencana kita.” saran Firman. Hazim dan Aril mengangguk setuju. Mereka bertiga beralih menatap Ipul yang jadi salah tingkah.
“Eenng…tugasku masak aja ya? Sekalian jagain rumah…he..he…Bukannya takut lho, tapi…tapi cuma pengen nunggu rumah aja. Ndak apa-apa, tho? Mmhh…aku ke dapur dulu ya?” dalihnya seraya menuju dapur setengah berlari.
“Dasar penakut.” ejek Aril. “Oiya, gue kebetulan punya handy cam, kira-kira perlu dibawa nggak?” tambahnya. “Good idea.” jawab Firman.

Malamnya, rencana dilaksanakan. Seperti yang diduga, di belakang rumah Mbah Suro ditemukan batang-batang kayu jati, beberapa batang kemenyan, dan tulang-tulang seperti tulang ayam. Firman menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Pantas..!!” gumamnya pelan. “Pantas apanya, Fir?!” tanya Hazim.
“Waktu mengintip aksi mereka, aku sama sekali tidak melihat hidangan makanan di bawah pohon besar itu. Padahal, malamnya banyak para penduduk yang meletakkan sesajen seperti yang diperintahkan Mbah Suro kemaren sore.” jawabnya.
“Maksud kamu, yang menikmati hidangan-hidangan itu Mbah Suro?!” tanyanya lagi hampir tak percaya.
“Bisa jadi.” jawab Firman. Tiba-tiba…
“Men, liat nih apa yang di dalem rumahnya.” Teriak Aril. Mereka mengintip sebagian isi rumah dari jendela yang mungkin lupa dikunci oleh penghuninya. Mereka melihat sisa tumpeng dan beberapa makanan lainnya.
“Kayaknya mereka habis party tuh, tadi shubuh. Mungkin Mbah Suro tergesa-gesa perginya, makanya nggak sempet beresin sisa-sisanya.” Aril berpendapat.

Mereka pulang usai merekam beberapa hal penting. “Masalah ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Ini bukan hanya membodohi masyarakat dan merugikan negara, tapi juga menodai agama dan membuat orang-orang desa terbawa arus kemusyrikan. Kita harus hentikan secepatnya. Insya Allah besok pagi aku akan berangkat ke kecamatan untuk melaporkan ke pihak yang berwenang sebelum Mbah Suro kembali dari Jakarta.” kata Firman.
“Perlu bantuan? Maksudku, kamu perlu teman kesana?” tawar Aril.
“Mmh…gimana kalo aku sendirian aja yang kesana, karena kalau salah satu dari kalian ikut, itu bisa mengundang kecurigaan. Oiya, Ril hasil rekaman kita tadi mungkin akan sangat berguna untuk bukti.” sarannya.
“Siiip, bawa aja. Nih…” Aril menyerahkan hasil rekamannya. Firman segera pulang dan mengabarkan semuanya pada ayahnya. Paginya, ia segera berangkat menuju kecamatan untuk melaporkan pada pihak berwenang.
**&&&**

“Angkat tangan…!!!” Seorang polisi dengan pistol di tangan menangkap basah laki-laki tua yang tengah menebang jati. Laki-laki itu berbalik lalu terkejut melihat beberapa polisi di sekelilingnya, terlebih ketika matanya bersirobok dengan sepasang mata milik Firman dan ketiga kawannya. Mbah Suro membuang parangnya lalu perlahan mengangkat tangannya tanpa mengalihkan tatapan geramnya pada keempat pemuda di depannya. Tak lama kemudian kedua tangan Mbah Suro terkunci dalam besi borgol.
Mereka tersenyum lega, akhirnya kemungkaran dapat terungkap. Rencana membangun sarana air di bawah pohon tersebut dapat terlaksana. Kekurangan air dapat diminimalisir dan ketakutan para penduduk akhirnya berhasil dilenyapkan.

Hazim kagum dengan kecerdasan dan keberanian Firman. Kehidupan yang jauh dari kebisingan kota tak membuatnya tertinggal dari para pemuda kota sebayanya. Justru itu membuatnya tampak bersahaja. Akhirnya Hazim tahu, ternyata Firman adalah alumnus Al-Azhar University di Mesir yang baru setengah tahun lalu menyelesaikan studinya. Ia menimba ilmu di negeri Ali Jinah tersebut dengan beasiswa karena index prestasinya selalu di atas 3,5. Benar-benar pribadi yang pantas dijadikan teladan.
***

Senja dalam jingganya yang mengagumkan terlukis lagi di langit sebelah barat. Menandakan pijar bola api mulai meredup, memberi kesempatan bagi galaksi lain untuk muncul. Untuk kesekian kalinya, pemuda itu menikmati alam terlukis di kanvas langit sana penuh takjub dan syukur. Seperti rasa syukurnya atas kebahagiaannya hari itu, karena Sang Pencipta lukisan alam tersebut telah mengembalikan kedamaian desanya dari nuansa khurafat yang berbau kemusyrikan. (Nie)

*Tulisan diatas pernah dimuat di Buletin NUN, yang diterbitkan oleh Dept. Media & Informasi PPMI Pakistan, edisi Maret 2007

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Mendamba Langit  

Friday, August 10, 2007

Kau tatap lagi bayangnya yang semakin menjauh
Dari balik jaring-jaring yang disulam laba-laba
Ternyata biru megah itu berbias maya
Ia tak seindah yang kau bayangkan

Dahulu kau kira sanggup tundukkannya
Dari ujung samudera yang bertemu dengan awan
Namun ternyata ia semu belaka
Karena kau tahu samudera tiada berbatas

Tinggi…Memang ia begitu tinggi
Iapun mengaku atap bumi yang kau pijak
Namun angkuhnya mulai pamerkan taringnya
Kau tak sudi binasa dalam terkamannya

Namun mengapa kau dan mereka berebut
Demi fatamorgana yang kau anggap nyata itu
Meski mungkin nyawa taruhannya
Bahkan mungkin imanpun harus kau gadaikan

Padahal tatkala siang meninggalkan jagad
Biru megahnya yang kau pujapun lenyap
Karena malam yang selalu menebar kelam
Menyembunyikan kemegahan yang dibanggakannya

Ya…langit yang selalu kau tuju itu
Kini telah gelap, lenyap dibalik tirai kelam
Tingginya yang kau kira terlawan
Ternyata takkan pernah dapat kau raih

Meraihnya ibarat insan dahaga mencari samudera
Tatkala sampai di tujuan, ia mulai meneguk sepuasnya
Namun tiada pula dahaga itu mati
Karena semakin ia teguk, Semakin pula ia dahaga

Kawan…
Mengapa semua itu kau sadari
Ketika maut mulai mengintaimu
Ketika kau tengah meregang nyawa…

(By: Aini Aryani)

NB:
Tulisan ini pernah dimuat di Buletin NUN,yang diterbitkan oleh Dept. Media & Informasi PPMI Pakistan, edisi Februari 2005

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Kerinduan Sang Telaga Bening  

Oleh: Aini Aryani

“Mbak Elvi nggak pulang lagi idul fitri ini? “.
“Iya, Mit. Soalnya materi-materi yang belum disampaikan masih banyak. Apalagi bentar lagi UAS.” paparnya. Kuhembuskan nafas sebal, lalu mencoba hubungi Mas Arya.
“Assalamualaikum… lebaran tahun ini Mas pulang ke Indonesia ya. Kan udah hampir tujuh tahun nggak pulang.”
“Nggak janji, Dek. Tiap akhir Ramadhan aku harus ke Mekah meliput sholat Idul Fitri. Tapi, insya Allah aku usahain deh.” jawabnya. Lagi-lagi aku menghela nafas.
Beginilah kalau punya kakak-kakak super sibuk. Mbak Elvi seorang dosen di Universitas Samratulangi, Manado. Lima tahun lamanya belum pernah pulang. Sedang Mas Arya alumni Institute of Public Education di Victoria yang kemudian melanjutkan pendidikannya ke Maryland menekuni bidang pers dan jurnalistik. Mas Arya patut menjadi kebanggaan keluarga karena berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan predikat cumlaude. Sekarang ia benar-benar meraih impiannya menjadi seorang journalist di sebuah media ternama di Perth, Western Australia. Menurutku ia adalah seorang “Workaholic”. Dulu, aku pernah membaca satu kalimat tertulis di tembok kamarnya, “Not to occupy and not to exist are one and the same thing for a man.”
***

Kuperhatikan Bunda yang tengah menikmati sore bersama tiga kucing piaraannya. Kadang beliau mengelus, memangku, bahkan mendongeng, seakan-akan mereka memahami bahasa manusia. Aku mendekat lalu berdehem. Namun sepertinya Bunda terlalu menikmati suasana bersama kucing-kucing mungil itu, hingga kehadiranku sama sekali tak disadari. Akupun beranjak menuju ruang tamu.
Kuamati ruangan ini. Oh…ternyata debu jendela depan sangat tebal. Maklum Bik Minah, pembantu kami sedang pulang kampung. Mataku iseng mengamati kalender.

“Oh iya, Bunda kan ulang tahun tanggal 2 April. Berarti seminggu lagi Bunda ultah dong.” Tiba-tiba satu ide muncul dibenakku. “Ctekk..!!” Kujentikkan jari. Lalu menuju telfon di sudut ruang tamu.
“Assalamualaikum, Mbak inget kan kalo 2 April ini ultah Bunda? Nggak apa-apa deh Idul Fitri nggak pulang. Tapi waktu ultah Bunda, Mbak dateng ya? Bunda pasti seneng banget kalo Mbak Elvi dan Mas Arya bisa dateng.” rajukku.
“Mm…Mit, kebetulan minggu depan Mas Ishak ada tugas ke Semarang, jadi kemungkinan Mbak bisa sekalian ke Surabaya.” Aku hampir terlonjak saking girangnya, kemudian mencoba menghubungi Mas Arya, tapi gagal.
“Kok gak nyambung sih…” gumamku. Lalu ponselku berbunyi. Private number.
“Assalamualaikum, Mit. Aku udah dua hari ini di Pakistan untuk meliput berita convocation di IIUI.” paparnya. Pantesan waktu ditelfon tulalit terus.
“Mit, ngomong-ngomong Bunda baik-baik aja kan?” tanyanya.
“Baik aja…Mm..oh ya, Mas inget kan kalo 2 April ini ultah Bunda? Mitha pengen bikin kejutan nih. Mas usahain pulang ya, biar Bunda seneng. Nggak apa-apa deh Idul Fitri ini nggak bisa dateng. Tapi waktu Bunda ultah, dateng ya? Pliiizz..!!” rajukku.
"Mmm…bentar, aku lihat schedule dulu,” Kutunggu Mas Arya beberapa menit.
“Rencananya dua minggu lagi aku mau ke Indonesia untuk meliput sengketa Indonesia-Malaysia. Jadi, kemungkinan bisa dateng.” jawabnya. Mataku berbinar.
Segera kurancang rencana selanjutnya. Semoga kami dapat menikmati senyum Bunda lagi. Yah, setelah ayah meninggalkan kami untuk selamanya, Bunda terlihat jarang tersenyum. Amat jarang malah. Bahkan selalu terlihat murung. Hampir seluruh waktu dihabiskannya bersama tiga kucing mungil itu, seakan Bunda selalu ingin di dekat mereka. Bik Minah pernah menelfonku tengah malam hanya karena khawatir dengan keadaan Bunda yang sakit-sakitan karena mogok makan sebab salah satu kucingnya sakit. Tanpa kami sadari, kucing-kucing itu akan membawa satu masalah dalam keluarga kami.
***

Kutata seluruh ruangan serapi mungkin. Korden dan taplak mejapun kuganti dengan warna hijau muda, warna kesukaan Bunda. Setelah merapikan jilbab, kudengar suara ketukan pintu. Kupikir kedua kakakku. Tapi dugaanku meleset. Yang datang hanyalah kiriman hadiah. Tepat setelah kutanda tangani tanda terimanya, telfon berdering,
“Assalamualaikum. Dek, aku ada urusan mendadak. Jadi, nggak bisa dateng. Tapi tadi aku telfon rekanku disitu untuk mengirim hadiah buat Bunda. Maaf ya, Dek.”
Suara Mas Arya membuat lututku lemas seketika. Kututup gagang telfon dengan gelisah. Lagi-lagi telfon itu berdering. Kuangkat gagang telfon itu tanpa gairah.
“Assalamualaikum. Dek, tadi pagi Mbak mau berangkat kesana, tapi tiba-tiba dapet info kalo besok ada rapat penting di kampus. Jadi, Mbak langsung ke Jakarta untuk terbang ke Sulawesi lagi. Maaf ya, Dek.” Aku hampir menangis mendengar penjelasan Mbak Elvi. Ya Allah, mengapa semuanya terjadi di luar rencana?
Dari kamar Bunda, samar-samar kudengar suara merdu melantunkan kalamNya.
Bunda, maafkan Mitha yang belum berhasil mengembalikan senyum itu.

Kuhempaskan tubuhku di sofa, lemas kusandarkan punggung yang terasa pegal. Mataku bersirobok dengan foto mendiang ayah. Masih segar di ingatanku ketika kami menikmati indahnya senja di suatu sore sambil menikmati teh hangat buatan Bunda,
“Mit, Bunda kalian bagai telaga bening yang menyejukkan, yang selalu mengundang kita untuk duduk di tepinya, merenung dalam bayang air jernihnya, atau membasuh wajah menghilangkan resah, bahkan berenang di dalamnya karena lelah, meski telaga itu berkecipak karenanya, atau keruh…atau kotor…”
***

Bik Minah kembali dari kampung. Akupun bersiap-siap kembali ke Jakarta. Kuketuk pintu kamar Bunda. Tak ada jawaban. Pelan kubuka pintu, ternyata beliau sedang beristirahat. Tak jauh dari tempat tidurnya, kulihat tiga kucing mungil yang juga pulas di atas ranjang empuk. Jadi aku hanya menitip pesan lewat Bik Minah.
Namun, sampai di Jakarta, Bik Minah kembali menelfonku,
“Non Mitha, celaka, Non..celaka…!!” Suaranya terdengar panik.
“Ada apa, Bik?” tanyaku penasaran.
“Anu, Non. Tadi pagi kucing-kucing itu di tabrak mobil waktu bermain di jalan raya…Waduh…ya`opo iki…”suara Bik Minah terdengar panik.
“Terus Bunda gimana, Bik?” tanyaku khawatir.
“Lha itu dia, Non. Setelah melihat tiga kucingnya mati, Ndoro putri nangis ndak berhenti-berhenti, lalu pingsan. Terus, Ndoro selalu ngigo ndak karuan. Waktu sudah sadar, tatapannya kosong terus. Perkataan Bik Minah ndak pernah diperdulikan. Bahkan selalu mengulang-ulang kalimat yang sama. Katanya…” Kata-kata Bik Minah terpotong.
“Kalimat apa, Bik?” Tanyanyaku yang makin penasaran.
”Kata Ndoro putri ‘Elvi, Arya, Mitha jangan menyusul ayah kesana, jangan tinggalkan Bunda sendirian disini…’ begitu kalimatnya. Waduh…Bik Minah bingung mau ngapain. Non Mitha pulang ya, Non.” katanya masih dengan suara bergetar.
Segera aku berangkat ke Bandara untuk terbang menuju Juanda setelah meminta Bik Minah membawa Bunda ke rumah sakit. Jangan-jangan Bunda benar-benar menganggap tiga kucing itu sebagai Mbak Elvi, Mas Arya, dan aku?!
Bunda, mengapa senyum itu semakin menjauh? Mengapa ia terlalu sulit tuk dihadirkan kembali?
***

Bunda tengah terlelap ketika aku tiba. Dari wajah teduh yang kian menua itu, aku bisa melihat gurat kecewa, kesedihan, juga kerinduan mendalam disana. Kubuka diary, lalu perlahan kugoreskan penaku di lembaran-lembaran biru itu;
Bunda…
Senyum itu pergi lagi, semakin jauh, entah dimana ia bersembunyi
Andainya samudera atau rimbun hutan yang sembunyikan ia
Ingin Nanda selami samudera itu
Atau mengoyak ranting-ranting rimbun hutan itu
Meski tangan ini ikut terkoyak karenanya
Bunda…
Masih segar membekas di ingatan ini
Ketika kau ajari kami ‘alif, ba’, ta’ dengan kefashihan lisanmu
Agar kami dapat menyelami lautan hidayahNya
Atau ketika tangisan kami pecah, dirimu terbangun resah
Merelakan matamu tak terpejam demi menghalau gelisah kami
Pun ketika Nanda jatuh dari peraduan dan merengek
Kau raih Nanda ke pelukan kasihmu, seraya meneteskan airmata
Seakan kaulah yang tengah merasakan sakitnya raga
Namun...
Ketika kami beranjak dewasa, dan kau tengah di usia senja
Kaki-kaki mungil kami dulu, kini tak dapat kau elus lagi
Tangan-tangan mungil kami juga tak dapat lagi kau sentuh
Kami sibuk mengejar asa sendiri, larut dalam ego
Tak sadar bahwa ada telaga bening yang tengah merindu
Yang ingin meredam resah, menghilangkan gelegak duka
Telaga bening itu adalah engkau, Bunda
Kini…
Izinkan Nanda mencari kekuatan mahadaya
Agar mampu mempersembahkan senyum untukmu, Bunda…


Kututup diaryku perlahan. Kutahan mataku yang berkaca-kaca. Tapi tiba-tiba,
“Elvi, Arya, Mitha jangan menyusul ayah kesana, jangan tinggalkan Bunda….” igau Bunda. Mengulang kalimat itu berkali-kali. Aku panik. Segera kupanggil suster.
Setelah keadaan Bunda mulai membaik, kudekati beliau yang tengah menatap jendela. Tatapannya kosong.
“Bunda, ini Mitha…” bisikku. Tak ada respon. “Bunda, ini Mitha, puteri Bunda.” Ulangku. Ia menangis sesenggukan, tapi tangis itu makin kencang, bahkan meraung…
“Tidak…Mitha juga ditabrak mobil itu bersama Elvi dan Arya… huu… huu.. anak-anak Bunda menyusul ayahnya…huu…” Raungan bunda membuatku kaget. Akhirnya tangisku pun pecah.
“Tidak, Bunda… yang mati itu hanya kucing…bukan anak-anak Bunda…hanya kucing, Bunda.” Aku harus berhasil meyakinkan Bunda. Namun Bunda tetap meraung. Hatiku semakin galau, seiring airmataku yang semakin deras.
“Bunda, ini Mitha, putri Bunda. Kucing-kucing itu cuma hewan. Bunda masih ingat kan waktu dulu Mitha mecahin kaca tetangga, Bunda marah dan ngurung Mitha dalam kamar. Terus, waktu Mitha sakit typus, Bunda seharian nemenin Mitha di kamar, gendongin Mitha setiap ke kamar mandi, nyuapin Mitha setiap makan…masih ingat kan, Bunda…ini Mitha, anak Bunda.” celotehku sambil terus menangis. Tangis Bunda mereda lalu terdiam. Kubiarkan Bunda menenangkan diri. Lama, hingga akhirnya beliau terlelap.

Kutatap mata Bunda lekat. Aku harus berhasil meyakinkan Bunda bahwa aku, Mbak Elvi dan Mas Arya-lah darah dagingnya, bukan kucing-kucing itu. Aku tidak akan membiarkan tiga hewan itu menggantikan tempat kami di singgasana hati Bunda.
Pun aku harus meyakinkan kedua kakakku bahwa Bunda butuh mereka disini saat ini. Juga bahwa hadiah-hadiah yang selalu mereka yakini dapat membahagiakannya, takkan pernah mampu menggantikan kehadiran mereka disisi Bunda. Bagi Bunda mereka terlampau berharga tuk digantikan dengan kebendaan, karena putra putrinya adalah anugerah terindah yang tak terbeli, yang merupakan karunia tebesar dariNya.

Bunda masih terlelap ketika Mbak Elvi dan Mas Arya datang. Mataku berbinar saat melihat Bunda membuka mata bersama kami sampingnya. Seketika itu, kami serentak memeluk wanita terkasih itu…Kini kami disini untuk Bunda…(Nie)
(Persembahan tuk Bunda-ku. Miss U so Much, Mom)

*Tulisan ini menjadi juara II lomba FCPI Awards 2005 dan dimuat oleh Buletin NUN, yang diterbitkan oleh Dept. Media & Informasi PPMI Pakistan, tahun 2005

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Bagai Mentari Musim semi  

Wednesday, July 25, 2007

Oleh: Aini Aryani

“Yes…!!!” ia bersorak dalam hati, senyumnya mengembang seiring suara tepukan di Jinah Convention Center yang terdengar semakin membahana.
Ia merupakan satu-satunya mahasiswi asing dari Asia Tenggara yang dinobatkan sebagai salah satu penerima Gold Medal dari sekian banyak mahasiswa dan mahasiswi asing di kampusnya, International Islamic University Islamabad. Ia patut berbangga.
Senyumnya semakin mengembang ketika Dr. Mahmood Ghazi, sang President of The University mengalungkan medali emas tersebut ke lehernya. Senyum itu tetap tersungging hingga saat langkahnya meninggalkan gedung tersebut.

Namun, senyum itu tiba-tiba hilang ketika sepasang matanya menatap wajah seorang wanita yang tak diharapnya untuk datang. Bibir yang sedari tadi membentuk sabit mungil, kini tak tampak lagi. Yang terlihat hanyalah sebuah paras ayu namun menyimpan rasa kesal, bahkan mungkin malu.

Malu. Ya…karena wanita itulah kini ia dihinggapi rasa malu. Bagaimana tidak, sejak kedatangan wanita yang telah melahirkan dirinya itu ke negeri ini, ia merasa bahwa rekan-rekannya memandangnya sebelah mata, bahkan mungkin menatapnya sinis. Entah, apakah yang dirasakannya benar atau salah. Yang pasti, perasaan itulah yang kini sedang ia rasakan. Seakan-akan ia dikelilingi oleh labirin-labirin yang setia meneriaki telinganya dengan teriakan, “Rika, kau anak wanita buta…..!!!”
“Huh…” dengusnya kesal. Mengapa pula Mama bersikeras untuk hadir di convocation day ini, rutuknya dalam hati.

“Erika…!!” suara yang tak asing lagi. Suara Mbak Ratna, kakak satu-satunya. Mbak Ratna-lah yang mengantar Mamanya menuju Negeri Ali Jinah ini, negeri dimana ia mendalami ilmu di program S2 bidang Management Sciences.

Gadis itu menoleh. Terpaksa.
“Rika, Mama dan Mbak nunggu dari tadi lho. Padahal tadi udah Mbak bilang kalo acaranya masih lama. Tapi mama bersikeras nunggu. Nggak sabar pengen pegang toga kamu.” kata kakaknya antusias. Disampingnya, Mama hanya tersenyum.
“Ma, ini Rika. Mama pegang deh toganya.” ujar Mbak Ratna pelan seraya membantu Mama meraba toga kebesaran yang tengah dikenakannnya.
“Mama bangga, Nak.”ucap wanita itu tulus.
Ibu mana yang tak bangga jika putrinya meraih apa yang menjadi impiannya. Terlebih, semenjak duduk di bangku Sekolah Dasar hingga menamatkan program S2-nya, Erika hampir tak pernah mendapat nilai mengecewakan.

Erika menatap sekeliling, berharap teman-temannya tak ada disekitar tempat itu, apalagi melihatnya bersama Mama. Tapi, Ups…Syamsa, classmate yang sering menjadi rivalnya di kelas. Ia melihat Syamsa berjalan menuju ke arahnya. Tidak..! Syamsa tak boleh tau hal ini. Bisa-bisa dia menertawakan keadaan ini, batinnya. Erika menatap Mamanya. Lalu…
“Tap…” ia meraih tangan Mama yang tengah memegang toganya, kemudian mengibaskannya kasar, lalu dengan setengah berlari ia melangkah menjauh. Sekilas dilihatnya ekspresi kaget dari wajah Mama.
“Erika, apa-apaan kamu…?!” Samar ia mendengar teriakan Mbak Ratna. Ia tak peduli.
***

Hari itu sebenarnya Erika harus mengurus kepulangannya untuk kembali ke tanah air. Namun tiba-tiba ia mendapat berita dari ponselnya bahwa ia diminta untuk menghadap Dr. Mahmood Ghazi.
Taksi yang tadinya menuju kantor Kedutaan Indonesia, kini berbelok arah menuju Faishal Mosque, tempat dimana maktab sang Presiden bertempat.
Ia melangkahkan kaki seraya menebak-nebak, ada apa gerangan? Langkahnya terhenti ketika ia tiba di sebuah ruangan yang dituju. Segera ia masuk setelah mengucap salam.
Matanya berbinar setelah mengetahui bahwa dirinya diminta untuk menjadi salah satu staf pengajar tetap di IIUI. Segera ia kembali ke rumah yang disewanya. Ia harus mengambil berkas-berkas penting untuk segera difotokopi.

“Krek…” ia membuka pintu rumah lalu dengan tergesa menuju kamar dan mengambil berkas-berkas penting. Namun ketika melangkah keluar…,
“Braaakk…!” seseorang menabraknya. Kertas-kertas ditangannya berserakan. Ia memandang seorang wanita didepannya. Mama.
“Mama gimana sih, ini berkas-berkas penting yang harus saya fotokopi secepatnya, Ma. Aduh…berantakan deh. Mana ntar lagi kantor mau tutup lagi. Huhh…” dengusnya sebal.
“Mama minta maaf ya sayang. Soalnya tadi Mama pikir kamu baru pulang dan capek. Makanya Mama mau nawarin wedang jahe. Itu wedangnya, sudah Mama taruh di atas meja. Tadi Ratna bantu Mama di dapur.”
“Gak usah, Ma. Saya buru-buru.” Jawabnya ketus seraya beranjak pergi tanpa menoleh ke arah Mama.
***
“Kring…”
“Ya…hallo…oh Syamsa. How are you?” Tanya Rika basa-basi. Syamsa adalah mantan classmate-nya yang berdarah Pakistan asli.
“Fine! Thanks…Rika, saya dengar ibu kamu datang di convocation kemarin. Benar tidak?” tanyanya dengan logat British yang fasih. Erika kikuk.
“Ii..iya…memangnya kenapa, Syamsa?”
“Oh, you must be happy…karena tidak semua foreigners bisa ditemani orang tuanya ketika diwisuda. Iya kan?” tanyanya lagi. Erika hanya mengiyakan.
“Kalau begitu, kenapa kamu tidak memperkenalkan saya dengan ibumu, Rika? Sebenarnya saya melihat kamu usai acara wisuda kemarin, tapi karena kamu pergi, saya tidak jadi menghampiri. Kalau tidak salah, mereka berdua kakak dan ibumu, bukan?” tebak Syamsa.
“Ee…bu..bukan kok. Mereka itu, yang satu, kakak saya, usianya sekitar 30-an. Tapi yang satu, lagi cuma orang Indonesia yang sudah saya anggap keluarga sendiri.” Jawabnya dengan nada meyakinkan.
Ia menghela nafas setelah Syamsa menyudahi pembicaraan mengenai Mama. Namun…
“Keterlaluan kamu, Erika…” tiba-tiba Mbak Ratna muncul dari balik pintu kamarnya.
“Eh…mm…Mbak..” jawabnya terbata. Mbak Ratna menghampirinya, lalu menatapnya dalam. Rika berharap ia tak mendengar percakapannya dengan Syamsa tadi.
“Kamu risih dengan keadaan Mama?” Tanya Mbak Ratna. Erika diam. Baginya, kalimat tersebut bukan sekedar pertanyaan biasa yang menunggu satu jawaban singkat, namun merupakan investigasi dalam bentuk pertanyaan yang menuntut penjelasan panjang lebar juga rasional.
“Bukan, Mbak… saya cuma….cuma…” Ia bingung untuk melanjutkan kata-katanya sendiri.
“Cuma malu maksud kamu? Iya kan?” tuduhan itu menamparnya telak. Ia tak bisa mengelak. Hanya satu pilihan yang ia pikir harus dilakukan saat ini. Membela diri.
“Mbak, coba bayangkan kalau saja Mbak Ratna ada di posisi saya. Sejak Mama berkunjung kesini, temen-temen cenderung memandang saya sebelah mata. Seakan-akan saya itu nothing di hadapan mereka. Bukankah itu semua disebabkan karena kondisi fisik Mama?.”Ucapnya.

Ada perasaan bersalah yang perlahan menyusup ke dalam hati kecilnya hingga membuatnya menyesal telah berkata demikian. Ia tahu bahwa apa yang baru saja diucapkannya dapat melukai perasaan Mbak Ratna, terlebih jika Mama mendengarnya.
Tapi…apa yang ia ungkapkan benar-benar seperti yang dirasakannya saat ini. Dan menurutnya, Mama tetap bersalah karena baginya kebutaan Mama telah membuat reputasinya down dihadapan rekan-rekannya. Jadi, tak salah jika dirinya mengatakan hal seperti itu. “Rasional bukan?” Sahut bisikan hatinya yang lain. Tapi…,

“Benar-benar keterlaluan kamu, Rika!! Mbak menyesal kenapa dulu Mama bersikeras untuk mendonorkan kornea mata beliau untuk puteri bungsunya yang terlahir dalam kebutaan.” Suara Mbak Ratna terdengar bergetar menahan marah.
“Apaa….?!” Kalimat yang baru saja didengarnya membuatnya tak percaya. Bukankah dirinya adalah puteri bungsu Mama?!. Berarti….
“Jika sekarang kamu bisa seperti ini, semuanya tak lepas dari pengorbanan Mama. Pengorbanan yang tak semua orang sanggup lakukan. Pengorbanan tulus dari seorang Mama yang tak rela jika puteri yang dicintainya cacat seumur hidup.” Paparnya.
Erika terhenyak. Matanya terasa panas, seakan bulir bening didalamnya memaksa keluar.
“Tapi, mengapa Mama melakukannya, Mbak…?” tanyanya. Suara paraunya hampir tak terdengar. Mbak Ratna terdiam sejenak, menetralkan emosinya yang sedari tadi menggelegak.
“Saat kamu dilahirkan, Mama bilang bahwa beliau tak hanya melahirkan seorang putri, tapi juga melahirkan sebuah cinta. Cinta yang bagi Mama menuntut pengorbanan, meski itu begitu berat. Hingga walau pengorbanan itu mengharuskan beliau menderita kebutaan seumur hidupnya, seperti yang kamu lihat saat ini…” Mbak Ratna terdiam sejenak, lalu melanjut kan…
“Tapi ternyata hingga detik inipun kamu tidak mampu melihat cinta itu di mata Mama. Jadi, siapa sebenarnya yang buta itu, Rika?!” Mbak Ratna mengakhiri kalimatnya seraya menuju kamar Mama.
Sementara itu, Erika masih terpaku. Lama, lalu tersungkur. Ia memejamkan kedua matanya. Terbayang ketika ia membentak Mama. Wanita tegar itu hanya diam, tapi ia tahu sepasang mata itu berbicara banyak. Sayang, Erika tak mampu menerjemahkannya.
Perasaan bersalah serta penyesalan seakan menamparnya bertubi-tubi dan tanpa ampun. Bulir bening yang sedari tadi memaksa keluar dari bola matanya, kini bagai ombak maha dahsyat yang meluluh lantakkan karang kokoh bernama keangkuhan di hatinya.
***

Sebulan kemudian…
Usai menamatkan tilawah, ia menuju beranda rumah. Langkahnya pelan, seiring langkah mentari yang mencari pagi. Hawa dingin winter masih menusuk. Sebulan sudah Mama dan Mbak Ratna meninggalkannya menuju tanah air. Ada kerinduan menyusup ke dalam relung hatinya. Tiba-tiba ia teringat kalimat Mbak Ratna sebulan yang lalu, “Siapa sebenarnya yang buta itu, Rika?”

Ia tahu, pertanyaan itu tak butuh jawaban secara lisan. Lebih dari itu, ia menuntut jawaban dari hati. Pun pertanyaan itu mengandung sarkasme cukup tajam, hingga mampu menebas keangkuhan yang pernah berdiri kokoh di satu ruang dalam hatinya.
Terbayang wajah teduh Mama. Bagi Erika, Mama adalah wanita paling tegar yang pernah ia temui. Sungguh, Mama tak pernah buta. Melainkan, dialah yang patutnya dinilai buta, karena dirinya tak mampu melihat cinta Mama yang begitu tulus hingga sanggup melahirkan pengorbanan yang begitu besar untuknya. Lebih dari itu, cinta Mama mampu mencairkan kebekuan dalam hatinya, meski kebekuan itu bak gumpalan salju di puncak Bukit Muree.

Ia merasakan cinta Mama memanggilnya, menggerakkan syaraf motoriknya untuk segera menemui wanita terkasih itu dan memohon maaf darinya. Ia benar-benar rindu. Baginya, kasih Mama sehangat mentari musim semi. Ya, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halaman meski harus meninggalkan profesinya. Baginya, itu hanyalah secuil dibanding besarnya pengorbanan Mama.
Tak sadar iapun bergumam “Ma, betapa aku rindu….”(Nie)

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Irish Unfazed by Smoke-Free Pubs  

Wednesday, June 27, 2007


By: James Helm BBC Dublin correspondent

Some Irish smokers favour the ban as a way to cut downBack in early 2004, when the introduction of a smoking ban in Ireland loomed, the prospect produced incredulity abroad.

Why, it was asked, would the country with the best-known "pub culture" in the world want to change a seemingly winning formula?

For Irish pub-goers, smokeless pubs are now the norm.
It has become a well-established routine for smokers in pubs the length and breadth of the land, from smart city bars to old-fashioned rural watering holes: if they fancy a quick cigarette, they have to put down their drink and head for the street outside or the beer garden at the back.
Some say that mingling outside is a great way to make new friends, with even non-smokers risking a gulp of tobacco smoke to join in.
Others joke that the only problem about smoke-free pubs is that you get a whiff of other, less-than-attractive, aromas instead.

But more than three years after the ban on smoking in the workplace, what have the effects been?
Speak to many pub owners, and they say the ban has cost them dearly in lost trade
The Irish government and various health experts and groups argue firmly that the ban has been a huge success, offering long-term health benefits to both workers and customers.
According to a recent survey, more than one in five Irish smokers has been smoking less since the ban came into force.

Heavy fines

Compliance is said to have been very high. There have been remarkably few stories of pubs or individuals flouting the ban and enjoying a sneaky indoor smoke.
While some publicans in some bars may occasionally turn a blind eye, the threat of stiff fines has kept people in line.
At the same time, politicians and civil servants have beaten a path to Ireland to learn about how the ban was introduced and the impact it has had.

The traditional pint and smoke is long gone for the Irish
A couple of years ago the then Scottish First Minister, Jack McConnell, visited a pub in Temple Bar in Dublin to hear how the ban had gone, prior to Scotland introducing its own legislation.
Yet speak to many pub owners, and they say the ban has cost them dearly in lost trade. Some claim business has fallen by up to 30%, and that the drop in custom has caused job losses, with some publicans selling up.
Those most affected seem to be isolated country pubs and urban bars with no outside space where smokers can go.
For some parts of the pub trade the smoking ban, coupled with broader trends of people drinking more at home rather than in the pub, and of new random breath testing, has contributed to a decline.

Part of life

At the time of the ban's introduction, I was struck by how many of the smokers I interviewed were actually in favour of the ban, partly as it would help them cut down on their tobacco intake.
Others resented the idea of having to head outside for a smoke, whatever the weather, and still do, but it has simply become part of life.
So even in the most remote pubs in the west of Ireland, I have seen a similar routine being played out by customers who want to light up.
One theory is that Irish consumers are a flexible bunch - that they have taken to the introduction of the euro, to the arrival of a plastic bag tax, and the smoking ban in recent years, all with a communal shrug of the shoulders and a desire to adapt and get on with it.

sumber: http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/6238492.stm

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Urgensi Pendidikan Bagi Wanita  

Wednesday, June 20, 2007

Oleh: Aini Aryani M

Kemajuan wanita adalah sebagai ukuran kemajuan suatu negeri. Kaum ibu yang dapat menggoyangkan buaian dengan tangan kirinya, dapat pula menggoyangkan dunia dengan tangan kanannya.” ( Napoleon Bonaparte )

Boomingnya arus globalisasi, mengharuskan setiap individu untuk turut berperan aktif didalamnya, baik itu laki-laki atau perempuan. Sayangnya, statement yang menyatakan bahwa tugas wanita hanya terbatas dalam rumah semata masih mengakar sampai saat ini, hingga tidak sedikit wanita yang enggan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan alasan telah menguasai “ilmu” memasak dan berhias yang mereka anggap sebagai “pengetahuan inti seorang wanita” dan merasa tidak perlu menuntut pendidikan yang tinggi. Padahal lebih dari itu, seorang wanita dikaruniai kemampuan lebih dari sekedar menunaikan tugas domestiknya. Memang, seorang wanita tidak boleh mengabaikan rumah tangganya, dan tetap mencurahkan kasih sayang untuk keluarganya. Syed Muhammad Quthb berkata, “ Mother is the focus of attention for all the members of the family” ( Islam, The Miss understood Religion Quoted by Encyclopedia of Seerah ). Namun disamping itu, wanita memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan diri dalam masyarakat.

“Ibu adalah Al-Madrasah Al-Ula bagi putera puterinya.” Ungkapan tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa wanita hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup guna mendidik putera puterinya sebaik mungkin. Kewajiban menuntut ilmu yang tinggi tidak hanya diwajibkan bagi laki-laki, karena pendidikan juga teramat penting bagi wanita. Seorang wanita berpendidikan dapat memberikan kontribusi lebih besar bagi keluarga, masyarakat, agama, bahkan kepada bangsa. Sebagai contoh, seorang muslimah yang berasal dari Hamedan, Iran bernama Shirin Ebadi mendapat penghargaan Nobel Peace Prize di Oslo, Norwegia pada tanggal 10 Desember 2003 lalu. Ia adalah seorang pengacara muslimah yang memperjuangkan hak asasi manusia, menentang kekerasan terhadap anak-anak, serta membela wanita-wanita yang yang dirampas kemerdekaannya, sehingga mereka kembali mendapatkan hak-haknya. Dengan talenta, keramahan, dan keahliannya yang mengagumkan, Shirin Ebadi menjadi muslimah pertama di dunia yang mendapatkan penghargaan sekelas Nobel. Seorang Shirin Ebadi adalah salah satu wanita yang membuktikan bahwa wanita yang memiliki pendidikan dan kemampuan tertentu, dapat memberikan kontribusi lebih besar bagi masyarakat, agama, bahkan kepada negerinya.

Pada zaman Rasulullah SAW. dan di masa kepemimpinan khulafa`ur Rasyidin, para wanita telah banyak turut andil dalam membangun masyarakat dengan bekal pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Aisyah bint Abi Bakr, Ummu Salamah, Hafsah, dan Ummu Waraqah dikenal sebagai wanita yang banyak menghafal Al-Qur`an serta mendalami tafsirnya. Dengan pengetahuan tersebut mereka mengajari para wanita lainnya. Kemudian Ummu Habibah, Aisyah bint Abi Bakr, Fatimah Az Zahrah, Ummu Sharik, Shafiyah, Juwairiyah, Ummu Aiman, Asma bint Abi Bakr, serta Fatimah bint Qais dikenal sebagai wanita ahli syari`ah yang sering menjadi tempat bertanya seputar masalah-masalah syar`i bagi para wanita yang ingin mengetahui syariat islam secara mendalam. Ada pula wanita yang dikenal sebagai orator hebat bernama Zaraqah bint Adi. Dengan keahliannya dalam berorasi, ia mampu mengobarkan semangat tentara Ali Bin Abi Thalib di perang Shiffien ketika mereka mulai putus asa dalam berjuang.

Selain para wanita tersebut di atas, masih berderet panjang nama-nama wanita yang berperan penting dalam masyarakat di waktu itu. Seperti Asma bint Umis yang mendalami tafsir, Ummu Salamah yang mendalami Ilmu Asrar, Khansa dan Ummu Ziyad yang mendalami ilmu sastra, serta Rufadah Aslamiyah dan Ummu Muta` yang menguasai ilmu bedah dan obat-obatan. Bahkan Aisyah adalah seorang wanita yang dikenal banyak meriwayatkan hadits hingga menempati urutan keempat setelah Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan Anas bin Malik diantara para periwayat hadits. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya peranan wanita dalam banyak aspek.

Namun disamping kesibukan sosialnya diluar rumah, hendaknya wanita tidak mengabaikan kewajiban dalam rumah tangganya yang menjadi Natural and Domestic Duties for Women. Serta segala aktivitas dan pemikirannya hendaknya tidak berseteru dengan ketetapan syari`at yang ada. Karena jika berlebihan dalam hal emansipasi, dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam pemikiran feminisme radikal. Seperti Maryam Mirza yang nekat menjadi khatib sholat Ied di Toronto, Kanada pada hari raya Iedul Fitri November 2004. Atau seperti perbuatan aneh yang dilakukan oleh Prof. Dr. Aminah Wadud yang berani menjadi khatib jum`at sekaligus mengimami jamaah yang berjumlah sekitar 100 orang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang diadakan di sebuah katedral pada tanggal 18 maret 2005.

Memang, seorang filosof bernama Jean Jacques Rousseau pernah berkata, “ Man was born free but everywhere he is in chain.” Mungkin pernyataan tersebut ada benarnya. Namun, jika kita menjadikan “chain” tersebut sebagai rantai peraturan yang baik dan positif, maka “rantai” tersebut dapat mengatur kehidupan manusia dengan baik pula, sehingga mereka dapat hidup dengan damai, karena manusia memang harus hidup dengan peraturan. Dan sebaik-baik peraturan adalah aturan yang telah ditetapkan Allah dan tak satupun manusia yang berhak menghujatNya.

Mungkin sempat terlintas pertanyaan: Apakah diskriminasi jika wanita tidak diperbolehkan menjadi imam bagi laki-laki?...Adakah dinamakan suatu ketidak adilan jika shaf dalam sholat jamaah dibedakan antara laki-laki dan perempuan?...Adakah dinamakan suatu kemerdekaan jika mereka berhasil berbuat suatu kenyelenehan yang melanggar syari`at?...Sebenarnya justru mereka malah terjajah dengan pemikiran dan ambisi-ambisi yang bersumber dari pemikiran-pemikiran mereka sendiri yang ingin merubah nash-nash yang ada. Padahal, sebenarnya pengkhususan-pengkhususan tersebut bukanlah suatu diskriminasi melainkan suatu kehormatan dan hak istimewa untuk wanita.

Laki-laki dan perempuan di tempat-tempat tertentu memang dibedakan, namun tetap bernilai sama. Seorang laki-laki yang tengah mempertaruhkan nyawanya di medan perang demi membela agama Allah, dinamakan “berjihad”. Begitu pula seorang wanita yang mempertaruhkan nyawanya ketika tengah melahirkan seorang anak juga dinamakan “berjihad”. Disinilah salah satu bukti keadilan Allah. Sehingga tidak ada yang berhak under estimate atau superior atas lain. Karena perbedaan dihadapanNya adalah perbedaan tingkat ketakwaan kepadaNya. “Inna Akromakum `ind-Allahi Atqokum…”. Betapa indahnya islam.

Namun bukan berarti wanita harus merasa inferior dengan perbedaan dan batasan-batasan tersebut. Justru, dengan itu wanita mendapat kehormatan dan keistimewaan. Karena kehormatan itulah, wanita diperbolehkan untuk mengaktualisasikan dirinya baik dalam keluarga maupun masyarakat tanpa harus berseteru dengan syari`at dan nash-nash yang ada, tidak bertentangan dengan kodratnya, serta dalam batas-batas kesopanan yang akan menjaga kehormatan dirinya. Untuk merealisasikannya, dibutuhkan pendidikan yang memadai bagi wanita. Oleh karena itu, wanita diberikan hak istimewa wanita dalam menuntut ilmu sebagaimana hak yang dimiliki oleh kaum pria. Wallau a`lam bisshowab.[]

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Diary Nanda*  

Oleh: Aini Aryani*

24 0ktober 2004
“Dy, tempat apa ini? Ups…bukankah ini rumah sakit? Kenapa aku disini?...Tapi sepertinya aku merasakan ada yang aneh dengan kakiku…Oh tidak! Ini pasti cuma mimpi, tidak…aku tidak mau menjadi cacat…..!!!”

26 Oktober 2004
“Dy, sekarang aku ingat kalau aku terjatuh dari tebing ketika aku hiking dengan tema-teman kampus kemarin lusa. Waktu terjatuh, kaki kananku menghantam batu cukup besar di bawah tebing itu. Dan akhirnya aku harus menerima kenyataan kalau kaki kananku harus diamputasi. Tapi aku belum sanggup menerima kenyataan ini, Dy. Apalagi aku akan selalu bergantung kepada kursi roda yang memuakkan ini. Sepertinya cita-citaku hanya akan jadi mimpi saja.”

27 Oktober 2004
“Tidak punya kesibukan memang membosankan, aku rindu kampus, rindu temen-temen. Padahal seminggu lagi Himmah,majalah kampusku harus sudah siap edar. Kamu tau kan, Dy, kalau aku termasuk dalam jajaran dewan redaksi-nya. Kasihan teman-teman. Sementara mereka sibuk di depan computer, aku malah hanya bisa duduk berpangku tangan di rumah. Dy, aku takut aku hanya akan jadi beban mama, aku hanya akan jadi benalu di rumah. Oh God…! Grant me a courage to face these worries”

28 Oktober 2004
“Kasihan mama, Papa dipanggil oleh-Nya ketika aku masih dikandungnya. Jatuh bangun mama membesarkan aku sendirian, beliau pasti berharap aku akan jadi orang nantinya. Apalagi mama adalah wanita yang berpendidikan tinggi, beliau mendapat gelar B.Ed di Punjab University, Pakistan. Lalu M.Ed di Damascus University. Aku pengen banget jadi dosen seperti mama. Dulu aku berkeinginan untuk mengikuti jejak mama kuliah di negeri Ali Jinah, Pakistan. Aku ingin mengambil program S2 disana. Tapi sekarang? Ahh...Impianku kandas, aku hanya akan merepotkan mama saja. Aku takut hanya akan jadi orang yang tidak berguna.”

30 Oktober 2004
“Dy, tadi pagi aku dapat surat tanpa nama pengirim,aku sempat tertegun membacanya. tau nggak apa isinya?!..

Worries are mists and fogs that disappear in front of piercing rays of determination and forceful effort. The joys of life are immense. As the best creature on this earth, human may have pleasure that know no bounds.
There could be worries, anxieties, difficulties and challenges in life. But we’re not to get wholly immersed or involved in such hurdles of life. But you’ve to free your self from the bandage inferiority and develop your self to superior being.

Siapa pengirimnya? mengapa ia tau kalau aku dihantui kekhawatiran?...”

02 November 2004
“Sehabis makan pagi, seseorang menelfon mama. Kedengarannya akrab, mungkin sebelum ini mama sudah sering kontak lewat telfon. Dari pembicaraan mereka sepertinya mama menolak suatu tawaran karena beliau seperti dihadapi dua pilihan yang membingungkan. Tapi ketika aku tanya, mama hanya tersenyum lalu berangkat kerja. Ah mama, ada apa sebenarnya?!

03 November 2004
“Waktu aku ngobrol dengan Bik Minah, tidak sengaja beliau bertanya pendapatku tentang tawaran pekerjaan untuk mama dari teman lamanya. Bik Minah pikir mama pernah membicarakannya denganku. Darinya aku tahu ternyata mama mendapat tawaran pekerjaan sebagai dosen di IIU Malaysia dari tante Firda, tante Firda pernah tinggal satu kontrakan bersama mama sewaktu kuliah di Lahore, Pakistan. Dan kini menjadi dosen di IIUM. Tapi sayang mama menolak tawaran itu.
Dy, pasti alasan mama menolak tawaran itu karena tidak tega meninggalkan aku dengan keadaan seperti ini. Mengapa aku selalu menjadi beban mama?!...”

17 November 2004
“Dy, aku kembali terbaring di ruangan serba putih ini. Kamu tau kenapa? Kemarin aku dan mama ingin sekali menikmati sore di taman kota, Tapi ketika mama membantuku menyebrang jalan raya, ada jeep super ngebut menabrak kursi rodaku yang tengah didorong mama,aku dengan kursi rodaku terseret jauh lalu aku terpelanting dari kusi roda. Mama terkejut lalu berteriak minta tolong,setelah itu aku tak ingat apa-apalagi.
Ya Allah…berikan aku kekuatan dan ketabahan…”

18 November 2004
“Jika bulan lalu,aku kehilangan kaki kananku, sekarang giliran kaki kiriku yang harus diamputasi…Dy, lengkap sudah penderitaanku. Dan impianku benar-benar hanya akan menjadi mimpi.

Kini langit itu semakin tinggi
Tangan ini semakin tak dapat meraihnya
Andai bintang sudi turun ke bumi
Kemudian tersenyum meraih tanganku

Namun senyum bintang itu pudar
Lalu ia terbang kembali ke langit
Kemudian mengabarkan pada awan

Tentang raga yang tak sempurna ini

Jika bintang tak mau mengantarku ke langit
Mungkinkah aku sampai kesana?

Kadang aku berfikir mengapa jeep itu tidak menghantam kepalaku saja? Mengapa tidak nyawaku sekalian ia renggut daripada aku harus hidup tanpa kaki…

Astaghfirullah, mengapa aku selalu mengeluh atas cobaan-Mu ya Rabb…!?

29 November 2004
“Dy, aku bosan di rumah. Syukurlah tadi pagi Aisyah, temanku menjengukku. Dari gramedia dia mampir kesini sebentar. Walaupun sebentar tapi kedatangannya membuatku terhibur. Paling tidak aku punya teman bicara. Apalagi dia membelikanku sebuah buku tebal karya Hj.Irene Handono, seorang da’iyah yang dulunya pernah menjadi biarawati.

Oh iya tadi sore si pengirim misterius itu mengirim surat lagi untukku, nih isinya…

Life is great. Life is real. Life is for living. Joys and sorrows are the two sides of a coin. If winter comes, spring can’t be far behind. After the darkest hour is the dawn, and every dark cloud has the silver lining.

Takdir datang bukan untuk disesali
Jasad sempurna bukan jaminan
Untuk bisa meraih segala asa
Namun tekad , usaha, harap dan doa
Yang dapat merubah segalanya

Karena Tuhan takkan membiarkan
Hamba-Nya yang mau bangkit
Kemudian berserah diri kepadaNya
Larut dalam ketidak berdayaan
Yakinlah.…!!!

Untuk yang kedua kalinya pengirim surat itu tak mencantumkan namanya. Aku jadi penasaran. Dy, aku harus cari tau siapa dia sebenarnya.

30 November 2004
“Kalau kupikir-pikir, bodoh sekali kalau aku hanya bisa mematung di rumah tanpa ada sesuatu yang dilakukan, sementara mama bekerja keras untukku, aku malah hanya berpangku tangan menyesali nasib. Apalagi operasi kakiku pasti menelan biaya yang tidak sedikit. Kalau aku hanya diam, berarti aku hanya akan membuat mama lebih kecewa. Benar-benar tidak adil. Tapi apa yang harus aku lakukan? Apa kemampuanku?


01 Desember 2004
“Tadi Irma, temanku menelfon aku. Dia salah satu redaksi Nadwah, majalah keputrian di kampusnya. Dia memintaku menulis karya ilmiyah tentang kristenisasi yang sedang gencar melanda negeri ini. Memang masalah itu amat membahayakan jika tidak dihalangi secepatnya, apalagi kalau orang islamnya sendiri tidak sadar kalau di sekitarnya banyak para misionaris yang mengincar. Buktinya para penduduk negeri ini yang dahulu penduduknya 80% beragama islam, sekarang sudah berkurang dari prosentase itu. Apalagi agama di Indonesia bertambah, karena konghucu sudah resmi menjadi salah satu agamanya. Anyway… aku akan berusaha menulis tentang masalah tersebut, semoga tulisanku nanti bisa bermanfaat.”

09 Desember 2004
“Ternyata buku pemberian Aisyah kemarin sangat membantuku menulis tema itu, karena bisa menjadi bahan rujukan. Dan juga menambah wawasanku sendiri tentunya. Judulnya ISLAM DIHUJAT, Menjawab buku The Islamic Invasion karya Dr. Robert Morey. Buku tersebut ditulis oleh Hj.Irene Handono. Tadi siang Lia kesini untuk mengambil tulisanku. Dia bilang Irma yang memintanya kemari.
Semoga ini menjadi awal mulaku untuk keluar dari perasaan inferior. Dan aku berharap dapat melakukan sesuatu untuk orang lain. Surat-surat tanpa nama pengirim itu sepertinya memang memberiku support, Dy…”

16 Desember 2004
“Astaghfirullah…Mengapa seperti ini jadinya? Apa memang aku yang ceroboh? Dy, salah satu redaksi Nadwah mengatakan kalau aku plagiator karena tulisanku sama persis dengan tulisan yang dimuat buletin mingguan di salah satu kampus ternama di kota ini.
Kabar yang aku terima, Irma menerima tulisanku yang sudah di print, padahal minggu lalu aku hanya memberikan disket pada Lia. Dan tulisan itu ditulis atas nama Lia. Jadi…Ya Allah, aku tidak menyangka kalau Lia tega berbuat seperti itu terhadap aku…”

17 Desember 2004
“Tadi aku coba menelfon Irma untuk menerangkan tentang apa yang terjadi, sebenarnya Irma ingin menolongku dan tetap akan memuat tulisanku di majalah Nadwah yang rencananya terbit minggu depan, tapi apa boleh buat, rekan redaksinya yang lain tidak akan setuju untuk memuat karya tulis yang sudah dimuat di media lain. Dy, aku sungguh terpukul. Mengapa langkah awalku ini tidak berjalan semudah yang kukira? Apakah aku memang tidak pantas untuk bangkit? Atau mungkin karena aku tidak mampu?.”

19 Desember 2004
“Dy, tadi Ulfa menelfonku. Dia memintaku menulis juga. Katanya ia ingin memuat tulisanku di majalah kampusku, Himmah. Kali ini aku diminta menulis tentang Kelahiran Isa Al-Masih yang Sesungguhnya, berhubung tanggal 25 nanti kaum kristiani akan merayakan Natal yang mereka yakini lahirnya Yesus Kristus. Ulfa rekanku dulu sewaktu aku masih aktif menjadi salah satu redaksi majalah Himmah. Tapi sepertinya aku masih trauma dengan kejadian kemarin, ghiroh menulisku seperti hilang, Dy.”

21 Desember 2004
“Tadi sore surat dari pengirim misterius itu datang lagi. Kali ini isinya menyindir keputus asaanku:
If your action is impeded, if it stops, even your simple problem would be enough to engulf you. But if you keep your will and energy in tack, and hold your head above water, come what may, even the biggest problem will melt away.
As human being, you must admit that being the best creature, you owe some obligation to your creator. Then, prove your self for this favour. Do the best you can. Don’t ever stop trying.

Aku tertegun membacanya. Ya, mengapa aku aku menjadi putus asa? Bukankah putus asa dari rahmatNya adalah perbuatan yang amat dibenciNya? Astaghfirullah…mengapa aku menjadi amat pesimis? Ternyata selama ini aku memandang under estimate terhadap diri sendiri. Aku harus bangkit kembali. Aku harus bisa berbuat sesuatu untuk orang lain.
Harus..!! Malam ini juga aku harus mulai menulis untuk majalah Himmah, mumpung masih ada tiga hari lagi. Semoga Allah memudahkan jalanku.

24 Desember 2004
“Tadi aku iseng ke ruang kerja mama, aku menemukan kertas-kertas yang berantakan. Ketika merapikannya, tidak sengaja aku membaca tulisan tangan mama. Tapi sepertinya aku pernah membacanya. Perlahan aku baca semua kata-kata di kertas itu. Ternyata…Ya Tuhan, bukankah kata-kata ini adalah tulisan yang sama persis dengan surat-surat yang kuterima tanpa pengirim? Berarti… Mamakah pengirim misterius itu?

26 Desember 2004
“Alhamdulillah akhirnya tulisanku kelar juga. Semoga layak muat dan menjadi da’wah bil-qalam. Dy, aku benar-benar malu. Malu pada diri sendiri, pada mama, dan yang pasti pada Allah. Mengapa aku begitu buta. Aku tidak pernah menyadari kalau Allah menganugrahkan harta yang begitu berharga untukku, seorang mama yang selalu menjadi motivatorku, sumber inspirasiku. Mom, I love you. Nanda janji tak akan mengecewakanmu lagi.[Nie]

*tulisan ini pernah dimuat di Buletin Nun, buletin yang diterbitkan Dept. Media & Informasi PPMI Pakistan, edisi Februari 2005)













AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Kala Senja Merenta  

Oleh: Aini Aryani*

Malam kembali keharibaanNya, mega mengundang penjaja kebisingan. Namun bagi Melati, malam atau pagi sama saja selama ia masih disini, di tempat yang amat tak ia sukai, yang membuatnya hanya bernilai tak lebih dari boneka bernyawa. Tempat yang orang-orang sebut `rumah gedongan`, namun baginya tempat itu tak lebih dari sebuah `penjara jiwa`.

Melati bosan, jemu, dan entah apa lagi yang mengusik ketenangannya, ia butuh suasana baru. Diraihnya kanvas dan alat-alat lukis. Lalu tepat di belakang rumahnya, di lapangan luas penuh hijau, ia mulai melukis wajah merah mega yang berkolaborasi dengan hamparan langit yang mulai membiru. Ia menemukan kedamaian disana. Ia sangat menikmati itu. Hingga…

”Braakkk…!!!” lukisan basah yang tadinya berada tepat di depan wajahnya, kini berpindah tepat di depan kakinya. Seseorang telah mencampakkannya.

“Papa sudah bilang, melukis itu tidak ada gunanya. Buang waktu saja. Lebih baik kamu kembali ke kamar dan tekuni materi-materi kuliahmu,” suara Papanya membuatnya tertunduk. Baginya itu bukanlah sebuah saran, melainkan sebuah `perintah` yang harus ia tunaikan. Hatinya bergemuruh, lukisan yang ia buat sedari pagi buta, kini tak berbentuk lagi. Ingin ia memberontak. Tapi lidahnya hanya sanggup meluncurkan sebuah kata, “Baik, Pa.”
***

Dokter. Kata itu membuatnya tak habis pikir. Mengapa Papa begitu berambisi untuk menyulapnya menjadi dokter. Apakah karena Papa seorang dokter, lalu dirinya juga harus menjadi dokter? Pertanyaan itu memantul dari satu relung ke relung lain dalam jiwanya. Hingga ketika keinginan menjadi seorang seniman menggebu-gebu di hatinya, atau ketika keinginan untuk tinggal bersama teman-temannya di asrama mahasiswi sebuah yayasan islami menghampiri hatinya, Papa dengan otoriter menolak keinginan-keinginan tersebut mentah-mentah. Sebaliknya, ia justru diberi `Titah` untuk mendalami ilmu medis di salah satu Universitas bergengsi di kotanya, jurusan yang sama sekali tak ia minati.

“Mungkin karena otakku pas-pasan, makanya aku sering dapat nilai merah di pelajaran-pelajaran exacta waktu aku masih SLTP dan SMU, tapi mengapa Papa tetap memaksaku untuk menuruti kemauannya..,” batinnya.

Akhirnya harapannya terkubur begitu saja. Tapi… Tidak… harapan itu belum sepenuhnya terkubur, karena ia masih dapat melukis diam-diam dari jendela kamarnya, pun dia masih diperbolehkan untuk bergaul dengan teman-temannya di yayasan islami At-Taqwa. Walaupun ia belum berjilbab seperti mereka karena larangan sang Papa, tapi paling tidak, hatinya belum terkunci untuk membenarkan kebenaran. Tidak seperti kemerdekaannya yang terkunci untuk mendapatkan hak memilih jalan hidup.

“Mel, tadi dr.Andika bilang kamu tidak mengikuti penelitian di laboratorium kampus. Kenapa?”
“Ee…Mmhh…tadi Mela ikut, Pa. Tapi nggak sampe selesai, Mela…Mela…,”
“Kenapa?” suara papanya meninggi. Lidahnya kelu, tak sanggup untuk mengatakan bahwa ia sangat tidak tertarik untuk mengikuti materi Biologi yang teramat sulit ia pahami hingga membuatnya jenuh. Tapi lagi-lagi ia hanya sanggup berkata,
“Mela..minta maaf, Pa.”

Papa mendekat, ada kilat kemarahan di sepasang mata elang Papanya.
”Jangan buat Papa marah..!!!” Kalimat itu seperti ancaman yang dapat membahayakan dirinya bila kesalahan itu diulangi. Ia menghela nafas. Lalu teringat bahwa ia harus mengantar teman-temannya ke suatu masjid untuk menghadiri pengajian. Bagi Melati, suatu ketenangan tersendiri bila dapat berkumpul dengan mereka untuk mendengarkan ceramah di suatu pengajian. Disana, ia seperti mendapatkan siraman rohani yang menyejukkan, sesuatu yang tidak pernah dirasakannya ketika ia berada di rumah besarnya, terlebih jika tengah berhadapan dengan Papa. Entah, sesuatu apa itu.

Sesampainya di rumah, Melati mendapati Papa di ruang tamu, “Mela, kamu masih betah kan mengantar dan menjemput teman-teman kamu yang kampungan itu?.”

Melati maklum atas pilihan kata `betah` dalam kalimat Papa. Hubungan antar teksnya jelas rapuh. Tapi ia sangat efektif untuk memberi muatan sarkastis bernada sinis sebagai bentuk penyindiran. Dalam tafsirnya, kalimat itu berarti, “Mela, kalau kamu masih mau mengantar dan menjemput teman-teman kamu dengan mobil hadiah dari Papa, kamu mau kan menuruti kemauan Papa dan mematuhi perintah Papa?”
“Masih, Pa.”
“Bagus. Kalau begitu, kamu paham kan maksud Papa?” Ia mengangguk pasrah.

***

Hujan enggan turun. Namun angin masih setia menebar gerimis di kota Metropolitan itu. Melati resah ketika tiba-tiba layar kaca di depannya memberitakan bahwa banjir telah menimpa beberapa rumah dan bangunan lainnya di dekat sungai Kalimalang. Ia teringat Aisyah dan Ifah, dua temannya yang tinggal di sebuah rumah kontrakan di daerah tersebut. Segera ia menuju tempat itu.

“Assalamualaikum,” salamnya.
“Waalaikumsalam, eh Melati. Masuk, Mel” ajak Aisyah ramah. “Duduk, Mel. Maaf ya kalo kursinya agak basah, maklum atap lagi bocor nih.” Katanya masih dengan tersenyum. Tak terlihat di wajahnya bahwa ia sedang tertimpa musibah. Tegar sekali, pikir Melati. Setelah beberapa saat berbincang hangat, akhirnya Melati menawarkan mereka untuk sementara tinggal di rumahnya. Tapi mereka menolak dengan halus. Melati mengangguk mengerti, lalu kembali ke rumahnya.

“Dari mana, Mel?” tanya Papa. “Dari daerah Kalimalang, Pa.” jawabnya.
“Ngucapin bela sungkawa buat temen-temen kamu yang kebanjiran ya?” suara Papa terdengar sinis. “Kamu nggak ingin kan melarat seperti mereka. Makanya, Papa pengen kamu jadi orang besar biar nggak menderita kayak temen-temen kamu itu. Kalo jadi seniman atau cuma sibuk di yayasan itu, masa depan kamu nggak akan cerah. Bisanya cuma minta-minta sumbangan. Jangan-jangan sumbangan yang mereka minta itu digunakan untuk kepentingan pribadi karena mereka sendiri kekurangan. Kalau sudah begitu, apa bedanya mereka dengan pengemis?”

Hatinya panas. Selama ini ia selalu menjadi ‘anak manis’ setiap mendengar kata-kata Papa. Tapi jika Papa menghina teman-temannya, ia tak bisa diam.

“Pa, mereka bukan pengemis. Mereka juga nggak cuma bisa minta-minta seperti yang Papa duga. Sebaliknya, mereka selalu memberi tanpa pamrih. `Memberi` bukan hanya bermakna materi kan, Pa? Mereka memberi ketenangan dan kedamaian, sesuatu yang amat jarang Mela temui di rumah besar Papa. Karena disini Mela hanya seperti boneka bernyawa yang nggak boleh nentuin jalan hidup.” Ucapnya pelan namun tegas. Hampir saja ia meninggikan suaranya, kalau tidak ingat nasehat teman-temannya untuk selalu menghormati Papa. Tapi…

”Plakk…!!!” sebuah tamparan mendarat di pipinya. Ia tak menyangka Papa tega menamparnya. Ia menangis, lalu pergi mengemudikan mobil secepat mungkin.

Papa tertegun, matanya bersirobok dengan foto Savitri, mendiang istrinya. Sepeninggal Savitri, hidupnya seakan menjelma hari-hari senjang yang menganga. Dan kinipun ia merasa Melati mulai mengabaikan keinginannya. Ia mulai mengembara dalam diam. Jangan-jangan memang salahnya yang selalu memaksaan kehendak. Tapi, bukankah semua yang dilakukannya semata-semata untuk kebahagiaan Melati? Namun, jika itu semua tidak membuatnya bahagia, apakah ia tetap harus memaksanya?

Bayangan mata sayu Melati yang berkaca-kaca muncul. Rasa bersalah menghiasi kembara diamnya. Papa memandang telapak tangannya yang baru saja ia daratkan ke pipi putri satu-satunya itu. Kemudian menyadari bahwa ia baru saja menciptakan ngarai yang curam diantara mereka. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa harus menyusul Melati. Segera ia menuju mobil dan mengemudikannya. Tapi…

“Tut…Tuuut.…!!!” ponselnya berbunyi..
“Halo..iya betul… Apa?!! kecelakaan? ...Melati?!!!”
Mobil yang tadinya akan ia kemudikan untuk menyusul Melati, kini segera berbelok arah menuju rumah sakit. Melati mendapat kecelakaan.

Papa menuju ruang operasi secepat mungkin, tak sabar ingin melihat wajah putri yang disayanginya. Baginya, Melati adalah bunga terindah serta anugerah paling berharga dalam hidupnya. Ia tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Namun terlambat, sampai di depan ruang operasi…

“Bagaimana kondisi putri saya, Dok?” tanyanya. Dokter itu menggeleng lemah,
“Maaf, Pak. Kondisi putri anda terlampau parah. Kami tidak mampu menyelamatkan nyawa putri anda.”

Papa terduduk lemas. Terlebih ketika ia tahu bahwa mobil yang tengah dikemudikan dengan kecepatan tinggi oleh Melati, bertabrakan dengan truk gandeng.
***

Pijar bola api meredup, awan barat menelan sinarnya perlahan. Namun laki-laki itu belum beranjak dari gundukan tanah merah dihadapannya. Rasa kehilangan menyeruak dalam hatinya. Ia menatap senja yang mulai merenta. Lalu teringat untaian kata yang pernah dibacanya di sebuah diary biru milik almarhumah putrinya…

~30 Juni 2005~
“Di suatu senja yang merenta, kutatap lukisan merpati-ku yang tengah bebas mengepakkan sayapnya di hamparan langit. Aku ingin bebas layaknya merpati itu. Kebebasan yang kuingin hanyalah kebebasan menentukan jalan hidup. Tapi… Ah, mana mungkin. Kemerdekaanku seperti terkurung dalam botol bersegel yang amat sulit dibuka karena tangan kekar Papa menggengggam tutupnya kuat-kuat…”

Mata laki-laki itu memanas. Langkahnya gontai, terseok meninggalkan pusara putrinya. Bulir bening yang ia tahan, kini bagai air bah yang tak terbendung. Pertahanannya pecah. Ia menangis. Arogansi yang lama ia bangun, runtuh sudah. Yang tersisa hanyalah sesal, hampa, serta rasa bersalah yang mencabik-cabik jiwa resahnya. Tubuhnya limbung ke tanah. Lidahnya hanya sanggup berkata, “Maafkan Papa, Nak…”. (Nie, Agustus 2005)

*tulisan ini pernah dimuat di Majalah IKPM cabang Pakistan, edisi Oktober 2005













AddThis Social Bookmark Button

Email this post


 

Design by Amanda @ Blogger Buster