Elegi Dalam Imajinasi Nyata  

Tuesday, July 29, 2008


oleh: Aini Aryani

Ia melihat pemandangan mengerikan yang tak lagi asing baginya. Untuk kesekian kali Mahmood hanya bisa menelan ludah yang bercampur airmata. Asin di lidahnya. Perih di hatinya. Pasukan-pasukan Iblis di atas tank-tank baja dengan senjata api masih tertawa jumawa setelah menembaki para wanita Palestina yang tak berdaya didepan matanya, termasuk…..ibunya.
Mahmood geram. Tapi tak ada yang dapat dilakukannya selain menelan pahit kegeramannya. Remaja belia itu berlari ke sebuah padang. Dipukulnya tanah yang ia pijak, lalu berteriak sehisteris mungkin. Ia berteriak lagi, tak peduli walau pita suaranya putus sekalipun, asal dapat memuntahkan kegeraman yang ditelannya tadi. Mahmood lelah, lalu diam. Ia rebah di atas padang dan menyilangkan tangannya dibawah kepala sembari menatap langit yang sombong. Ia membiarkan imajinasinya larut dalam sebuah rantai pendek flash back, hingga malam melewati senja.
Peristiwa elegis dunia berimbas pada nasib negerinya. Usai Perang Dunia I disusul runtuhnya Imperium Usmani di Turki, Palestina berada dibawah kekuasaan Britania Raya melalui Perjanjian Skykes-Picot dan mandat dari Liga Bangsa-Bangsa, sebuah organisasi internasional sebelum PBB. Hal tersebut berakibat pada terjadinya peristiwa Deklarasi Balfour di tahun 1917. Ketegangan antara Arab dan Kaum Yahudi meletus, konflik dan kekerasan fisikpun tak bisa dielakkan, seperti Kerusuhan Palestina di tahun 1920 dan 1921, pembantaian massal di Hebron pada tahun 1929, serta Revolusi Arab di Palestina di tahun 1936-1939.

Kemudian usai Perang Dunia II, Inggeris menyerahkan isu Palestina ke tangan PBB, dan pada tahun 1947 PBB menyetujui partisi Palestina menjadi dua bangsa: Kaum Yahudi dan Arab. Partisi tersebut disetujui oleh pihak Yahudi, namun tidak oleh Liga Arab. Hingga ketika Israel mendeklarasikan kemerdekaan pada 14 Mei 1948, Liga Arab tak bisa begitu saja menerima deklarasi tersebut. Lagi-lagi perang pecah. Sayang, Perang Arab-Israel 1948 itu berakhir dengan kemenangan di pihak Israel dengan sekutu-sekutunya. Tapi, Yerussalem, kota utama yang menjadi rebutan tetap berstatus sebagai divided city. Sedangkan beberapa tahun kemudian, Jalur Gaza dan Tepi Barat menciptakan konflik internal negeri antara Fatah dan Hamas.

Rentetan peperangan yang melibatkan banyak pihak itu membuat nasib negerinya dilimpahkan dari tangan ke tangan. Seperti bola kaki yang ditendang kesana kemari tanpa tahu kapan ia akan berhasil digoal-kan. Perjanjian-perjanjian lewat negosiasi maupun mediasi seakan tak mampu menyelesaikan problematika menahun. Bahkan Oslo Accord 1993 dan 1995 tak berhasil menentukan status akhir Yerussalem dan masa depan para pengungsi. Benar-benar peristiwa yang menciptakan rantai elegi bagi bangsanya. Sementara Israel masih menikmati euforia. Entah apakah ini jalan yang semestinya, ataukah ini lagi-lagi skenario The Quartet yang mengaku berkuasa di dunia.

Layar flash back tertutup. Mahmood terbangun dari imajinasinya, mengalihkan pandangannya dari langit yang hitam. Hmm…malam telah tua rupanya. Ia beranjak dari padang untuk kembali ke tempat dimana ibunya dibantai. Ia harus menguburkan ibunda tercintanya, dan tak akan membiarkan jenazah itu diperlakukan seperti bangkai binatang seperti jenazah-jenazah yang diperlakukan biadab oleh iblis-iblis bersenjata api itu.[]

*Tulisan Diatas pernah dimuat di Buletin An-Nahdlah PCI-NU Pakistan, edisi Juli 2009




AddThis Social Bookmark Button

Email this post


 

Design by Amanda @ Blogger Buster