Islam Cenderung Patriarkal, Benarkah??  

Sunday, December 28, 2008

Oleh; Aini Aryani. M.

Islam kerap dipandang memiliki formulasi hukum yang cenderung menguntungkan kaum pria. Pandangan ini tak hanya bersumber dari Barat yang notabene non-Muslim, namun juga dari kalangan Muslim sendiri. Mereka menganggap setting-an hukum Islam berbasis budaya patriarki dan memandang ‘sebelah-mata’ terhadap perempuan (misogyny).

stereotype yang dilekatkan kepadanya memunculkan anggapan bahwa Islam memenjarakan kebebasan perempuan, memasung hak-haknya, bahkan menggiring kedudukannya ke bawah derajat kaum pria. Benarkah demikian?


Hukum-hukum Islam seperti larangan bagi wanita mengimami laki-laki dalam sholat, aturan shaf sholat yang mengharuskan wanita di belakang laki-laki, kewajiban patuh pada suami sebagai kepala keluarga, dll, seringkali dipandang patriarkal yang membuat sebagian muslimah merasa menjadi korban subordinasi dan diskriminasi. Kemudian menganggap hukum Islam tak lagi relevan dengan trend kekinian. Semua itu menjadi stimulus munculnya pergerakan ‘Feminisme Islam’ dalam dunia feminisme yang mengacu pada konsistensi perjuangan dalam menghilangkan subordinasi, memusnahkan ideologi patriarki serta meluruskan pandangan misogyny dengan menggunakan paradigma Islam sebagai bahasan utama.

Gender Equality; Persamaan Bidang ataukah Nilai?

‘Feminisme Islam’ muncul pada pertengahan tahun 90-an sebagai terma baru dalam dunia feminisme, yang didefinisikan sebagai studi persamaan gender (gender equality) dan keadilan sosial dengan menggunakan paradigma Islam. Namun di sisi lain, feminisme seringkali menjadi mainstream (arus utama) yang menjebak aktivis perempuan menjadi bias dan bahkan cenderung keliru dalam memahami mengenai terminologi feminisme dan aliran-aliran yang berkembang didalamnya.

Dalam perjuangan dan pemikirannya, muslimah harus bergesekan dengan polemik dan trend kekinian yang sering menjebak, sehingga dalam perjalanannya terjadi polarisasi gerakan yang membentuk aliran berpikir yang dipengaruhi oleh ideologi Barat seperti Liberalisme dan Sosialisme-Marxis yang notabene sekuler. Kekecewaan mereka pada dominasi kaum pria di beberapa bidang dalam masyarakat membuat mereka menggugat syariat sebagai sumber hukum pertama, sehingga memunculkan keinginan untuk memformulasikan hukum yang -menurut mereka- menguntungkan. (lihat; Muslimah di Ruang Pemikiran, oleh: Zahratunnisa, An-Nahdlah edisi Juni 2006).

Padahal, bukanlah sebuah diskriminasi ketika wanita tidak diperbolehkan menjadi imam sholat bagi laki-laki, atau ketika ia harus berdiri di shaf shalat yang berada di belakang laki-laki. Karena itu semata-mata bertujuan agar prosesi penyerahan diri dihadapan Tuhan berjalan dengan lebih tunduk, khusyu’ dan sakral. Bukan untuk ditafsirkan sebagai penempatan derajat wanita sebagai kelas kedua dalam kehidupan sosial.

Demikian pula ketika isteri harus mematuhi suami yang menjadi kepala keluarganya, bukan untuk diartikan bahwa ia mengabdi dan tunduk pada pria, akan tetapi melaksanakan kewajibannya yang telah ditentukan Penciptanya.

Laki-laki tidaklah menjadi lebih mulia dihadapan Allah hanya karena menjadi kepala rumah tangga, menjadi imam atau berdiri di depan shaf wanita dalam shalat. Karena masing-masing tentunya mendapatkan ganjaran yang sama dalam melaksanakan tugas dan 'porsi' yang sudah dibagi oleh-Nya. Yang menjadi patokan hanyalah satu, yakni "Tingkat Takwa", dan itu tak ada relasinya dengan gender. Siapapun mampu dan dipersilakan berlomba-lomba mencapainya.

Maka, ‘Gender Equality’ tidaklah selalu bermakna persamaan hak dan kewajiban dalam bidang atau porsi yang benar-benar serupa, karena yang menjadi substansi dari persamaan itu adalah ‘Nilai’. Laki-laki yang ingin mendapatkan manisnya berjihad diberikan-Nya jalan dengan cara mempertaruhkan nyawa di medan perang atas nama agama Allah. Begitu pula wanita yang ingin mendapatkan manisnya berjihad diberikan-Nya jalan dengan cara mempertaruhkan nyawa ketika melahirkan bayi dari rahimnya. Kadangkala laki-laki dan wanita ditempatkan di bidang atau porsi yang berbeda, namun tetap memiliki ‘nilai’ yang sama. Inilah sesungguhnya makna dari Gender Equality.

Saling Melengkapi dan Menghargai

Kadangkala kaum pria dipandang lebih superior karena memiliki ukuran otak akal yang lebih besar, dan wanita dianggap memiliki kekurangan karena didominasi perasaan. Untuk itulah laki-laki tidak jarang lebih diprioritaskan dalam bidang tertentu. Perasaan kecewa-pun muncul dari kaum wanita dan memicu mereka untuk mengambil tindakan. Akhirnya muncul gerakan-gerakan yang menuntut persamaan hak dan kedudukan di berbagai bidang, termasuk merekonstruksi aturan agama yang sudah proporsional. Kemudian terciptalah terma-terma semacam Feminisme, Emansipasi, dan Gender Equality.

Padahal, kelembutan perasaan adalah keistimewaan bagi wanita yang lebih memberikan potensi takwa. Bila ia disatukan dengan ilmu, akan menjadi kekuatan tersendiri. Sebaliknya, bila ia tidak disertai dengan ilmu, maka akan menjadi sumber kelabilan jiwa. Sangat disayangkan bila wanita menganggapnya sebagai kekurangan dan berusaha mengeliminasinya dengan rasio agar sama dan tak kalah dengan pria. Akal wanita tidak kurang untuk mencerna ilmu. Sedangkan pria juga membutuhkan perasaan untuk bertafakkur. Pria juga membutuhkan kelembutan hati yang akan memberikan emosi stabil dalam menyertai rasionya saat berfikir.

Meminjam kalimat Bapak Hendri Tandjung, MA., MM., : “Ngeri juga kalau isi dunia hanya Hard Science. Karena Hard Science tanpa Soft Science ibarat manusia tanpa daging, hanya tengkorak...” Begitu juga rasio tanpa dibarengi perasaan ibarat raga tanpa daging, hanya tengkorak yang rapuh. Itulah mengapa Relasi Gender tak harus dipahami sebagai perseteruan dan pertarungan antar kelompok (class struggle). Melainkan dalam perspektif kerja-sama dan hubungan timbal-balik, dalam arti saling menopang dan bahu-membahu membangun keluarga, bangsa dan negara, saling mengisi, saling melengkapi, saling mengerti dan saling menghargai satu sama lain. Wallahu a’lam.(ai)

*Tulisan diatas pernah dimuat di www.warnaislam.com, rubrik VISIONER



AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Dua Sisi yang Berbeda  

Monday, December 1, 2008

Oleh: Aini Aryani

Manusia memiliki jiwa yang diilhami dengan taqwa dan fujur. Sebuah peluang yang memungkinkan manusia memiliki ’bakat’ baik dan jahat. Adalah menjadi pilihan baginya untuk menentukan manakah diantara kedua hal itu yang akan mendominasi jiwanya.

”Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan fujur (kefasikan) dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (As-Syams: 8-10).


Manusia adalah makhluk Allah yang unik dan memiliki banyak karunia dan kelebihan dibanding makhluk lainnya. Manusia diberi kedudukan paling istimewa dibanding makhluk lain di jagad raya ini, bahkan kedudukannya lebih mulia dibanding malaikat sekalipun. Itulah mengapa Allah memilih manusia untuk menjadi pemegang amanah sakral sebagai khalifah di bumi (Al-Baqarah: 30-34). Maka, masih adakah celah bagi kita untuk mendustakan semua nikmat ini?. (Fabiaayyi aala’i rabbikumaa tukadzibaan).

Adalah akal, salah satu karunia terbesar untuk manusia yang terletak di otak, tempat yang paling sentral dalam jasadnya. Dengan menggunakannya manusia dapat berfikir tentang banyak hal. Berfikirpun dapat membawa manusia pada dua arah yang berseberangan, yakni: ke arah lurus dan sesat.

Ketika manusia memilih jalan taqwa untuk jiwanya, maka ia akan menggunakan akalnya di jalan yang lurus untuk menyelami makna-makna penciptaan alam, langit dan bumi, pergantian siang dan malam, serta bukti lain dari keagungan Tuhan, agar ia benar-benar termasuk ulul albab atau orang-orang yang berakal (Ali-Imran: 190).

Dari situ, akan muncul keyakinan akan rahasia penciptaan dirinya, dimana ia diciptakan hanya untuk mengabdikan diri pada Sang Penciptanya (Ad-Dzariyat: 56). Walhasil, imannya akan bergerak ke level yang lebih tinggi, dimana ia menggunakan akalnya untuk menggerakkan raga supaya menjalankan ibadah, sebagai refleksi dari ketaannya.

Berbeda ketika ia memilih jalan fujur untuk jiwanya, maka ia akan membiarkan akalnya melanglang buana melalui jalan sesat, hingga muncullah pemikiran-pemikiran yang berseberangan dengan fitrah penciptaannya. Walhasil, imannya akan bergerak ke level yang lebih rendah seiring dengan munculnya titik noda dalam jiwanya. Itulah salah satu akibat yang muncul ketika akal digunakan tanpa pondasi agama.

Dari situ pula muncul perbedaan yang mencolok antara ilmu yang menjadi produk dari akal, dan agama yang hadir bersama iman. Ilmu adalah hiasan lahir, sedangkan agama adalah hiasan bathin. Ilmu mempercepat manusia sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju. Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, agama menyesuaikan manusia dengan jati dirinya. Ilmu memberi kekuatan dan menerangi jalan, agama memberi harapan dan dorongan. Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya, sementara agama selalu menerangi jiwa dan pikiran pemiliknya.

Itulah mengapa mengapa ilmu yang tinggi tak selalu membuat pemiliknya mempunyai iman yang tinggi pula. Karena ilmu tidak menciptakan iman, ia hanya mendukung penguatan iman. Man izdada ilman wa lam yazdad hudan, lam yazdad minaLLAHi illa bu’dan: Seseorang yang bertambah ilmunya tanpa hidayah, akan membuat jarak semakin jauh antara dirinya dengan Allah. Karena akal yang berfikir tanpa diiringi hati yang beriman akan membawa pada kegersangan jiwa.
Ushiykum wa iyyaaya nafsiy. (ai)


*tulisan diatas pernah dimuat di Warna ISlam (http://www.warnaislam.com) dan di Era Muslim (http://www.eramuslim.net/?buka=show_main&id=89)

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


 

Design by Amanda @ Blogger Buster