Bagai Mentari Musim semi
Wednesday, July 25, 2007
Oleh: Aini Aryani
“Yes…!!!” ia bersorak dalam hati, senyumnya mengembang seiring suara tepukan di Jinah Convention Center yang terdengar semakin membahana.
Ia merupakan satu-satunya mahasiswi asing dari Asia Tenggara yang dinobatkan sebagai salah satu penerima Gold Medal dari sekian banyak mahasiswa dan mahasiswi asing di kampusnya, International Islamic University Islamabad. Ia patut berbangga.
Senyumnya semakin mengembang ketika Dr. Mahmood Ghazi, sang President of The University mengalungkan medali emas tersebut ke lehernya. Senyum itu tetap tersungging hingga saat langkahnya meninggalkan gedung tersebut.
Namun, senyum itu tiba-tiba hilang ketika sepasang matanya menatap wajah seorang wanita yang tak diharapnya untuk datang. Bibir yang sedari tadi membentuk sabit mungil, kini tak tampak lagi. Yang terlihat hanyalah sebuah paras ayu namun menyimpan rasa kesal, bahkan mungkin malu.
Malu. Ya…karena wanita itulah kini ia dihinggapi rasa malu. Bagaimana tidak, sejak kedatangan wanita yang telah melahirkan dirinya itu ke negeri ini, ia merasa bahwa rekan-rekannya memandangnya sebelah mata, bahkan mungkin menatapnya sinis. Entah, apakah yang dirasakannya benar atau salah. Yang pasti, perasaan itulah yang kini sedang ia rasakan. Seakan-akan ia dikelilingi oleh labirin-labirin yang setia meneriaki telinganya dengan teriakan, “Rika, kau anak wanita buta…..!!!”
“Huh…” dengusnya kesal. Mengapa pula Mama bersikeras untuk hadir di convocation day ini, rutuknya dalam hati.
“Erika…!!” suara yang tak asing lagi. Suara Mbak Ratna, kakak satu-satunya. Mbak Ratna-lah yang mengantar Mamanya menuju Negeri Ali Jinah ini, negeri dimana ia mendalami ilmu di program S2 bidang Management Sciences.
Gadis itu menoleh. Terpaksa.
“Rika, Mama dan Mbak nunggu dari tadi lho. Padahal tadi udah Mbak bilang kalo acaranya masih lama. Tapi mama bersikeras nunggu. Nggak sabar pengen pegang toga kamu.” kata kakaknya antusias. Disampingnya, Mama hanya tersenyum.
“Ma, ini Rika. Mama pegang deh toganya.” ujar Mbak Ratna pelan seraya membantu Mama meraba toga kebesaran yang tengah dikenakannnya.
“Mama bangga, Nak.”ucap wanita itu tulus.
Ibu mana yang tak bangga jika putrinya meraih apa yang menjadi impiannya. Terlebih, semenjak duduk di bangku Sekolah Dasar hingga menamatkan program S2-nya, Erika hampir tak pernah mendapat nilai mengecewakan.
Erika menatap sekeliling, berharap teman-temannya tak ada disekitar tempat itu, apalagi melihatnya bersama Mama. Tapi, Ups…Syamsa, classmate yang sering menjadi rivalnya di kelas. Ia melihat Syamsa berjalan menuju ke arahnya. Tidak..! Syamsa tak boleh tau hal ini. Bisa-bisa dia menertawakan keadaan ini, batinnya. Erika menatap Mamanya. Lalu…
“Tap…” ia meraih tangan Mama yang tengah memegang toganya, kemudian mengibaskannya kasar, lalu dengan setengah berlari ia melangkah menjauh. Sekilas dilihatnya ekspresi kaget dari wajah Mama.
“Erika, apa-apaan kamu…?!” Samar ia mendengar teriakan Mbak Ratna. Ia tak peduli.
***
Hari itu sebenarnya Erika harus mengurus kepulangannya untuk kembali ke tanah air. Namun tiba-tiba ia mendapat berita dari ponselnya bahwa ia diminta untuk menghadap Dr. Mahmood Ghazi.
Taksi yang tadinya menuju kantor Kedutaan Indonesia, kini berbelok arah menuju Faishal Mosque, tempat dimana maktab sang Presiden bertempat.
Ia melangkahkan kaki seraya menebak-nebak, ada apa gerangan? Langkahnya terhenti ketika ia tiba di sebuah ruangan yang dituju. Segera ia masuk setelah mengucap salam.
Matanya berbinar setelah mengetahui bahwa dirinya diminta untuk menjadi salah satu staf pengajar tetap di IIUI. Segera ia kembali ke rumah yang disewanya. Ia harus mengambil berkas-berkas penting untuk segera difotokopi.
“Krek…” ia membuka pintu rumah lalu dengan tergesa menuju kamar dan mengambil berkas-berkas penting. Namun ketika melangkah keluar…,
“Braaakk…!” seseorang menabraknya. Kertas-kertas ditangannya berserakan. Ia memandang seorang wanita didepannya. Mama.
“Mama gimana sih, ini berkas-berkas penting yang harus saya fotokopi secepatnya, Ma. Aduh…berantakan deh. Mana ntar lagi kantor mau tutup lagi. Huhh…” dengusnya sebal.
“Mama minta maaf ya sayang. Soalnya tadi Mama pikir kamu baru pulang dan capek. Makanya Mama mau nawarin wedang jahe. Itu wedangnya, sudah Mama taruh di atas meja. Tadi Ratna bantu Mama di dapur.”
“Gak usah, Ma. Saya buru-buru.” Jawabnya ketus seraya beranjak pergi tanpa menoleh ke arah Mama.
***
“Kring…”
“Ya…hallo…oh Syamsa. How are you?” Tanya Rika basa-basi. Syamsa adalah mantan classmate-nya yang berdarah Pakistan asli.
“Fine! Thanks…Rika, saya dengar ibu kamu datang di convocation kemarin. Benar tidak?” tanyanya dengan logat British yang fasih. Erika kikuk.
“Ii..iya…memangnya kenapa, Syamsa?”
“Oh, you must be happy…karena tidak semua foreigners bisa ditemani orang tuanya ketika diwisuda. Iya kan?” tanyanya lagi. Erika hanya mengiyakan.
“Kalau begitu, kenapa kamu tidak memperkenalkan saya dengan ibumu, Rika? Sebenarnya saya melihat kamu usai acara wisuda kemarin, tapi karena kamu pergi, saya tidak jadi menghampiri. Kalau tidak salah, mereka berdua kakak dan ibumu, bukan?” tebak Syamsa.
“Ee…bu..bukan kok. Mereka itu, yang satu, kakak saya, usianya sekitar 30-an. Tapi yang satu, lagi cuma orang Indonesia yang sudah saya anggap keluarga sendiri.” Jawabnya dengan nada meyakinkan.
Ia menghela nafas setelah Syamsa menyudahi pembicaraan mengenai Mama. Namun…
“Keterlaluan kamu, Erika…” tiba-tiba Mbak Ratna muncul dari balik pintu kamarnya.
“Eh…mm…Mbak..” jawabnya terbata. Mbak Ratna menghampirinya, lalu menatapnya dalam. Rika berharap ia tak mendengar percakapannya dengan Syamsa tadi.
“Kamu risih dengan keadaan Mama?” Tanya Mbak Ratna. Erika diam. Baginya, kalimat tersebut bukan sekedar pertanyaan biasa yang menunggu satu jawaban singkat, namun merupakan investigasi dalam bentuk pertanyaan yang menuntut penjelasan panjang lebar juga rasional.
“Bukan, Mbak… saya cuma….cuma…” Ia bingung untuk melanjutkan kata-katanya sendiri.
“Cuma malu maksud kamu? Iya kan?” tuduhan itu menamparnya telak. Ia tak bisa mengelak. Hanya satu pilihan yang ia pikir harus dilakukan saat ini. Membela diri.
“Mbak, coba bayangkan kalau saja Mbak Ratna ada di posisi saya. Sejak Mama berkunjung kesini, temen-temen cenderung memandang saya sebelah mata. Seakan-akan saya itu nothing di hadapan mereka. Bukankah itu semua disebabkan karena kondisi fisik Mama?.”Ucapnya.
Ada perasaan bersalah yang perlahan menyusup ke dalam hati kecilnya hingga membuatnya menyesal telah berkata demikian. Ia tahu bahwa apa yang baru saja diucapkannya dapat melukai perasaan Mbak Ratna, terlebih jika Mama mendengarnya.
Tapi…apa yang ia ungkapkan benar-benar seperti yang dirasakannya saat ini. Dan menurutnya, Mama tetap bersalah karena baginya kebutaan Mama telah membuat reputasinya down dihadapan rekan-rekannya. Jadi, tak salah jika dirinya mengatakan hal seperti itu. “Rasional bukan?” Sahut bisikan hatinya yang lain. Tapi…,
“Benar-benar keterlaluan kamu, Rika!! Mbak menyesal kenapa dulu Mama bersikeras untuk mendonorkan kornea mata beliau untuk puteri bungsunya yang terlahir dalam kebutaan.” Suara Mbak Ratna terdengar bergetar menahan marah.
“Apaa….?!” Kalimat yang baru saja didengarnya membuatnya tak percaya. Bukankah dirinya adalah puteri bungsu Mama?!. Berarti….
“Jika sekarang kamu bisa seperti ini, semuanya tak lepas dari pengorbanan Mama. Pengorbanan yang tak semua orang sanggup lakukan. Pengorbanan tulus dari seorang Mama yang tak rela jika puteri yang dicintainya cacat seumur hidup.” Paparnya.
Erika terhenyak. Matanya terasa panas, seakan bulir bening didalamnya memaksa keluar.
“Tapi, mengapa Mama melakukannya, Mbak…?” tanyanya. Suara paraunya hampir tak terdengar. Mbak Ratna terdiam sejenak, menetralkan emosinya yang sedari tadi menggelegak.
“Saat kamu dilahirkan, Mama bilang bahwa beliau tak hanya melahirkan seorang putri, tapi juga melahirkan sebuah cinta. Cinta yang bagi Mama menuntut pengorbanan, meski itu begitu berat. Hingga walau pengorbanan itu mengharuskan beliau menderita kebutaan seumur hidupnya, seperti yang kamu lihat saat ini…” Mbak Ratna terdiam sejenak, lalu melanjut kan…
“Tapi ternyata hingga detik inipun kamu tidak mampu melihat cinta itu di mata Mama. Jadi, siapa sebenarnya yang buta itu, Rika?!” Mbak Ratna mengakhiri kalimatnya seraya menuju kamar Mama.
Sementara itu, Erika masih terpaku. Lama, lalu tersungkur. Ia memejamkan kedua matanya. Terbayang ketika ia membentak Mama. Wanita tegar itu hanya diam, tapi ia tahu sepasang mata itu berbicara banyak. Sayang, Erika tak mampu menerjemahkannya.
Perasaan bersalah serta penyesalan seakan menamparnya bertubi-tubi dan tanpa ampun. Bulir bening yang sedari tadi memaksa keluar dari bola matanya, kini bagai ombak maha dahsyat yang meluluh lantakkan karang kokoh bernama keangkuhan di hatinya.
***
Sebulan kemudian…
Usai menamatkan tilawah, ia menuju beranda rumah. Langkahnya pelan, seiring langkah mentari yang mencari pagi. Hawa dingin winter masih menusuk. Sebulan sudah Mama dan Mbak Ratna meninggalkannya menuju tanah air. Ada kerinduan menyusup ke dalam relung hatinya. Tiba-tiba ia teringat kalimat Mbak Ratna sebulan yang lalu, “Siapa sebenarnya yang buta itu, Rika?”
Ia tahu, pertanyaan itu tak butuh jawaban secara lisan. Lebih dari itu, ia menuntut jawaban dari hati. Pun pertanyaan itu mengandung sarkasme cukup tajam, hingga mampu menebas keangkuhan yang pernah berdiri kokoh di satu ruang dalam hatinya.
Terbayang wajah teduh Mama. Bagi Erika, Mama adalah wanita paling tegar yang pernah ia temui. Sungguh, Mama tak pernah buta. Melainkan, dialah yang patutnya dinilai buta, karena dirinya tak mampu melihat cinta Mama yang begitu tulus hingga sanggup melahirkan pengorbanan yang begitu besar untuknya. Lebih dari itu, cinta Mama mampu mencairkan kebekuan dalam hatinya, meski kebekuan itu bak gumpalan salju di puncak Bukit Muree.
Ia merasakan cinta Mama memanggilnya, menggerakkan syaraf motoriknya untuk segera menemui wanita terkasih itu dan memohon maaf darinya. Ia benar-benar rindu. Baginya, kasih Mama sehangat mentari musim semi. Ya, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halaman meski harus meninggalkan profesinya. Baginya, itu hanyalah secuil dibanding besarnya pengorbanan Mama.
Tak sadar iapun bergumam “Ma, betapa aku rindu….”(Nie)