Perempuan...
Wednesday, August 15, 2007
Oleh: Aini Aryani M.
“HUH…CUMA PEREMPUAN!!!”
Desau meremehkan yang sering didengarnya dari mulut makhluk jumawa bernama LAKI-LAKI. Underestimate. Ia benci…!!! “Aku bukan perempuan biasa. Aku mampu menyaingi makhluk-makhluk pongah itu,” ikrarnya dalam hati. Kenapa tidak???? Bahkan dirinya pernah menyingkirkan sejumlah laki-laki dalam sebuah olimpiade sains dunia.
Perempuan paro baya itu tersenyum mendapati pernyataan seorang Sosialis hebat, Friedrich Engels yang merujuk pada teori Marxis klasik bahwa perubahan status perempuan hanya dapat terjadi melalui revolusi sosialis, perempuan akan mencapai keadilan sejati jika urusan domestikasi diubah bentuk menjadi industri sosial, dan mendidik anak menjadi urusan publik.
Yeah...konsep ini yang ia cari. Ia tak suka melihat para wanita menjadi abdi suami mereka, menjadikan diri mereka kelas kedua dalam rumah sendiri, dan hanya bisa diam ketika posisinya ditempatkan dibelakang laki-laki. Lihat saja dalam ritual shalat bersama. “Uffhh....budak kontemporer yang tunduk pada si Pemasung kebebasan perempuan” desisnya. Ia heran, mengapa begitu banyak wanita yang malah menikmati itu semua.
Gamang menyelusup di ruang dalam hatinya, lalu bermimpi andai dirinya sehebat Mary Wollstonecraft (Amerika), Helene Cixous (Prancis), Julia Kristeva (Bulgaria), Fatimah Mernissi (Maroko), Taslima Nasreen (Bangladesh), Riffat Hassan (Pakistan), Ashgar Ali Engineer (India), Huda Sya’rawi (Mesir), Aminah Wadud Muhsin (Malaysia), atau Gadis Arivia (Indonesia). Tentulah ia dapat memangkas cara berpikir kaumnya. Paling tidak, agar mereka tak lagi menjadi budak laki-laki. Dirinya sanggup berada di garda terdepan demi mengusung Gender Equality, di segala bidang kalau perlu. Ya...di segala bidang, tanpa diskriminasi...!!
Peristiwa The Love Boat...
Berbagai eksperimen untuk membuktikan bahwa PRIA DAN WANITA SERATUS PERSEN SAMA telah menyebabkan banyak kerugian. Tahun 1997 pemerintah Inggris memberlakukan “Gender Free Approach” dalam merekrut tentaranya dan mengadakan ujian fisik yang sama kepada kadet pria dan wanita. Yang terjadi adalah tingkat cedera yang tinggi di kalangan kadet wanita. Dalam Perang Teluk, satu per 10 kru wanita Kapal Perang Amerika USS Acadia dikembalikan karena hamil di perjalanan menuju atau di medan perang, sementara jumlah tentara pria yang dikembalikan: Nol. Kapal itu kemudian diolok-olok sebagai The Love Boat.
Hiyyy...ia merinding. Ternyata fisik wanita dan pria memang tak sama kuat. Tapi baginya itu bukanlah sebuah excuse untuk menjastifikasi superioritas laki-laki atas kaumnya. Lalu kenapa wanita mau memasung hak dan freedom-nya demi laki-laki??? Apa yang mereka cari??? Mengapa Tuhan menetapkan peraturan yang begitu patriarkal??? Adakah laki-laki lebih mulia dihadapan-Nya karena alasan itu??? Jika ia, sungguh malang dirinya dengan kodrat sebagai wanita. Haruskah dirinya berpaling pada agama lain yang mungkin meninggikan derajad kaumnya???.....Jiwanya merintih. Menggugat Tuhan. Meragukan keyakinan.
Talmud (kitab aturan kehidupan pribadi & peribadatan Yahudi):
“Berbahagialah orang-orang yang mempunyai anak laki-laki, dan celakalah orang-orang yang mempunyai anak perempuan.”
Aristoteles (Filosuf Yunani):
“Kekuasaan orang-orang yang bebas terhadap para budak adalah salah satu bentuk hukum alam; demikian pula kekuasaan kaum lelaki atas kaum perempuan....”
Kitab-kitab landasan perundang-undangan Hindu:
“Budak, istri (wanita) dan hamba sahaya tidak boleh memiliki harta.” (Manu 8:46).
“Wanita dan binatang mesti ditekan dengan kekerasan.” (Ramayana).
“Dengan wanita tidak boleh dilakukan persahabatan, karena hati wanita adalah lubang srigala.” (Regweda).
John Chrysostom (Pendeta Kristiani):
“Karena wanitalah, setan memperoleh kemenangan dan karena itu pula surga menjadi hilang. Dari segala binatang buas, perempuanlah yang paling berbahaya.”
Carl Vogt (Penganut Paham Darwinisme):
“Dimanapun kita merasakan pendekatan terhadap jenis binatang, perempuan lebih dekat dengannya daripada laki-laki...Oleh sebab itu, kita akan menemukan lebih banyak kemiripan (menyerupai kera) jika kita mengambil wanita sebagai patokan.”
Perempuan itu merinding. Jiwanya bergetar. Geram. Hanya satu kata yang dapat mewakili perasaannya; “Biadab!!!”. Baginya, pandangan-pandangan itulah yang berporos budaya patriarki. Bahkan menganggap wanita sederajad dengan binatang. “Benar-benar inhuman,” pikirnya. Ternyata memang hanya agamanyalah yang memuliakan wanita.
Begitu banyak pelanggaran dalam islam yang hukumannya berupa membebaskan budak wanita. Begitu banyak pula adat-adat tak manusiawi yang dihapus oleh Islam, semacam Nikah ad-Dayzan , Nikah as-Syighār , Nikah al-Badal , Zawaj al-Istibdhā‘ , Nikah Mut’ah ,dll. Tidakkah itu artinya Islam datang dengan membawa kemuliaan bagi kaumnya??
Islam tidak memandang bahwa laki-laki lebih tinggi dihadapan Allah hanya karena menjadi kepala rumah tangga, imam atau berdiri di shaf depan wanita. Karena masing-masing tentunya mendapatkan ganjaran yang sama dalam melaksanakan tugas yang sudah dibagi-Nya. Yang menjadi patokan hanyalah satu: “Tingkat Takwa”, dan itu tak ada relasinya dengan gender. Siapapun mampu dan dipersilakan berlomba-lomba mencapainya.
Bagai salju di musim panas. Uraian tersebut sungguh menyejukkan hatinya. Menebas paradigma negatifnya hingga tumbang. Ya…kenapa ia baru menyadari itu semua di usianya yang setua ini. Hampir saja ia tergelincir ke jurang feminisme radikal. Padahal paham itu lahir dalam konteks sosio-historis khas di negara-negara Barat terutama abad XIX–XX M ketika wanita tertindas oleh sistem masyarakat liberal-kapitalistik yang cenderung eksploitatif. Sedangkan dirinya bukan bagian dari mereka.
Ah...sungguh beruntung menjadi seorang muslim/ah, memiliki budaya yang jauh beradab dari mereka yang mengaku beradab, tapi moral terbelakang. Buktinya....mereka menyamakan wanita dengan binatang, sementara mereka tak bisa hidup tanpa wanita.
Dalam remang, ia bersujud. Bersyukur Tuhan masih merengkuh hati dan otaknya. Man izdada ilman wa lam yazdad hudan, lam yazdad minaLLAHi illa bu’dan. Seseorang yang bertambah ilmunya tanpa hidayah, akan membuat jarak semakin jauh antara dirinya dengan Allah. Karena hati yang tak berdzikir adalah mati, sedangkan otak yang tak bertafakkur mendekati kufur. (Nie, Summer 2007))
Notes:
Nikah ad-Dayzan: bentuk nikah dimana anak sulung laki-laki dibolehkan menikahi janda mendiang ayahnya (ibu tiri).
Nikah as-Syighar: bentuk nikah dimana dua orang bapak/saudara laki-laki saling menyerahkan putrinya/saudari perempuannya masing-masing kepada satu sama lain untuk sama-sama dinikahinya tanpa mahar.
Nikah al-Badal: bentuk nikah dengan cara saling bertukar isteri hanya dengan kesepakatan kedua suami tanpa perlu membayar mahar.
Nikah Istibdha’: bentuk nikah dimana seorang suami boleh dengan paksa menyuruh isterinya untuk tidur dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah hamil sang isteri dipaksa untuk kembali kepada suaminya semula, semata-mata karena mereka ingin mendapatkan bibit unggul dari orang lain yang dipandang mempunyai keistimewaan tertentu.
Nikah Mut’ah: bentuk nikah dimana masa penikahan hanya berlangsung sesuai perjanjian kedua belah pihak (semacam kawin kontrak)
*Tulisan diatas pernah dimuat di Buletin An-Nahdlah PCI-NU cabang Pakistan edisi Agustus 2007
August 19, 2007 at 8:54 PM
Saya pernah baca di buku, katanya peradaban2 awal (sebelum Mesopotamia berjaya kira2 tahun 3000 BCE) menggunakan sistem matriarkal. Alasannya, orang2 jaman itu menghormati sosok ibu. Kira2 mirip lah dengan alasan kenapa orang Minangkabau menggunakan prinsip itu dalam adatnya.
Tapi ya namanya laki-laki, dominasinya jauh lebih besar. Makanya keadaan segera berubah, dan sistem patriarkal muncul. Bahkan, dalam peradaban2 besar berikutnya, dominasi ini melampaui batas dimana perempuan dijadikan obyek, dan dianggap pembawa bala.
Dan... Islam membedakan peradaban "kita" dengan "mereka"...
August 22, 2007 at 3:40 PM
wah pemikir kita ini memang produktif sekali, seandainya....
saya juga setuju persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, tapi harus ditempatkan sebagaimana mestinya. laki-laki dan perempuan lahir dengan fisiologi yang berbeda, yang menjadikan ada kurang atau lebih pada masing-amsing.
saya kira adanya imbas kecenderungan beberapa hal didominasi laki-laki tak masalah, misalnya ya itu perang tadi. tapi bukan berarti pelegalan atas dominasi laki-laki kepada perempuan.
kita sama dan saling melengkapi. kenapa tidak bekerjasama saja?
indah kan?
sumedi
August 25, 2007 at 8:14 PM
yah.. laki2 dan perempuan adalah mahluk yang berbeda.. yin dan yang, gampangnya..
August 26, 2007 at 10:47 PM
kalau boleh menambahkan, masih ada florence nightingale, marie Curie, mother theresa dan evita peron juga hebat.
Meskipun tidak sebanyak tokoh2 lelaki, wanita juga tak bisa dipandang sebelah mata. Kalau saya lebih merinding mbak, wanita itu hebat lho sebenarnya, cuma peran mereka tidak kelihatan.
Contohnya, kematian Hitler juga kan karena ada pengaruh Eva Braun ? bisa jadi falsafah2 Chrysostom dan Vogt itu wujud dari ketakutan akan wanita.
August 30, 2007 at 12:47 PM
Artikel yang bagus.
Thanks Aini krn telah berbagi.
August 31, 2007 at 6:53 PM
makasih buat mas Edward, mas Abimayu, mas Sumedi, mas SQ dan mbak Ani, thanks atas komennya :-)
sebenarnya saya menulis prosa "Perempuan" karena terinspirasi dengan fenomena propaganda Gender Equality yg makin hangat aja.
sy membayangkan ada seorang perempuan paro baya yang got impressed dengan ideologi barat (western feminism). kemudian ideologi tsb menggerogoti pikiran dan hatinya sedikit demi sedikit, sehingga membuatnya berpikir bahwa islam itu berporos budaya PATRIARKI dan menganggap bhw islam memandang wanita hanya 'sebelah mata' (MISOGYNY). padahal, justru islam lah yang datang dengan membawa kemuliaan bagi wanita, sedangkan barat???? Nonsense. terbukti bahwa pemikir2 yg berdiri di garis radical feminism barat itu telah banyak dikecam bahkan oleh pemikir2 barat sendiri. bahkan para negarawan dan tokoh politik eropa dan USA pun banyak yg mengkhawatirkan dampak buruk dari pergerakan feminis radikal di negara mereka.
Dekat2 ini saya menulis artikel di sebuah majalah (DINAMIKA) yang diterbitkan oleh rekan2 Dept. Media dan Informasi PPMI Pakistan, utk edisi september 2007. nama artikelnya "ISLAM BERAROMA IDEOLOGI PATRIARKI; BENARKAH...????"
tulisan tersebut ada korelasinya dengan prosa saya yg berjudul "Perempuan" ini. insya Allah artikel tsb akan saya posting di blog ini setelah Majalah Dinamika tsb terbit bulan sept depan.
sekali lagi....thanks a lot buat semua rekan2, ikhwan, akhwat, dan semuanya atas komentar dan sharing nya....sering2 ya berbagi ilmunya ;-)
September 11, 2007 at 2:04 AM
wah, kalau laki-laki dan perempuan itu sama?????? Saya gak bisa hidup deh.
Dunia indah karena ada wanita. Dan hidupmu akan lebih indah kala suamimu laki-laki. Pasti tidak sama khan???
September 11, 2007 at 2:17 AM
banyak ilmunya. thanks.
September 17, 2007 at 6:03 AM
Sebagai perempuan, kita punya banyak kelebihan. Tp bukankah Tuhan sudah menciptakan perempuan berbeda dg laki2. Knapa jg harus nuntut persamaan di SEMUA bidang dg laki2. Iya kan. Saling melengkapi. Bukankah itu lbh indah ^^
September 20, 2007 at 8:37 PM
maaf saya ndak bisa omong banyak, belum cukup ilmunya. :D
cuma satu kata
wanita dan laki-laki itu beda. tapi, bukan untuk di beda-bedakan.
September 28, 2007 at 6:03 AM
A very intriguing thought! The problem of feminism in Muslim perhaps more cultural! By putting "taqwa" as the measure of mutuality between men and women I guess it's fair enough because that's the essence of Islam itself "submission" to God. Thanks for sharing!
October 8, 2007 at 8:57 AM
wanita dan pria jelas-jelas berbeda, dalam bahasa sosiologinya "DIFFERENSIASi"
bukan
"STRATIFIKASI"
tulisannya bagus mba...
saya cinta FLP,
saya kagum pada mba Helvy,
terus berkarya ya mba seperti
mba Helvy.
cerahkan dunia dengan tulisanmu!!
wassalaam
November 3, 2007 at 8:25 AM
Bunga Surga ( Perempuan)
ketika aku meremehkanmu,
ternyata kau menghormatiku.
tatkala aku lupa pada jasamu,
ternyata kau merindukanku.
maafkanlah jiwaku..
dengan segala ketulusanmu...
karena kau tercipta untukku
by; Ali tantowi as-sundawi
semoga tulisan ini menggugah kita untuk lebih menghargai perempuan.
February 13, 2008 at 3:12 PM
“PERAN PEREMPUAN PEDESAAN
DALAM EKONOMI GLOBAL
(Sebuah Catatan Untuk Para Perempuan Indonesia)
Oleh: Yana
Secara normatif, meskipun sudah banyak Negara yang tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan, dan lebih 120 negara meratifikasi konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, marginalisasi perempuan masih banyak terjadi. Isu persamaan status perempuan masih merupakan persoalan dunia dan tetap menjadi topik pembicaraan pada Konferensi Dunia IV tentang peran perempuan dalam pembangunan di Beijing pada bulan September 1995. Karena berstatus lebih rendah dari laki-laki, perempuan dianggap inferior, seringkali eksistensinya terlupakan dan tidak diperhitungkan. Banyak perempuan dengan inisiatif sendiri telah berkerja dan berkontribusi pada pembangunan. Meskipun dasawarsa perempuan sudah dicanangkan PBB tahun 1979-1985, dan gerakan perempuan sudah mendunia, namun hingga saat ini isunya masih tergolong baru. Kebijakan tidak mudah dilaksanakan karena berbagai alasan seperti adaptasi budaya, kekhawatiran, ketidaktahuan, sinisme, serta pandangan rendah kebanyakan orang terhadap perempuan dan isunya.
Dalam program pembangunan sektoral, isu kesetaraan masih termarginalkan. Perempuan masih merupakan sumber daya manusia yang tidak tampak (invisible). Contohnya di sektor pertanian, terlepas dari keberadaan perempuan tani yang sejak dulu berperan di sektor ini dalam proyek maupun kegiatan rutin pertanian, mereka belum termasuk dalam daftar kelompok sasaran.
Kalau peran perempuan pedesaan dalam sektor yang secara tradisional sudah melibatkan mereka saja isunya belum tampak, apalagi yang berhubungan dengan globalisasi. Hubungan antara isu global yang makro dengan perempuan pedesaan yang mikro tentu jauh tak terlihat. Meski perempuan berperan dan berkontribusi dalam peningkatan ekspor non-migas baik pada produk industri manufaktur maupun produk pertanian, isu perempuan dibidang ekonomi belum terangkat, terlebih isu ekonomi yang berhubungan dengan globalisasi. Padahal baik langsung maupun tidak langsung, secara akut globalisasi akan melanda perempuan pedesaan .
Sebagai negara agraris, jumlah perempuan usia di atas 10 tahun dalam sektor pertanian luas yang berada di wilayah pedesaan mencapai 40 persen. Berbagai penelitian dalam sektor pertanian menunjukkkan bahwa peran perempuan pada kegiatan pertanian sangat substansial. Kesemuanya menyebut adanya pembagian kerja seksual dimana perempuan melakukan kerja selama proses produksi yang meliputi penanaman, penyiangan, pemeliharaan, panen, pasca panen, pemasaran, baik yang bersifat manajerial tenaga buruh, pada komoditi tanaman pangan ataupun tanaman industri yang diekspor. Beberapa pekerjaan malahan dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti halnya menanam bibit, menabur benih dan menyiang. Dalam proses budi-daya , nyaris tak ada benih jatuh ke bumi tanpa sentuhan tangan perempuan. Bahkan dalam pengairan, yang selama ini dianggap kerja laki-laki, perempuan ternyata ikut menentukan kapan pengairan dilakukan, banykanya kuantitas air, kedalaman air, frekuensi pengairan, termasuk “bagian kerja laki-laki”. Tanpa keterlibatan perempuan, proses produksi tak akan berlangsung, termasuk komoditi ekspor yang diperdagangkan secara internasional.
Industrialisasi ternyata membuka peluang bagi perempuan pedesaan. Sekarang, sumber pendapatan perempuan pedesaan tidak saja dari sektor pertanian yang secara tradisional mendominasi kerja penduduk pedesaan. Di sektor formal, mereka juga bekerja dalam industri manufaktur yang diekspor, disektor informal seperti industri rumah tangga, perdagangan dan jasa. Namun akhirnya perempuan pedesaan meninggalkan pola kehidupan tradisional di pedesaan karena kegiatan ekonomi pedesaan dianggap tidak lagi mampu memenuhi harapan-harapan mereka. Mereka tidak hanya bekerja di kota, bahkan juga ke luar negeri, ke negara lain yang belum pernah dikenalnya baik adat, budaya dan bahasanya berbeda jauh. Inipun tidak terbatas pada mereka yang belum menikah. Yang berkeluarga juga berimigrasi ke luar negeri sebagai tenaga kontrakan pembantu rumah tangga, meninggalkan keluarganya di tanah air. Teori migrasi dan ideologi gender yang meramal bahwa perempuan hanya bekerja tak jauh dari tempat tinggalnya, ternyata tidak relevan. Kontribusi mereka tidak hanya pada rumah tangganya sendiri, tetapi juga dalam pembangunan fisik, pencari devisa, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial negara tempat mereka bekerja karena perempuan majikannya menjadi bekerja, bahkan membebaskan kewajiban pemerintah negara tersebut dari biaya sosial seperti pemeliharaan anak. Sebagai anggota masyarakat perempuan terlibat dalam kerja sosial yang tidak dibayar, misalnya dalam posyandu. Besarnya kontribusi tersebut belum pernah dihitung secara ekonomi, sama halnya dengan kontribusi dalam rumah tangga pada perhitungan GNP dan PDB.
Perdagangan internasional telah menjadi kegiatan ekonomi global yang menjadi perhatian (interest) semua negara di dunia. Trend yang berkembang adalah menuju perdagangan bebas, sebagai realisasi dari kesepakatan GATT (General Agreement on Tarif and Trade) yang telah ditandatangani oleh negara anggotanya di Marakesh. Berbicara mengenai perdagangan internasional tidak membuat banyak orang bertanya tentang relevansinya dengan perempuan di pedesaan. Adanya budaya patriarki dan ideologi gender tersubordinasi membuat peran perempuan tidak tampak.
Sebagai tindak lanjut dari penerimaan dokumen akhir putaran Uruguay, GATT Treaty di Marakesh pada 15 April 1994, perdagangan dunia pasca GATT berada di bawah pengelolaan organisasi dagang dunia (World Trade Organization-WTO). Dalam WTO, GATT menjadi peraturan perundangan internal. Negara anggota harus mempunyai peraturan perundangan nasional sesuai dengan WTO. Secara garis besar GATT terdiri dari tiga bagian, yaitu (1) treaty tentang pertanian, (2) treaty tentang hak milik intelektual, (3) treaty tentang jasa-jasa perdagangan. Aspek-aspeknya mencakup tarif, peraturan non-tarif, produk-produk berdasar sumber daya alam, tekstil dan garmen, produk tropis, jasa perdagangan, peraturan terhadap pemberian subsidi.
Perdagangan yang disepakati adalah perdagangan yang transparan, tanpa proteksi. Bagi komoditi pertanian termasuk pangan, setiap negara termasuk yang sedang berkembang harus membuka pasar impor pangan dari negara maju. Subsidi langsung kepada petani dilarang, namun subsidi kepada eksportir diijinkan. Pada usaha tani kecil dimana manajemen usaha dan rumah tangga tidak dapat dipisahkan, tentu hal ini berdampak pada petani perempuan yang berperan ganda pada sektor pertanian dan peran gender rumah tangga.
Prinsip WTO tidak memasukkan aspek lingkungan, kesehatan, hak pekerja ataupun tujuan kebijaksanaan kemanusiaan, termasuk kepeduliannya terhadap masalah perempuan. WTO diramalkan menjadi lembaga internasional yang kuat, namun mandatnya terbelakang. Ketika dunia sudah memperhatiakan masalah lingkungan dan perempuan, WTO belum memperhitungkannya. Perempuan dan kepedulian masalah gender absen dari proses formulasi kebijakan GATT dan WTO.
Memasuki perdagangan bebas dengan persaingan global yang menjanjikan berbagai keuntungan tidaklah muda bagi negara berkembang termasuk Indonesia yang merupakan relatif produsen baru dan pendatang baru dalam perdagangan dunia. Perdagangan bebas yang menghapus barrier dan proteksi dapat memberikan berbagai dampak. Dengan tidak adanya pajak bagi barang impor yang masuk ke negara berkembang. Produksi dalam negeri yang tidak dilindungi pasti tidak mampu bersaing dengan barang impor yang berkualitas lebih bagus dan harganya lebih murah. Produksi dalam negeri yang tidak mampu bersaing akan mati pelahan-lahan. Negara yang sedang berkembang tanpa disadari akan menjadi konsumen produk negara maju, dan tidak jarang perempuan dijadikan obyeknya. Pada akhirnya kesenjangan selalu terjadi. Negara berkembang tidak akan bisa mengejar ketertinggalannya terhadap negara maju.
Dalam era globalisasi, perempuan pedesaan juga pergi menjual tenaga ke luar negeri. Hal ini sejalan dengan SAPs dimana komoditi yang diekspor tidak hanya barang. Jasa pun diekspor, termasuk sumber daya manusia dalam sektor informal atomistik sebagai pembantu rumah tangga. Ketika kerja di sektor pertanian tidak memberikan peluang lagi, dengan keterbatasan pendidikan maka pilihan perempuan di pedesaan adalah memenuhi kebutuhan negara lain akan tenaga kerja domistik. Konstribusi ekspor Buruh Migran untuk mengurangi masalah pengangguran tidak dapat dipungkiri. Pada tingkat makro, sumbangan mereka pada devisi negara tentu sangat membantu. Sementara itu sumbangan di tingkat mikro baik pada keluarga maupun pada masyarakat jelas sangat bermakna. Namun kaum perempuan yang menjadi buruh migran tersebut harus menanggung beban finansial, fisik dan psikologis. Faktanya, ditemukan dalam keseluruhan proses dari tahap registrasi, pemberangkatan, di tempat kerja, dan ketika pulang kembali ke rumah mereka mengalami perlakuan perendahan, pelecehan seksual, tindakan kekerasan dan eksploitasi. Berbagai peraturan dalam rangka memproteksi mereka belum dilaksanakan, sementara perlindungan sosial belum menjangkau kelompok buruh migran. Akhirnya, kaum perempuan yang harus menanggung beban pembangunan ekonomi rumah tangga bahkan sebuah negara. Sedangkan pola yang digunakan negara dalam penyelesaian problem sosial misal; pengangguran selalu sama yaitu dengan pengiriman Buruh Migran Indonesia. Sehingga yang terjadi pemiskinan secara struktural kaum perempuan di pedesaan.