Islam Berideologi Patriarki; Benarkah...???  

Monday, October 8, 2007

Oleh: Aini Aryani

Pendahuluan
Islam kerap dipandang memiliki formulasi hukum yang cenderung menguntungkan kaum pria. Pandangan ini tak hanya bersumber dari Barat yang notabene non-Muslim, namun juga dari kalangan Muslim sendiri. Mereka beranggapan bahwa setting-an hukum Islam mengarah pada budaya patriarki dan memandang ‘sebelah-mata’ terhadap perempuan (misogyny). Berbagai stereotype yang dilekatkan kepadanya, serta aneka citra negatif memunculkan anggapan bahwa Islam memenjarakan kebebasan perempuan, memasung hak-haknya, bahkan menggiring kedudukannya ke bawah derajat kaum pria. Benarkah demikian?

Hukum warisan dalam Islam, hak penjatuhan thalaq bagi laki-laki, larangan bagi wanita mengimami laki-laki dalam sholat, aturan shaf dalam sholat yang mengharuskan wanita di belakang laki-laki, kewajiban patuh pada suami yang menjadi kepala keluarga, dll, Hukum-hukum Islam semacam ini seringkali dipandang patriarkal yang membuat sebagian muslimah merasa menjadi korban subordinasi dan marginalisasi. Kemudian menganggap hukum Islam tak lagi relevan dengan trend kekinian yang membuat pemeluknya menjadi terbelakang, khususnya perempuan muslim.

Semua itu menjadi stimulus munculnya pergerakan ‘Feminisme Islam’ dalam dunia feminisme yang mengacu pada konsistensi perjuangan dalam menghilangkan subordinasi, memusnahkan ideologi patriarki serta meluruskan pandangan misogyny dengan menggunakan paradigma Islam sebagai bahasan utama.

Gender Equality; Persamaan Porsi ataukah Nilai?
‘Feminisme Islam’ muncul pada pertengahan tahun 90-an sebagai terma baru dalam dunia feminisme, yang didefinisikan sebagai studi persamaan gender (gender equality) dan keadilan sosial dengan menggunakan paradigma Islam. Namun di sisi lain, feminisme seringkali menjadi mainstream (arus utama) yang menjebak aktivis perempuan menjadi bias dan bahkan cenderung keliru dalam memahami mengenai terminologi feminisme dan aliran-aliran yang berkembang didalamnya.

Dalam perjuangan dan pemikirannya, muslimah harus bergesekan dengan polemik dan trend kekinian yang sering menjebak, sehingga dalam perjalanannya terjadi polarisasi gerakan yang membentuk aliran berpikir yang dipengaruhi oleh ideologi Barat seperti Liberalisme dan Sosialisme-Marxis yang notabene sekuler. Kekecewaan mereka pada dominasi kaum pria di beberapa bidang dalam masyarakat membuat mereka menggugat syariat sebagai sumber hukum pertama, sehingga memunculkan keinginan untuk memformulasikan hukum yang (menurut mereka) menguntungkan.

Bukanlah dinamakan diskriminasi ketika wanita tidak diperbolehkan menjadi imam bagi laki-laki, atau ketika ia harus berdiri di shaf shalat yang berada di belakang laki-laki. Karena itu semata-mata bertujuan agar prosesi penyerahan diri dihadapan Tuhan berjalan dengan lebih tunduk, khusyu’ dan sakral. Bukan untuk ditafsirkan sebagai penempatan derajat wanita sebagai kelas kedua dalam kehidupan sosial. Demikian pula ketika isteri harus mematuhi suami yang menjadi kepala keluarganya, bukanlah berarti bahwa ia mengabdi dan tunduk pada pria, akan tetapi melaksanakan kewajibannya yang telah ditentukan Penciptanya.

Laki-laki tidaklah menjadi lebih tinggi dihadapan Allah hanya karena menjadi kepala rumah tangga, menjadi imam atau berdiri di shaf yang berada di depan wanita dalam shalat. Karena masing-masing tentunya mendapatkan ganjaran yang sama dalam melaksanakan tugas yang sudah dibagi oleh-Nya. Yang menjadi patokan hanyalah satu, yakni Tingkat Takwa, dan itu tak ada relasinya dengan gender. Siapapun mampu dan dipersilakan berlomba-lomba mencapainya. Tentunya manusia juga tidaklah lebih tau dari Tuhan dalam memandang mana yang lebih sesuai dan adil untuk mereka, karena sejatinya Allah-lah yang lebih mengetahui kapasitas ciptaan-Nya. Oleh karena itu tidaklah pantas bagi manusia untuk menggeser tongkat aturan agama dari porosnya.

Maka, ‘Gender Equality’ tidaklah selalu bermakna persamaan hak dan kewajiban dalam bidang atau porsi yang benar-benar serupa, karena yang menjadi substansi dari persamaan itu adalah ‘Nilai’. Laki-laki yang ingin mendapatkan manisnya berjihad diberikan-Nya jalan dengan cara mempertaruhkan nyawa di medan perang atas nama agama Allah. Begitu pula wanita yang ingin mendapatkan manisnya berjihad diberikan-Nya jalan dengan cara mempertaruhkan nyawa ketika ia tengah melahirkan bayi dari rahimnya. Kadangkala laki-laki dan wanita ditempatkan di bidang atau porsi yang berbeda, namun tetap memiliki ‘nilai’ yang sama. Inilah sesungguhnya makna dari Gender Equality.

Penutup
Kadangkala kaum pria merasa dirinya lebih utama karena memiliki ukuran otak akal yang lebih besar, dan menganggap wanita memiliki kekurangan karena didominasi perasaan dan emosi. Atau, kaum pria merasa lebih superior dengan alasan memiliki fisik yang lebih kuat dari wanita, hingga menganggap bahwa laki-laki memang ditakdirkan untuk lebih diutamakan.

Lebih ironis lagi ketika sebagian kalangan memandang ajaran-ajaran agama menjurus pada ideologi patriarki. Perasaan inferior dan kekecewaanpun muncul dari kaum wanita dan memicu mereka untuk mengambil tindakan. Akhirnya muncul gerakan-gerakan yang menuntut persamaan hak dan kedudukan di berbagai bidang, termasuk merekonstruksi aturan agama yang sudah proporsional. Kemudian terciptalah terma-terma semacam Feminisme, Emansipasi, dan Gender Equality.

Padahal, sebenarnya bukan masalah persamaan yang menjadi inti utama dalam membahas feminisme, tapi proporsionalitas dalam melihatnya. Kelembutan perasaan adalah keistimewaan bagi wanita yang lebih memberikan potensi takwa. Bila ia disatukan dengan ilmu, akan menjadi kekuatan tersendiri. Sebaliknya, bila ia tidak disertai dengan ilmu, maka akan menjadi sumber kelabilan jiwa. Sangat disayangkan bila wanita menganggapnya sebagai kekurangan dan berusaha mengeliminasinya dengan rasio agar sama dan tak kalah dengan pria.

Akal wanita tidak kurang untuk mencerna ilmu. Sedangkan pria juga membutuhkan perasaan untuk bertafakkur. Pria juga membutuhkan kelembutan hati yang akan memberikan emosi stabil dalam menyertai rasionya saat berfikir. Tak ada yang harus merasa lebih dan menganggap yang lain berada di bawahnya.

Meminjam kalimat Bapak Hendri Tandjung, MA., MM., : “Ngeri juga kalau isi dunia hanya Hard Science. Karena Hard Science tanpa Soft Science ibarat manusia tanpa daging, hanya tengkorak...” Begitu juga rasio tanpa dibarengi perasaan ibarat raga tanpa daging, hanya tengkorak yang rapuh. Itulah mengapa Relasi Gender tak harus dipahami sebagai perseteruan dan pertarungan antar kelompok (class struggle). Melainkan dalam perspektif kerja-sama dan hubungan timbal-balik, dalam arti saling menopang dan bahu-membahu membangun keluarga, bangsa dan negara, saling mengisi, saling melengkapi, saling mengerti dan saling menghargai satu sama lain.
Wallahu a’lam bisshowab.

Referensi:
1. Anis Ahmad, Women and Social Justice: An Islamic Paradigm, Institute of Policy Studies, Shirkat Printing Press; Lahore 1991
2. Zahratunnisa, BA, Muslimah di Ruang Pemikiran, An-Nahdlah edisi Juni 2006

NB: Tulisan diatas pernah dimuat di Majalah Dinamika edisi September 2007, majalah yang diterbitkan oleh Dept. Media & Informasi PPMI (Persatuan Pelajar & Mahasiswa Indonesia) di Pakistan.

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


 

Design by Amanda @ Blogger Buster