Hukum Pidana Pakistan, Wanita Terlindungi Ataukah Menjadi Korban??  

Wednesday, October 22, 2008

Sabtu, 18 Oktober 2008

*Sumber: Warna Islam Online

view the URL: http://warnaislam.com/ragam/pakistan/2008/10/18/24640/Hukum_Pidana_Pakistan_Wanita_Terlindungi_Ataukah_Menjadi_Korban.htm

Oleh: Aini Aryani M.

Dalam masyarakat Pakistan, wanita sering menjadi korban ketidakadilan dan diskriminasi. Hal itu menjadi salah satu pemicu perombakan besar-besaran atas hukum pidana Pakistan yang berisi ketentuan mengenai zina (hubungan seksual di luar ikatan pernikahan). Undang-Undang tersebut dikenal dengan HZO 1979 yang menghukum mati pelaku kejahatan zina apabila ia seseorang yang telah menikah, atau dipecut 100 kali apabila si pelaku masih lajang. Namun, pada tahun 2006 undang-undang tersebut diamandemen menjadi WPA 2006. Sebenarnya, hukum yang manakah yang lebih relevan untuk diterapkan di negeri Pakistan yang multi-etnik itu?

Undang-undang Hudud Zina atau Hadd Zina Ordinance (HZO) diberlakukan di Pakistan ketika rezim Jenderal Ziaul Haq berkuasa pada tahun 1979. Peraturan tersebut diberlakukan untuk beberapa tujuan, salah satunya untuk melindungi kehormatan wanita. Namun setelah undang-undang tersebut diberlakukan banyak penyimpangan aturan dan ketidakadilan terjadi, hingga banyak dari para wanita yang justru menjadi korban. Salah satu fenomenanya adalah ketika seorang wanita menjadi korban pemerkosaan kemudian mengangkat kejadian yang menimpa dirinya ke pengadilan, maka ia diharuskan untuk memiliki empat orang saksi mata. Jika tidak, maka dirinyalah yang akan dijebloskan ke penjara atas dasar qadzfuzzina (menuduh berbuat zina) terhadap laki-laki yang ia tuduh telah merenggut kehormatannya.

Alhasil, undang-undang tersebut menuai banyak kritik tajam. Banyak dari rakyat dan para ulama Pakistan yang menuntut agar undang-undang tersebut segera diamandemen. Tahun 2003 tingginya korban kriminalitas dari wanita memuncak. Menurut data Women AID Trust Islamabad kasus Hudud dimana korbannya adalah kaum wanita meningkat hingga 32% pada bulan Juli hingga September 2003.

Tuntutan amandemen tersebut terpenuhi 28 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2006 ketika kursi kekuasaan diduduki oleh Presiden Pervez musharraf. HZO 1979 diamandemen besar-besaran, hingga seluruh pasal mengenai Hadd Zina dirubah menjadi Undang-Undang Perlindungan Wanita (Women’s Protection Act, WPA 2006).

Dalam undang-undang baru tersebut hukum diselaraskan dengan situasi dan kondisi negeri Pakistan dan rakyatnya pada masa itu, namun tetap berbasis pada aturan Islam. Misalnya, seorang terdakwa yang terbukti melakukan kejahatan pemerkosaan akan tetap dikenakan hukuman. Meski ia tidak dijatuhi hukuman hadd, namun ia dikenakan hukuman Ta’zir jika dalam proses persidangan si korban tidak dapat menghadirkan empat orang saksi mata. Hal ini tidak bertentangan dengan syariah karena dalam kasus ini terdapat syubhah yang mencegah hukuman hadd terhadap si korban. Ta’zir adalah kejahatan yang hukumannya diserahkan pada keputusan menurut kebijaksanaan hakim (The Discretionary Punishment), seperti hukuman penjara, denda, pengasingan, dll.

Dalam kasus di atas, wanita yang menjadi korban pemerkosaan dan tidak dapat menghadirkan empat orang saksi akan tetap medapatkan tuntutannya terhadap si pelaku jika si pelaku benar-benar terbukti bersalah. Karena selain kesaksian (testimony), ada beberapa faktor lain yang dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam membuat keputusan. Faktor-faktor tersebut antara lain: Pengakuan dari si tertuduh (confession), barang bukti (circumstantial evidence), hasil pemeriksaan medis (Medical Evidence), dan keyakinan hakim (the judge’s personal observation).

Beberapa waktu kemudian, setelah WPA diberlakukan, lagi-lagi tuntutan amandemen muncul dari kalangan muslim extremis yang menyatakan bahwasanya undang-undang baru tersebut berisi beberapa ketentuan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Misalnya, kasus pemerkosaan tidak dikategorikan dalam kejahatan Hudud, melainkan Ta’zir. Dalam pasal lain ada ketentuan unik yang isinya; suami yang berhubungan suami-isteri tanpa sebelumnya mendapatkan kerelaan dari isterinya dapat dijatuhi hukuman setara dengan pelaku pemerkosaan. Tindak kriminal di atas dikenal dengan marital rape. Hal tersebut diatur dalam pasal 375 Undang-Undang Pidana Pakistan (PPC) yang berbunyi:

”Seorang laki-laki dewasa dikatakan telah melakukan tindak kriminal pemerkosaan apabila telah melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita dalam salah satu dari lima keadaan dibawah ini:
-bertentangan dengan keinginan si wanita
-tanpa persetujuan si wanita
-dengan persetujuan si wanita, ketika persetujuannya didapatkan dengan cara membuatnya takut atas kematian atau disakiti,
-dengan persetujuannya, ketika laki-laki tersebut tahu bahwa dirinya tidak menikah dengan siwanita dan bahwa persetujuan yang diberikan oleh si wanita karena dia (si wanita) tahu bahwa -laki-laki tersebut adalah orang lain, atau bukan seseorang yang menikah dengannya.
-Dengan atau tanpa persetujuan si wanita ketika ia dibawah usia 16 tahun.”

Dalam ketentuan di atas tidak ada pengecualian bagi suami atas isterinya. Secara implisit dapat dipahami bahwa suami yang memaksa isterinya berhubungan suami-isteri akan dikategorikan sebagai tindak pemerkosaan dalam ikatan pernikahan (marital rape) yang dapat dijatuhi hukuman ta’zir. Adapun hukuman ta’zir bagi pelaku tindak pemerkosaan diatur dalam pasal 376 [a] PPC yang berbunyi: ”siapapun yang melakukan pemerkosaan akan dikenakan hukuman mati atau penjara selama masa yang tidak kurang dari sepuluh tahun, atau tidak lebih dari dua puluh lima tahun, dan juga dikenakan denda”.

Fenomena diatas adalah sebagian alasan yang memicu beberapa ulama untuk menuntut amandemen atas Undang-Undang Perlindungan Wanita (WPA 2006). Di sisi lain, masyarakat sipil dan pemerintah tetap mendukung diberlakukannya WPA 2006. Kontroversi yang tidak dapat dihindari tersebut memecah warga Pakistan pada dua kelompok. Kelompok pertama mendukung berlakunya WPA 2006 dengan pandangan bahwa undang-undang tersebut dapat menjadi penyelamat bagi kaum wanita, dan dapat mengurangi ketidakadilan yang menimpa mereka. Sementara lainnya memandang bahwa undang-undang tersebut adalah kulminasi dari pengaruh Barat atas ummat Islam. Undang-undang terebut juga dipandang sebagai imitasi dari cara berpikir kaum non-Muslim. Sejak saat itu, mungkin hingga sekarang, Pakistan butuh opini ketiga untuk menjembatani dua pandangan yang berseberangan itu.

Pakistan tidak bisa mengingkari bahwa negerinya terdiri dari berbagai macam sekte dan golongan masyarakat yang memiliki cara pandang hidup yang berbeda. Aspirasi masyarakat hendaknya benar-benar dipilah sebelum membuat keputusan yang final dan akan diberlakukan dalam bangsa yang multi-etnik ini. Belum lagi kaum wanitanya yang sering menjadi korban diskriminasi. Dalam situasi dan kondisi yang demikian, negeri Pakistan lebih membutuhkan hukum Islam yang lebih sesuai dengan keadaan bangsanya.

Menurut hemat penulis, Undang-undang Perlindungan Wanita atau WPA 2006 lebih relevan untuk diberlakukan di negeri Pakistan jika dibandingkan dengan HZO 1979. Dalam sejarah pemikiran hukum Islam (fiqh) sering kita temui perubahan ketetapan hukum karena pertimbangan mashlahah. Mashlahah adalah suatu kondisi dari upaya untuk mendatangkan sesuatu yang berdampak positif (manfaat) serta menghindarkan diri dari hal-hal yang berdimensi negatif (madharat). Pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Khattab, hadd potong tangan atas para pencuri tidak diberlakukan mengingat rakyatnya tengah dilanda musim paceklik berkepanjangan. Menurut hematnya, hukuman ta’zir lebih relevan untuk diberlakukan pada saat itu dari pada hadd. Kebijakan yang diambil oleh Umar ibn Khattab ini berasas atas pertimbangan bahwa dalam menyikapi satu perkara bisa berbeda berdasarkan perubahan tempat, kondisi dan waktu.

WPA 2006 sendiri secara garis besar dibuat berdasarkan ijtihad para ulama. Hanya saja ada beberapa bagian yang tidak selaras dengan ajaran Islam, seperti hukum implisit yang yang terdapat dalam pasal 375 PPC. Ketentuan tersebut terlalu berlebihan dalam memproteksi wanita Pakistan, yang akhirnya hanya akan membuat masalah baru dalam kehidupan domestiknya.

Namun demikian, walaupun ada beberapa bagian yang masih menyulut kontroversi undang-undang tersebut secara garis besar telah memberikan banyak faedah. Setelah disahkannya WPA 2006, Presiden Musharraf membebaskan sekurang-kurangnya 6000 wanita yang terbukti tidak bersalah, dimana sebelumnya mereka menjadi korban pemerkosaan namun justru dijebloskan ke dalam penjara atas tuduhan qadzfuzzina. Wallahu a’lam bishowab.[ai]

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


 

Design by Amanda @ Blogger Buster