Iftikhar Chaudhry dan Pudarnya Geliat Pervez Musharraf
Saturday, April 11, 2009
Oleh: Aini Aryani
Kurang lebih 3 minggu lamanya Iftikhar Muhammad Chaudhry kembali aktif menjalankan tugas sebagai ketua Mahkamah Agung (chief justice of Supreme Court) Pakistan, setelah tahun 2007 lalu ia dipecat oleh Presiden Pervez Musharraf.
Kamis lalu (2 April), ketika kami mahasiswi Syariah dan Hukum semester akhir di International Islamic University Islamabad (IIUI) mendapat undangan kehormatan dari Mahkamah Agung, penulis menyaksikan sendiri proses persidangan yang dipimpin langsung oleh Chaudhry dan dua hakim lainnya. Sayang sekali penulis tidak diperkenankan untuk mengambil gambar ketika proses sidang tengah berlangsung.
Sidang yang dipimpin oleh Chaudhry tersebut berkenaan dengan hilangnya seorang gadis yang diduga tewas, namun tubuhnya belum ditemukan. Sebelum kasus tersebut diangkat ke pengadilan, si tertuduh diserang oleh keluarga korban hingga terjadi baku hantam, bahkan ada yang menggunakan senjata api.
Tidak seperti kasus-kasus lain, kasus tersebut mencakup 3 masalah sekaligus yang saling berhubungan. Para saksipun cukup banyak, ada belasan saksi dari pihak penuntut yang dihadirkan ke dalam ruang sidang. Tampak pula seorang korban wanita yang memegang tongkat karena kehilangan salah satu kakinya akibat peluru yang salah sasaran melukai kakinya cukup parah, hingga harus diamputasi.
Sidang tersebut menggunakan dua bahasa, yakni Inggeris dan Urdhu sekaligus, dimulai sejak pukul 09.30 hingga 13.00 dan belum menghasilkan keputusan final, namun masih akan berlanjut di sidang-sidang berikutnya (Res Subjudice).
Chaudhry Muncul Kembali
Iftikhar Muhammad Chaudhry memulai karirnya sebagai hakim sejak tahun 1977. Ketika rezim Pervez Musharraf berkuasa, Chaudhry terpilih menjadi ketua Mahkamah Agung Pakistan. Hingga pada saat situasi politik Pakistan labil, Chaudhry dipecat oleh Presiden Musharraf pada tanggal 3 November 2007 secara non-konstitusional.
Menurut konstitusi Pakistan, wewenang untuk memecat hakim ada di tangan Supreme Judicial council, bukan di tangan presiden. Ketika masa jabatan kepresidenanya sudah diujung tanduk, Pervez Musharraf memecat 60 hakim temasuk Iftikhar Chaudhry yang saat itu menjabat ketua MA. Unjuk rasa terjadi diberbagai tempat, seperti unjuk rasa yang dilakukan oleh sekelompok pengacara yang dipimpin oleh Ihtizaz Ihsan tahun 2007 lalu. Namun sayang, Chaudhry dan 60 hakim tersebut tetap belum bisa dipulihkan, Musharraf memiliki dalih bahwa saat itu Negara Pakistan sedang dalam keadaan ‘state of emergency’ dimana presiden dapat mengambil kebijakan apapun.
Barangkali Musharraf cemas ketika MA merespon petisi yang berisi tuntutan agar Musharraf mundur dari pencalonan dirinya sebagai calon presiden di periode selanjutnya. Pasalnya, saat itu Musharraf masih menjabat sebagai seorang Jenderal, dan konstitusi Pakistan mendiskualifikasi kandidat presiden yang masih menjabat sebagai pegawai publik.
Tahun 2008 lalu Musharraf terpilih menjadi presiden kembali, yang akhirnya mengundurkan diri beberapa bulan kemudian setelah 2 partai besar Pakistan berkoalisi untuk melengserkannya dari kursi presiden. Dua partai tersebut adalah Liga Muslim Pakistan-Nawaz (PML-N) yang dipimpin Nawaz Sharif dan Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang dipimpin suami mendiang Benazir Bhutto, Asif Ali Zardari.
Rupanya Musharraf memang harus berbesar hati, ketika ia harus melepaskan dua seragam Jenderal dan Presiden sekaligus, lawan-lawan politiknya di masa lalu pun kini kembali ke permukaan untuk mengambil alih tahta kekuasannya di Pakistan. Mulai dari Asif Ali Zardari yang naik singgasana ke kursi presiden, Nawaz Sharif yang berkutat di Parlemen setelah dikudeta Musharraf tahun 1993 lalu, hingga Iftikhar Muhammad Chaudhry yang kembali memangku jabatan ketua Mahkamah Agung.
Tak hanya itu, sepertinya partai Liga Muslim Pakistan-Quaid Azam (PML-Q) yang dipimpim Musharraf tak sehebat sebelumnya. Jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan Pakistan dijabat oleh tokoh-tokoh partai oposisi. Seperti ketua Parlemen Fehmida Mirza dan Perdana Menteri Yousaf Raza Gilani yang keduanya merupakan tokoh PPP.
Menjadi ‘sobat’ George Bush tak berarti menjadikan seorang Pervez Musharraf selalu berjaya di Pakistan. Ia harus sadar bahwa lawan-lawan politiknya terlalu kuat, disamping kharismanya yang terlanjur pudar di mata rakyat Pakistan. Hanya saja, meski sang Presiden Pervez Musharraf yang konon otoriter telah lengser, namun stabilitas politik dan ekonomi Pakistan belum sepenuhnya pulih. Pemimpin-pemimpin baru Pakistan memiliki sederet 'PR' yang harus ditunaikan segera. []