Kala Senja Merenta  

Wednesday, June 20, 2007

Oleh: Aini Aryani*

Malam kembali keharibaanNya, mega mengundang penjaja kebisingan. Namun bagi Melati, malam atau pagi sama saja selama ia masih disini, di tempat yang amat tak ia sukai, yang membuatnya hanya bernilai tak lebih dari boneka bernyawa. Tempat yang orang-orang sebut `rumah gedongan`, namun baginya tempat itu tak lebih dari sebuah `penjara jiwa`.

Melati bosan, jemu, dan entah apa lagi yang mengusik ketenangannya, ia butuh suasana baru. Diraihnya kanvas dan alat-alat lukis. Lalu tepat di belakang rumahnya, di lapangan luas penuh hijau, ia mulai melukis wajah merah mega yang berkolaborasi dengan hamparan langit yang mulai membiru. Ia menemukan kedamaian disana. Ia sangat menikmati itu. Hingga…

”Braakkk…!!!” lukisan basah yang tadinya berada tepat di depan wajahnya, kini berpindah tepat di depan kakinya. Seseorang telah mencampakkannya.

“Papa sudah bilang, melukis itu tidak ada gunanya. Buang waktu saja. Lebih baik kamu kembali ke kamar dan tekuni materi-materi kuliahmu,” suara Papanya membuatnya tertunduk. Baginya itu bukanlah sebuah saran, melainkan sebuah `perintah` yang harus ia tunaikan. Hatinya bergemuruh, lukisan yang ia buat sedari pagi buta, kini tak berbentuk lagi. Ingin ia memberontak. Tapi lidahnya hanya sanggup meluncurkan sebuah kata, “Baik, Pa.”
***

Dokter. Kata itu membuatnya tak habis pikir. Mengapa Papa begitu berambisi untuk menyulapnya menjadi dokter. Apakah karena Papa seorang dokter, lalu dirinya juga harus menjadi dokter? Pertanyaan itu memantul dari satu relung ke relung lain dalam jiwanya. Hingga ketika keinginan menjadi seorang seniman menggebu-gebu di hatinya, atau ketika keinginan untuk tinggal bersama teman-temannya di asrama mahasiswi sebuah yayasan islami menghampiri hatinya, Papa dengan otoriter menolak keinginan-keinginan tersebut mentah-mentah. Sebaliknya, ia justru diberi `Titah` untuk mendalami ilmu medis di salah satu Universitas bergengsi di kotanya, jurusan yang sama sekali tak ia minati.

“Mungkin karena otakku pas-pasan, makanya aku sering dapat nilai merah di pelajaran-pelajaran exacta waktu aku masih SLTP dan SMU, tapi mengapa Papa tetap memaksaku untuk menuruti kemauannya..,” batinnya.

Akhirnya harapannya terkubur begitu saja. Tapi… Tidak… harapan itu belum sepenuhnya terkubur, karena ia masih dapat melukis diam-diam dari jendela kamarnya, pun dia masih diperbolehkan untuk bergaul dengan teman-temannya di yayasan islami At-Taqwa. Walaupun ia belum berjilbab seperti mereka karena larangan sang Papa, tapi paling tidak, hatinya belum terkunci untuk membenarkan kebenaran. Tidak seperti kemerdekaannya yang terkunci untuk mendapatkan hak memilih jalan hidup.

“Mel, tadi dr.Andika bilang kamu tidak mengikuti penelitian di laboratorium kampus. Kenapa?”
“Ee…Mmhh…tadi Mela ikut, Pa. Tapi nggak sampe selesai, Mela…Mela…,”
“Kenapa?” suara papanya meninggi. Lidahnya kelu, tak sanggup untuk mengatakan bahwa ia sangat tidak tertarik untuk mengikuti materi Biologi yang teramat sulit ia pahami hingga membuatnya jenuh. Tapi lagi-lagi ia hanya sanggup berkata,
“Mela..minta maaf, Pa.”

Papa mendekat, ada kilat kemarahan di sepasang mata elang Papanya.
”Jangan buat Papa marah..!!!” Kalimat itu seperti ancaman yang dapat membahayakan dirinya bila kesalahan itu diulangi. Ia menghela nafas. Lalu teringat bahwa ia harus mengantar teman-temannya ke suatu masjid untuk menghadiri pengajian. Bagi Melati, suatu ketenangan tersendiri bila dapat berkumpul dengan mereka untuk mendengarkan ceramah di suatu pengajian. Disana, ia seperti mendapatkan siraman rohani yang menyejukkan, sesuatu yang tidak pernah dirasakannya ketika ia berada di rumah besarnya, terlebih jika tengah berhadapan dengan Papa. Entah, sesuatu apa itu.

Sesampainya di rumah, Melati mendapati Papa di ruang tamu, “Mela, kamu masih betah kan mengantar dan menjemput teman-teman kamu yang kampungan itu?.”

Melati maklum atas pilihan kata `betah` dalam kalimat Papa. Hubungan antar teksnya jelas rapuh. Tapi ia sangat efektif untuk memberi muatan sarkastis bernada sinis sebagai bentuk penyindiran. Dalam tafsirnya, kalimat itu berarti, “Mela, kalau kamu masih mau mengantar dan menjemput teman-teman kamu dengan mobil hadiah dari Papa, kamu mau kan menuruti kemauan Papa dan mematuhi perintah Papa?”
“Masih, Pa.”
“Bagus. Kalau begitu, kamu paham kan maksud Papa?” Ia mengangguk pasrah.

***

Hujan enggan turun. Namun angin masih setia menebar gerimis di kota Metropolitan itu. Melati resah ketika tiba-tiba layar kaca di depannya memberitakan bahwa banjir telah menimpa beberapa rumah dan bangunan lainnya di dekat sungai Kalimalang. Ia teringat Aisyah dan Ifah, dua temannya yang tinggal di sebuah rumah kontrakan di daerah tersebut. Segera ia menuju tempat itu.

“Assalamualaikum,” salamnya.
“Waalaikumsalam, eh Melati. Masuk, Mel” ajak Aisyah ramah. “Duduk, Mel. Maaf ya kalo kursinya agak basah, maklum atap lagi bocor nih.” Katanya masih dengan tersenyum. Tak terlihat di wajahnya bahwa ia sedang tertimpa musibah. Tegar sekali, pikir Melati. Setelah beberapa saat berbincang hangat, akhirnya Melati menawarkan mereka untuk sementara tinggal di rumahnya. Tapi mereka menolak dengan halus. Melati mengangguk mengerti, lalu kembali ke rumahnya.

“Dari mana, Mel?” tanya Papa. “Dari daerah Kalimalang, Pa.” jawabnya.
“Ngucapin bela sungkawa buat temen-temen kamu yang kebanjiran ya?” suara Papa terdengar sinis. “Kamu nggak ingin kan melarat seperti mereka. Makanya, Papa pengen kamu jadi orang besar biar nggak menderita kayak temen-temen kamu itu. Kalo jadi seniman atau cuma sibuk di yayasan itu, masa depan kamu nggak akan cerah. Bisanya cuma minta-minta sumbangan. Jangan-jangan sumbangan yang mereka minta itu digunakan untuk kepentingan pribadi karena mereka sendiri kekurangan. Kalau sudah begitu, apa bedanya mereka dengan pengemis?”

Hatinya panas. Selama ini ia selalu menjadi ‘anak manis’ setiap mendengar kata-kata Papa. Tapi jika Papa menghina teman-temannya, ia tak bisa diam.

“Pa, mereka bukan pengemis. Mereka juga nggak cuma bisa minta-minta seperti yang Papa duga. Sebaliknya, mereka selalu memberi tanpa pamrih. `Memberi` bukan hanya bermakna materi kan, Pa? Mereka memberi ketenangan dan kedamaian, sesuatu yang amat jarang Mela temui di rumah besar Papa. Karena disini Mela hanya seperti boneka bernyawa yang nggak boleh nentuin jalan hidup.” Ucapnya pelan namun tegas. Hampir saja ia meninggikan suaranya, kalau tidak ingat nasehat teman-temannya untuk selalu menghormati Papa. Tapi…

”Plakk…!!!” sebuah tamparan mendarat di pipinya. Ia tak menyangka Papa tega menamparnya. Ia menangis, lalu pergi mengemudikan mobil secepat mungkin.

Papa tertegun, matanya bersirobok dengan foto Savitri, mendiang istrinya. Sepeninggal Savitri, hidupnya seakan menjelma hari-hari senjang yang menganga. Dan kinipun ia merasa Melati mulai mengabaikan keinginannya. Ia mulai mengembara dalam diam. Jangan-jangan memang salahnya yang selalu memaksaan kehendak. Tapi, bukankah semua yang dilakukannya semata-semata untuk kebahagiaan Melati? Namun, jika itu semua tidak membuatnya bahagia, apakah ia tetap harus memaksanya?

Bayangan mata sayu Melati yang berkaca-kaca muncul. Rasa bersalah menghiasi kembara diamnya. Papa memandang telapak tangannya yang baru saja ia daratkan ke pipi putri satu-satunya itu. Kemudian menyadari bahwa ia baru saja menciptakan ngarai yang curam diantara mereka. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa harus menyusul Melati. Segera ia menuju mobil dan mengemudikannya. Tapi…

“Tut…Tuuut.…!!!” ponselnya berbunyi..
“Halo..iya betul… Apa?!! kecelakaan? ...Melati?!!!”
Mobil yang tadinya akan ia kemudikan untuk menyusul Melati, kini segera berbelok arah menuju rumah sakit. Melati mendapat kecelakaan.

Papa menuju ruang operasi secepat mungkin, tak sabar ingin melihat wajah putri yang disayanginya. Baginya, Melati adalah bunga terindah serta anugerah paling berharga dalam hidupnya. Ia tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Namun terlambat, sampai di depan ruang operasi…

“Bagaimana kondisi putri saya, Dok?” tanyanya. Dokter itu menggeleng lemah,
“Maaf, Pak. Kondisi putri anda terlampau parah. Kami tidak mampu menyelamatkan nyawa putri anda.”

Papa terduduk lemas. Terlebih ketika ia tahu bahwa mobil yang tengah dikemudikan dengan kecepatan tinggi oleh Melati, bertabrakan dengan truk gandeng.
***

Pijar bola api meredup, awan barat menelan sinarnya perlahan. Namun laki-laki itu belum beranjak dari gundukan tanah merah dihadapannya. Rasa kehilangan menyeruak dalam hatinya. Ia menatap senja yang mulai merenta. Lalu teringat untaian kata yang pernah dibacanya di sebuah diary biru milik almarhumah putrinya…

~30 Juni 2005~
“Di suatu senja yang merenta, kutatap lukisan merpati-ku yang tengah bebas mengepakkan sayapnya di hamparan langit. Aku ingin bebas layaknya merpati itu. Kebebasan yang kuingin hanyalah kebebasan menentukan jalan hidup. Tapi… Ah, mana mungkin. Kemerdekaanku seperti terkurung dalam botol bersegel yang amat sulit dibuka karena tangan kekar Papa menggengggam tutupnya kuat-kuat…”

Mata laki-laki itu memanas. Langkahnya gontai, terseok meninggalkan pusara putrinya. Bulir bening yang ia tahan, kini bagai air bah yang tak terbendung. Pertahanannya pecah. Ia menangis. Arogansi yang lama ia bangun, runtuh sudah. Yang tersisa hanyalah sesal, hampa, serta rasa bersalah yang mencabik-cabik jiwa resahnya. Tubuhnya limbung ke tanah. Lidahnya hanya sanggup berkata, “Maafkan Papa, Nak…”. (Nie, Agustus 2005)

*tulisan ini pernah dimuat di Majalah IKPM cabang Pakistan, edisi Oktober 2005













AddThis Social Bookmark Button

Email this post


0 comments: to “ Kala Senja Merenta

 

Design by Amanda @ Blogger Buster