Mission Impossible-nya Doni
Thursday, June 14, 2007
Oleh: Aini Aryani
Sekitar dua jam lagi Doni akan tiba di kota Gudeg ini. Sudah lama sekali aku tidak melihat wajah adik semata wayangku itu sejak menikah dengan Mas Yudi yang saat ini sedang keluar kota bersama Mia, puteri kami untuk mengunjungi eyangnya. Kutata kembali meja hidangan untuk menyambut Doni. Beberapa saat kemudian kudengar suara mobil. Mobil Doni. Aku menuju halaman rumah setengah berlari. Setelah melepas lelah, kuajak ia menyantap hidangan spesial yang kusajikan. Setelah beberapa lama, kulirik Doni. Aku baru ingat kalau hari ini ulang tahunnya.
“Don, Selamet ulang tahun ya.” Doni menoleh kearahku.
“Makasih. Tapi, ucapan selamat tanpa kado kurang afdhol lho, Mbak.” Jawabnya enteng.
“Emang Pak pengusaha mau hadiah apa sih?” candaku. Saat ini Doni sudah memiliki usaha sendiri. Di Surabaya tempat ia tinggal, Doni memiliki sebuah Publishing House yang cukup sukses yang dikelolanya bersama dua teman dekatnya.
“Mmmm….apa ya.. Kira-kira menurut Mbak apa?”
“Kalau kadonya jalan-jalan keliling Jogja aja gimana?” tawarku.
“Yaa Mbak. Kalau itu sih Doni bisa keliling Jogja sendiri.”
“Lha, trus apa dong?” tanyaku. Doni terlihat berpikir. Aku jadi ikut-ikutan mikirin. Tiba-tiba satu ide muncul.
“Menurut Mbak, hadiah yang cocok buat orang single yang udah cukup umur itu…..” sengaja kupotong kata-kataku, membiarkannya menebak.
“Ooohhh…nyindir neh?” tebaknya. Aku tertawa kecil.
“Gimana…?” tawarku. Doni berpikir sebentar.
“Boleh deh. Asal Mbak yang nyariin ya..” Tantangnya.
“Iya deh, insya Allah. Emang mau kamu yang kayak gimana?”
“Doni pengen yang oke dong, Mbak”
“Yang oke gimana? Maksud Mbak kriterianya”
“Nggak banyak kok, Mbak. Doni kan suka gadis yang apa adanya. Ada cantiknya, ada menariknya, ada shalihahnya, ada pinternya, ada lembutnya, ada sabarnya, ada lincahnya, ada rajinnya, ada…”
“Walah, Doon…Don..Itu sih bukan apa adanya. Tapi ada apa-apanya.” Timpalku kesal. Doni nyengir.
“He…he. Pokoknya Doni percayain ke Mbak deh. Mbak Ajeng kan yang paling ngerti tipe yang Doni mau. Udah dulu ya Mbak. Doni mau istirahat. Capek.” Dia beranjak menuju ruang tamu, tanpa memedulikan wajah yang kutekuk berlipat-lipat.
Semenit kemudian ia kembali.
“Apa lagi?” tanyaku masih dengan raut kesal.
“Pokoknya Mbak Ajeng harus nyariin yang kayak tadi lho. Dan Doni cuma mau Mbak yang milihin. Oke?…” Katanya sambil mengerling lalu kembali ke ruang tamu.
Beginilah kalau punya adik laki-laki semata wayang yang sering punya permintaan yang kelewat ribet. Termasuk permintaannya kali ini. Minta dicariin gadis serba oke. Kriterianya yaa seperti yang dia sebut tadi. Itu baru sebagian lho. Sisanya masih banyak yang belum kesebut, gara-gara keburu aku potong. Huuhh…itu sih namanya ‘impossible mission’. Darimana aku bisa dapet gadis perfecto begitu. Kecuali kalau ada bidadari surga yang sudi singgah ke Jogja, demi nemuin si cerewet Doni. Itupun kalau bidadarinya pinter masak, pinter jahit, de-el-el. Tapi…kalaupun ada, mana mau sama si Doni yang rada slenge’an begitu…...Puzyyyiiiing dech!!!
***
Perjuanganku pun dimulai. Dari lihat-lihat daftar nama di buku agenda, dealing dengan rekan-rekan aktivis masjid, sampe kontak temen-temen lama. Akhirnya setelah beberapa lama, aku mendapat beberapa nama akhwat dari teman dekat. Kuhampiri Doni yang tengah asik di depan layar televisi. Kusodorkan beberapa foto berikut biodatanya satu-persatu.
“Yang ini namanya Atika. Anaknya ramah, cantik, dari keluarga baik-baik, lembut, pokoknya oke deh. Pinter masak lagi… Gimana?” kuperlihatkan padanya foto seorang akhwat. Doni terlihat berpikir sebentar. Lalu…
“Pendidikannya?”
“Dia anak FIKOM. Lagi nulis skripsi sekarang.”
“Pinter?”
“Mmm…kalau itu Mbak kurang tau.”
“Prestasinya?” tanyanya lagi. Aku manyun.
“Ya mana Mbak tau, Don. Kamu tuh kayak lagi nyeleksi calon karyawan aja tau nggak sih?” jawabku jengkel.
“Lho, kan Mbak sendiri yang bilang kalo ini bukan proyek main-main. Jadi kan Doni juga nggak mau maen-maen. Kalau salah pilih gimana?” belanya. Aku cuma bisa menghela nafas mendengarnya. Sebenarnya pengen banget sih ngomelin tuh anak. Tapi aku lagi males debat.
“Yaudah, ini ada yang pinter. Namanya Sinta. Ayahnya rektor. Ibunya dosen. Yang Mbak tau Sinta itu cerdas. Maklum dari keluarga pengajar. Prestasi akademiknya hampir nggak pernah ngecewain. Dia mahasiswi Ilmu Politik semester akhir. Mbak kenal cukup deket sama Sinta. Dia cantik dan aktif di kegiatan eskul kampusnya.” Jelasku. Kulirik Doni yang manggut-manggut.
“Cuman…nggak pinter masak.” Tambahku.
“Mmmm…Nggak deh, Mbak”
“Kenapa?”
“Yaa…bisa-bisa ntar Doni dimasakin internet mulu. Kan bosen.” Jawabnya enteng. Dahiku berkerut…
“Internet?” tanyaku heran.
“Iya…internet: indomie, telor, kornet….he…he..”
“Plukk…!!!.” kulempar kepalanya dengan bantal kursi. Dasar!!!
Pusing juga punya adik seperti Doni. Permintaannya sering aneh-aneh. Susahnya, hampir setiap keinginannya selalu terpenuhi. Aku akui, Doni memang dikaruniai banyak kelebihan; rupa yang bagus, otak yang encer, fisik yang kuat, mandiri dan pandai bergaul. Meskipun terkesan santai dan easy going, tapi sebenarnya dia tekun dan nggak mudah nyerah. Mottonya: “look relax, do all things”.
Doni lahir selang delapan tahun setelah kelahiranku. Kelahirannya ditunggu-tunggu oleh keluarga kami. Doni sangat disayang dan dimanja, terutama oleh Mama dan Eyang Puteri. Apa saja yang diinginkannya selalu terpenuhi, meski itu sangat sulit dijangkau. Aku juga sangat sayang pada adik semata wayangku itu. Mungkin semua itu yang membuatnya punya keinginan seperti saat ini. Sialnya, aku yang harus memenuhinya. Mumet dech!!!
“Apa kriterianya nggak bisa dikurangi lagi, Don?”
“Emmm…bisa sih.” Jawabnya. Aku sedikit senang.
“Misalnya?”
“Nggak cantik juga nggak apa-apa sih, Mbak. Yang penting menarik. Trus, nggak pinter juga nggak apa-apa, asal bisa nyambung kalau diajak diskusi dan ngobrolin hal-hal ilmiyah. Trus, nggak lembut juga it’s okay, asal sabar dan penyayang aja. Trus….”
“Aduh, Don…banyak amat sih syaratnya.”
“Masa sih?”
“Ya iyalah, itu sih namanya ngasih alternatif doang, bukan ngurangin kriteria. Huhhh...kamu itu.” rutukku sebal.
“Yaa gimana lagi, Mbak. Kriteria Doni yaa yang seperti itu.”
***
Pagi tadi aku dapat telefon dari Ratih, teman lamaku waktu aku masih kuliah dulu. Dia memberiku kabar yang membuatku sedikit punya harapan. Dia bilang punya adik sepupu yang serba oke.
“Siapa namanya, Rat?” tanyaku.
“Kamu inget nggak sama Aisyah? Itu lho, adek sepupuku yang dulu pernah aku kenalin ke kamu waktu kita jalan-jalan ke Malioboro. Inget?” tanyanya. Aku berpikir sejenak, mencoba mengingat.
“Oh…yang anaknya imut itu kan?” tebakku.
“Betul. Aisyah itu anak manis yang serba bisa lho. Dia cantik, keibuan, pinter, penyabar, rajin dan juga aktifis BEM. Makanya sekarang dia jadi pengurus inti BEM di kampusnya.”
“Memang Aisyah kuliah dimana, Rat? Fakultas apa?”
“Mahasiswi ekonomi UGM. Ntar lagi lulus. Kemaren temen-temennya bilang kalo Aisyah diprediksikan jadi calon wisudawati terbaik tahun ini. Dan selain pinter di kampus, dia juga pinter di dapur lho…” tambahnya.
“Ohya…? Pinter masak dong?”
“Pinter banget. Dia masak apa aja bisa. Dari mulai masakan Padang sampe masakan luar negeripun bisa. Malah aku sering tuh minta resep sama Aisyah. Kebetulan dia sering main ke rumahku juga. Soalnya rumah kita deketan. Oh iya, dia juga pinter jahit lho, Jeng.” Jelas Ratih. Wah, kayaknya sih yang kayak gini nih tipenya si Doni, batinku.
Setelah ngobrol beberapa lama, kututup gagang telfon setelah mengucap salam. Tak sabar aku ingin segera menyampaikan hal tadi pada Doni. Akupun segera memanggil Doni yang sedang asik ngopi di kursi depan rumah
“Doni…Don…” panggilku. Tak ada jawaban. Aku coba panggil lagi. Tetap sama: nihil.
“Dooon…Doniiii. Sini bentar, Dek!!!” panggilku lagi dengan suara yang lebih tinggi.
“Ada apa sih, Mbak. Pagi-pagi gini kok tereak-tereak.” Jawabnya sambil muncul dari balik pintu.
“Lagian dari tadi Mbak panggil, kamunya nggak jawab-jawab.”
“Ohhh…sori deh, Mbak. Tadi Doni lagi dengerin walkman. He..he…” jawabnya tak berdosa. Aku cuma bisa geleng-geleng kepala.
“Yaudah, duduk dulu.” Setelah dia duduk manis di sofa depanku, baru kuceritakan padanya semua yang kutahu tentang Aisyah.
“Mbak pernah kenal ya sama Aisyah?” tanyanya.
“Iya…Tapi kenalnya udah lama banget sih. Aisyah itu sepupunya teman Mbak. Tinggalnya di daerah Namburan Lor. Mbak masih inget-inget dikit.”
“Mbak punya fotonya?”
“Wah…nggak tuh, Don. Penasaran yaa…hayoo.”
“Mmm….nggak juga sih, cuman pengen tau aja.” Jawabnya sok acuh. Ini nih salah satu sifat si Doni yang bagiku paling menyebalkan. Gengsinya itu lho!!
“Oiya, Don. Besok lusa Mbak diundang ke rumah temen. Ada pesta kecil-kecilan katanya. Kamu temenin Mbak ya. Mbak males kalau sendirian. Bisa kan?”
“Bisa aja sih. Tapi bukan acara ibu-ibu kan? Doni males kalau itu.”
“Nggak. Acara aqiqah-an puteranya yang baru lahir kok. Jadi yang dateng nggak cuma ibu-ibu aja.”
“Oohh…iya deh. Insya Allah.”
***
Aku bersiap-siap untuk menghadiri undangan aqiqah putera pertama Ratih. Setelah merapikan jilbab, kuambil kunci mobil dan memanggil Doni. Doni baru saja keluar kamar, ketika aku hendak memanggilnya.
“Siap?”
“Siap, Mbak.”
“Nih kuncinya. Kamu yang nyetir ya” Kuserahkan kunci mobilku pada Doni.
“Siiip, Boss.” Jawabnya. Sesaat kemudian mobil kami meluncur menuju jalan Namburan Lor. Syukurlah jalanan tidak macet. Jadi kami bisa tiba secepatnya. Sesampai disana, kami disambut hangat oleh Ratih.
“Ini yang namanya Doni kan?” tebak Ratih sambil menunjuk kearah Doni.
“Iya, Rat.” Jawabku. Lalu kutoleh Doni. “Don, kenalin ini Mbak Ratih. Mbak Ratih ini dulu temen sekelas Mbak waktu masih kuliah dulu.” kukenalkan Ratih padanya. Setelah berbasa-basi sebentar, tiba-tiba Ratih melihat jam tangannya. Kemudian teringat bahwa acara akan segera dimulai.
“Jeng, saya permisi bentar ya. Acaranya mau dimulai.” Katanya.
“Oh iya, silakan.” Jawabku. Ratih beranjak menuju bayinya yang sedang digendong oleh eyangnya.
Kuperhatikan ruangan ini. Sepertinya tidak berubah. Masih sama dengan keadaan ketika aku kesini beberapa bulan lalu. Pandanganku juga tertuju kearah tempat hidangan yang sedang ditata oleh beberapa ibu-ibu dan….seorang gadis berjilbab. Cantik. Kalau kuperhatikan sekilas, sepertinya aku pernah kenal dengan gadis itu. Sesaat kemudian, kutoleh Doni. Ternyata pandangannya juga tertuju pada tempat yang sama denganku tadi.
“Ehheemm..” dehemku. Doni tak bergeming.
“Don…” panggilku sambil mengayunkan telapak tanganku di depan mukanya.
“Eh…iya, Mbak.” Jawabnya agak kaget.
“Ngelamun ya? Habis ngeliatin siapa hayo…Inget, jaga pandangan.”
“Ah. Enggak kok Mbak.” Jawabnya. Aku tersenyum.
Setelah acara inti selesai, para undangan dipersilakan menyantap hidangan yang telah disediakan panitia. Aku dan Doni duduk di sofa depan sambil menyantap hidangan makan siang. Tak lama kemudian aku melihat Ratih bersama seorang gadis cantik yang kulihat tadi. Mereka menuju tempat kami.
“Ajeng, ini lho yang namanya Aisyah. Masih inget kan?” katanya sambil mengenalkan gadis itu padaku.
“Ooohhh…iya, inget. Pantesan tadi waktu aku lihat sekilas, kok kayaknya pernah lihat dimana gitu.” Jawabku.
“Lho, memang lihat dimana tadi?” Tanya Ratih.
“Tadi, waktu Aisyah lagi sibuk menata meja hidangan sama ibu-ibu.” Jawabku.
Setelah saling berkenalan, kamipun terlibat dalam obrolan santai. Ternyata Aisyah gadis yang ramah dan humoris. Hingga kami cepat akrab dengannya meski belum kenal lama. Setelah berbincang-bincang, aku dan Doni pamit untuk pulang.
***
Sejak saat itu aku sering melihat Doni akrab berbincang dengan Aisyah di telfon. Aku ikut senang. Semoga ini menjadi akhir perjuanganku melaksanakan permintaan Doni yang menurutku impossible itu.
Pagi tadi aku terima sms dari Ratih. Siang ini dia mengajakku jalan-jalan ke tempat-tempat wisata kota bersama keluarganya. Usul bagus menurutku karena Doni sebentar lagi harus kembali ke Surabaya. Jadi, bisa sekalian mengajaknya untuk melihat-lihat keindahan kota ini sebelum dia meninggalkan Jogja. Lagipula aku juga sedang tidak sibuk.
Beberapa jam kemudian, mobil Ratih tiba di halaman rumahku. Dia mengajak kami berdua untuk pergi dengan mobilnya saja. Kebetulan suaminya menyewa mobil yang kapasitas muatannya cukup banyak, dan masih ada dua seat yang masih kosong Rekreasipun dimulai. Monumen Jogja Kembali, Borobudur, Kaliurang dan Malioboro sudah kami singgahi semuanya. Selama perjalanan dari satu tempat lain, aku kerap mendapati tingkah Doni yang sering mencari peluang untuk bisa ngobrol dengan Aisyah. Mungkin Aisyah memang seperti yang Doni inginkan, batinku sambil tersenyum dalam hati.
Hari mulai sore ketika kami hendak pulang. Sayang sekali, jalanan menjadi macet. Hampir setiap sampai di pertigaan atau di perempatan, selalu saja lampu merah. AC mobilpun bersaing dengan cuaca sore yang menjadi sangat panas. Seakan-akan matahari marah sore ini. Semua mengeluh. Gerah. Hingga tiba-tiba ….
“Hhhh….hhhhh…hhhhh” Aisyah merasakan sesak.
“Astaghfirullah…Aisyah kenapa?” tanyaku panik.
“Penyakit asma Aisyah kambuh. Kita harus cepat ke rumah sakit.” Jawab Ratih. Mobilpun segera melaju menuju RS. Sayang sekali, jalan masih sangat macet. Aisyah tampak semakin pucat. Semua menjadi panik. Doni apalagi.
“Hhhh…..hhhhh…” suara Aisyah semakin pelan. Mungkin semakin kesulitan bernafas. Padahal kaca-kaca mobil sedang terbuka.
“Sabar, Ais. Bentar lagi kita sampe ya, Sayang.” Kata Ratih mencoba menguatkan. Namun akhirnya Aisyah tak mampu bertahan. Ia pingsan.
***
Minggu berganti. Namun Aisyah masih berbaring di kasur putih rumah sakit. Aku dan Doni menjenguknya dua hari yang lalu. Ternyata Aisyah telah lama mengidap asma kronis yang sulit disembuhkan. Sejak mengetahui hal tersebut, Doni selalu terlihat murung. Jarang makan. Bahkan sering tak memperhatikan perkataanku karena tatapan matanya selalu kosong. Akhirnya, dia memutuskan untuk kembali ke Surabaya.
“Mbak, Doni berangkat dulu.” Pamitnya setelah berkemas.
“Iya, hati-hati ya. Jangan sering ngelamun lagi lho. Bahaya. Kalo adek Mbak ini jadi kesurupan gimana hayo?” candaku. Dia tertawa kecil. Tapi gurat kesedihan di wajahnya masih terlihat. Doni yang kuat dan periang, ternyata juga tak mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri. Semoga peristiwa ini dapat membuatnya berpikir lebih realistis dan mengakui bahwa manusia tidak ada yang sempurna, termasuk dirinya sendiri.
Setelah lima bulan sejak kepergian Doni, aku belum pernah mendengar kabarnya lagi. Mungkin masih sibuk. Terakhir aku terima smsnya tiga bulan lalu ketika Doni mengabarkan bahwa ia sedang bertugas keluar kota. Sengaja aku tidak menghubunginya, karena khawatir mengganggu kesibukannya. Namun, beberapa minggu kemudian dia menelfonku.
"Mbak Ajeng apa kabar?"
"Baik aja. Tumben kamu telfon. Kirain udah lupa kalo masih punya mbak di Jogja."
"Maaf Mbak. Doni kan kemaren-kemaren masih sibuk."
"Iya deh. Ngomong-ngomong kamu sendiri apa kabar?"
"Baik juga. Oh iya, Mbak kapan nih ke Surabaya. Gantian dong ngunjungin Doni."
"Mmmm…iya deh. Tapi ntar aja, kalo Mbak udah punya adek ipar. Gimana?" candaku. Tak ada respon. Aku tunggu beberapa saat. Doni masih diam. Kemudian…
"Tapi Mbak cariin buat Doni ya?" katanya.
"Lho, kan udah kemaren. Kamunya aja yang terlalu banyak pertimbangan."
"Emang Doni gitu ya Mbak?" tanyanya.
"Iya.." jawabku. "Don, orang itu pasti punya kekurangan. Siapapun itu. Termasuk diri kamu sendiri. Coba bayangin kalo orang lain nggak mau menerima dan nggak mau ngerti kekurangan kamu. Kamu juga harus sadar, berapapun banyaknya kelebihan yang kamu punyai, kamu pasti punya kekurangan. Itu pasti, Dek!" tambahku mencoba meyakinkan. Doni diam. Kuharap dia mencoba meresapi kata-kataku. Lalu…
"Mbak Ajeng bener." Katanya lirih. Aku tersenyum.
"Jadi?"
"Yaa…Mbak Ajeng cariin lagi dong." Katanya.
"Tapi kriterianya udah berubah kan?" tanyaku penuh harap.
"Masih yang kayak kemaren. Tapi…..yang nggak punya asma, he..he.." jawabnya asal. Huuuhhhh….Dasar Doni. Nyebelliiiin!!!! [Nie]
*tulisan ini pernah diterbitkan oleh Forum Lingkar Pena (FLP) wilayah Pakistan dalam buku antologi cerpen "Lembayung Sutera".
December 30, 2007 at 10:26 PM
Asik ceritanya, terkesan santai dan apa adanya.
Keep writing ukhti
Salam ukhuwah