Diary Nanda*
Wednesday, June 20, 2007
Oleh: Aini Aryani*
24 0ktober 2004
“Dy, tempat apa ini? Ups…bukankah ini rumah sakit? Kenapa aku disini?...Tapi sepertinya aku merasakan ada yang aneh dengan kakiku…Oh tidak! Ini pasti cuma mimpi, tidak…aku tidak mau menjadi cacat…..!!!”
26 Oktober 2004
“Dy, sekarang aku ingat kalau aku terjatuh dari tebing ketika aku hiking dengan tema-teman kampus kemarin lusa. Waktu terjatuh, kaki kananku menghantam batu cukup besar di bawah tebing itu. Dan akhirnya aku harus menerima kenyataan kalau kaki kananku harus diamputasi. Tapi aku belum sanggup menerima kenyataan ini, Dy. Apalagi aku akan selalu bergantung kepada kursi roda yang memuakkan ini. Sepertinya cita-citaku hanya akan jadi mimpi saja.”
27 Oktober 2004
“Tidak punya kesibukan memang membosankan, aku rindu kampus, rindu temen-temen. Padahal seminggu lagi Himmah,majalah kampusku harus sudah siap edar. Kamu tau kan, Dy, kalau aku termasuk dalam jajaran dewan redaksi-nya. Kasihan teman-teman. Sementara mereka sibuk di depan computer, aku malah hanya bisa duduk berpangku tangan di rumah. Dy, aku takut aku hanya akan jadi beban mama, aku hanya akan jadi benalu di rumah. Oh God…! Grant me a courage to face these worries”
28 Oktober 2004
“Kasihan mama, Papa dipanggil oleh-Nya ketika aku masih dikandungnya. Jatuh bangun mama membesarkan aku sendirian, beliau pasti berharap aku akan jadi orang nantinya. Apalagi mama adalah wanita yang berpendidikan tinggi, beliau mendapat gelar B.Ed di Punjab University, Pakistan. Lalu M.Ed di Damascus University. Aku pengen banget jadi dosen seperti mama. Dulu aku berkeinginan untuk mengikuti jejak mama kuliah di negeri Ali Jinah, Pakistan. Aku ingin mengambil program S2 disana. Tapi sekarang? Ahh...Impianku kandas, aku hanya akan merepotkan mama saja. Aku takut hanya akan jadi orang yang tidak berguna.”
30 Oktober 2004
“Dy, tadi pagi aku dapat surat tanpa nama pengirim,aku sempat tertegun membacanya. tau nggak apa isinya?!..
Worries are mists and fogs that disappear in front of piercing rays of determination and forceful effort. The joys of life are immense. As the best creature on this earth, human may have pleasure that know no bounds.
There could be worries, anxieties, difficulties and challenges in life. But we’re not to get wholly immersed or involved in such hurdles of life. But you’ve to free your self from the bandage inferiority and develop your self to superior being.
Siapa pengirimnya? mengapa ia tau kalau aku dihantui kekhawatiran?...”
02 November 2004
“Sehabis makan pagi, seseorang menelfon mama. Kedengarannya akrab, mungkin sebelum ini mama sudah sering kontak lewat telfon. Dari pembicaraan mereka sepertinya mama menolak suatu tawaran karena beliau seperti dihadapi dua pilihan yang membingungkan. Tapi ketika aku tanya, mama hanya tersenyum lalu berangkat kerja. Ah mama, ada apa sebenarnya?!
03 November 2004
“Waktu aku ngobrol dengan Bik Minah, tidak sengaja beliau bertanya pendapatku tentang tawaran pekerjaan untuk mama dari teman lamanya. Bik Minah pikir mama pernah membicarakannya denganku. Darinya aku tahu ternyata mama mendapat tawaran pekerjaan sebagai dosen di IIU Malaysia dari tante Firda, tante Firda pernah tinggal satu kontrakan bersama mama sewaktu kuliah di Lahore, Pakistan. Dan kini menjadi dosen di IIUM. Tapi sayang mama menolak tawaran itu.
Dy, pasti alasan mama menolak tawaran itu karena tidak tega meninggalkan aku dengan keadaan seperti ini. Mengapa aku selalu menjadi beban mama?!...”
17 November 2004
“Dy, aku kembali terbaring di ruangan serba putih ini. Kamu tau kenapa? Kemarin aku dan mama ingin sekali menikmati sore di taman kota, Tapi ketika mama membantuku menyebrang jalan raya, ada jeep super ngebut menabrak kursi rodaku yang tengah didorong mama,aku dengan kursi rodaku terseret jauh lalu aku terpelanting dari kusi roda. Mama terkejut lalu berteriak minta tolong,setelah itu aku tak ingat apa-apalagi.
Ya Allah…berikan aku kekuatan dan ketabahan…”
18 November 2004
“Jika bulan lalu,aku kehilangan kaki kananku, sekarang giliran kaki kiriku yang harus diamputasi…Dy, lengkap sudah penderitaanku. Dan impianku benar-benar hanya akan menjadi mimpi.
Kini langit itu semakin tinggi
Tangan ini semakin tak dapat meraihnya
Andai bintang sudi turun ke bumi
Kemudian tersenyum meraih tanganku
Namun senyum bintang itu pudar
Lalu ia terbang kembali ke langit
Kemudian mengabarkan pada awan
Tentang raga yang tak sempurna ini
Jika bintang tak mau mengantarku ke langit
Mungkinkah aku sampai kesana?
Kadang aku berfikir mengapa jeep itu tidak menghantam kepalaku saja? Mengapa tidak nyawaku sekalian ia renggut daripada aku harus hidup tanpa kaki…
Astaghfirullah, mengapa aku selalu mengeluh atas cobaan-Mu ya Rabb…!?
29 November 2004
“Dy, aku bosan di rumah. Syukurlah tadi pagi Aisyah, temanku menjengukku. Dari gramedia dia mampir kesini sebentar. Walaupun sebentar tapi kedatangannya membuatku terhibur. Paling tidak aku punya teman bicara. Apalagi dia membelikanku sebuah buku tebal karya Hj.Irene Handono, seorang da’iyah yang dulunya pernah menjadi biarawati.
Oh iya tadi sore si pengirim misterius itu mengirim surat lagi untukku, nih isinya…
Life is great. Life is real. Life is for living. Joys and sorrows are the two sides of a coin. If winter comes, spring can’t be far behind. After the darkest hour is the dawn, and every dark cloud has the silver lining.
Takdir datang bukan untuk disesali
Jasad sempurna bukan jaminan
Untuk bisa meraih segala asa
Namun tekad , usaha, harap dan doa
Yang dapat merubah segalanya
Karena Tuhan takkan membiarkan
Hamba-Nya yang mau bangkit
Kemudian berserah diri kepadaNya
Larut dalam ketidak berdayaan
Yakinlah.…!!!
Untuk yang kedua kalinya pengirim surat itu tak mencantumkan namanya. Aku jadi penasaran. Dy, aku harus cari tau siapa dia sebenarnya.
30 November 2004
“Kalau kupikir-pikir, bodoh sekali kalau aku hanya bisa mematung di rumah tanpa ada sesuatu yang dilakukan, sementara mama bekerja keras untukku, aku malah hanya berpangku tangan menyesali nasib. Apalagi operasi kakiku pasti menelan biaya yang tidak sedikit. Kalau aku hanya diam, berarti aku hanya akan membuat mama lebih kecewa. Benar-benar tidak adil. Tapi apa yang harus aku lakukan? Apa kemampuanku?
01 Desember 2004
“Tadi Irma, temanku menelfon aku. Dia salah satu redaksi Nadwah, majalah keputrian di kampusnya. Dia memintaku menulis karya ilmiyah tentang kristenisasi yang sedang gencar melanda negeri ini. Memang masalah itu amat membahayakan jika tidak dihalangi secepatnya, apalagi kalau orang islamnya sendiri tidak sadar kalau di sekitarnya banyak para misionaris yang mengincar. Buktinya para penduduk negeri ini yang dahulu penduduknya 80% beragama islam, sekarang sudah berkurang dari prosentase itu. Apalagi agama di Indonesia bertambah, karena konghucu sudah resmi menjadi salah satu agamanya. Anyway… aku akan berusaha menulis tentang masalah tersebut, semoga tulisanku nanti bisa bermanfaat.”
09 Desember 2004
“Ternyata buku pemberian Aisyah kemarin sangat membantuku menulis tema itu, karena bisa menjadi bahan rujukan. Dan juga menambah wawasanku sendiri tentunya. Judulnya ISLAM DIHUJAT, Menjawab buku The Islamic Invasion karya Dr. Robert Morey. Buku tersebut ditulis oleh Hj.Irene Handono. Tadi siang Lia kesini untuk mengambil tulisanku. Dia bilang Irma yang memintanya kemari.
Semoga ini menjadi awal mulaku untuk keluar dari perasaan inferior. Dan aku berharap dapat melakukan sesuatu untuk orang lain. Surat-surat tanpa nama pengirim itu sepertinya memang memberiku support, Dy…”
16 Desember 2004
“Astaghfirullah…Mengapa seperti ini jadinya? Apa memang aku yang ceroboh? Dy, salah satu redaksi Nadwah mengatakan kalau aku plagiator karena tulisanku sama persis dengan tulisan yang dimuat buletin mingguan di salah satu kampus ternama di kota ini.
Kabar yang aku terima, Irma menerima tulisanku yang sudah di print, padahal minggu lalu aku hanya memberikan disket pada Lia. Dan tulisan itu ditulis atas nama Lia. Jadi…Ya Allah, aku tidak menyangka kalau Lia tega berbuat seperti itu terhadap aku…”
17 Desember 2004
“Tadi aku coba menelfon Irma untuk menerangkan tentang apa yang terjadi, sebenarnya Irma ingin menolongku dan tetap akan memuat tulisanku di majalah Nadwah yang rencananya terbit minggu depan, tapi apa boleh buat, rekan redaksinya yang lain tidak akan setuju untuk memuat karya tulis yang sudah dimuat di media lain. Dy, aku sungguh terpukul. Mengapa langkah awalku ini tidak berjalan semudah yang kukira? Apakah aku memang tidak pantas untuk bangkit? Atau mungkin karena aku tidak mampu?.”
19 Desember 2004
“Dy, tadi Ulfa menelfonku. Dia memintaku menulis juga. Katanya ia ingin memuat tulisanku di majalah kampusku, Himmah. Kali ini aku diminta menulis tentang Kelahiran Isa Al-Masih yang Sesungguhnya, berhubung tanggal 25 nanti kaum kristiani akan merayakan Natal yang mereka yakini lahirnya Yesus Kristus. Ulfa rekanku dulu sewaktu aku masih aktif menjadi salah satu redaksi majalah Himmah. Tapi sepertinya aku masih trauma dengan kejadian kemarin, ghiroh menulisku seperti hilang, Dy.”
21 Desember 2004
“Tadi sore surat dari pengirim misterius itu datang lagi. Kali ini isinya menyindir keputus asaanku:
If your action is impeded, if it stops, even your simple problem would be enough to engulf you. But if you keep your will and energy in tack, and hold your head above water, come what may, even the biggest problem will melt away.
As human being, you must admit that being the best creature, you owe some obligation to your creator. Then, prove your self for this favour. Do the best you can. Don’t ever stop trying.
Aku tertegun membacanya. Ya, mengapa aku aku menjadi putus asa? Bukankah putus asa dari rahmatNya adalah perbuatan yang amat dibenciNya? Astaghfirullah…mengapa aku menjadi amat pesimis? Ternyata selama ini aku memandang under estimate terhadap diri sendiri. Aku harus bangkit kembali. Aku harus bisa berbuat sesuatu untuk orang lain.
Harus..!! Malam ini juga aku harus mulai menulis untuk majalah Himmah, mumpung masih ada tiga hari lagi. Semoga Allah memudahkan jalanku.
24 Desember 2004
“Tadi aku iseng ke ruang kerja mama, aku menemukan kertas-kertas yang berantakan. Ketika merapikannya, tidak sengaja aku membaca tulisan tangan mama. Tapi sepertinya aku pernah membacanya. Perlahan aku baca semua kata-kata di kertas itu. Ternyata…Ya Tuhan, bukankah kata-kata ini adalah tulisan yang sama persis dengan surat-surat yang kuterima tanpa pengirim? Berarti… Mamakah pengirim misterius itu?
26 Desember 2004
“Alhamdulillah akhirnya tulisanku kelar juga. Semoga layak muat dan menjadi da’wah bil-qalam. Dy, aku benar-benar malu. Malu pada diri sendiri, pada mama, dan yang pasti pada Allah. Mengapa aku begitu buta. Aku tidak pernah menyadari kalau Allah menganugrahkan harta yang begitu berharga untukku, seorang mama yang selalu menjadi motivatorku, sumber inspirasiku. Mom, I love you. Nanda janji tak akan mengecewakanmu lagi.[Nie]
*tulisan ini pernah dimuat di Buletin Nun, buletin yang diterbitkan Dept. Media & Informasi PPMI Pakistan, edisi Februari 2005)
February 2, 2009 at 4:38 PM
sebuah buku harian yang anda tulis cukup menggelitik dan tergelitik bagi yang mau baca. Betapa tidak memoar yang ditulis ke permukaan secara tak langsung bukan hanya milik pribadi lagi. Namun menjadi konsumsi bagi pembacanya. Palagi yang sedang tergelitik seperti penulis . Ternyata jarang lho penulis yang menulis memoar. Aku teringat sastrawan Muhammad Ali Maricar menulis cerpen dengan judul buku harian seorang penganggur.
May 5, 2009 at 8:10 PM
ceritanya sangat bagus dan enak dibaca, tapi aq usul untuk cerita yg rada miris seperti ini sebaiknya menggunakan nama orang ketiga, bukan "aku", sebab sebelum aq tahu siapa mbak yg sebenarnya, yg terbayang dalam benakku cerita di atas benar-benar terjadi pada diri mbak, aq pun sempat iba dan kasihan kepada mbak, setelah aq tahu bahwa mbak baik-baik saja dan sehat wal-afiat, hatiku jagi lega.
aqu.
May 5, 2009 at 8:13 PM
ceritanya bagus dan enak dibaca, cuma aq usul, untuk cerita yg miris seperti ini, sebaiknya menggunakan nama orang ketiga, jangan menggunakan kata "aku". sebelum aq tahu siapa mbak yg sebenarnya aq sempat iba, kasihan dan prihati kepada mbak, eh, ternyata mbak baik-baik saja dan masih sehat wal afiat. lain kali jangan gitu ya mbak, ngeri aq.
aqu.