Polri: Penangkapan Abu Dujana Perlemah Jaringan Terorisme  

Wednesday, June 13, 2007

Jakarta--RoL-- Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Sisno Adiwinoto mengatakan, penangkapan Abu Dujana di Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu pekan lalu dipastikan akan memperlemah jaringan terorisme di Indonesia. "Dengan penangkapan itu, maka dipastikan aksi mereka melemah apalagi yang tertangkap ini orang penting," kata Sisno di Jakarta, Rabu.
Ia mengungkapkan bahwa Abu Dujana sebenarnya lebih berbahaya dibandingkan Nurdin M Top yang kini masih buron dan Azahari yang telah tertembak mati di Batu, Malang Jawa Timur. "Kalau sebelumnya yang berbahaya adalah Nurdin, tapi berdasarkan keterangan yang diperoleh maka Abu Dujana lebih berbahaya lagi," katanya.
Bisa jadi, lanjut Sisno, nantinya polisi akan menemukan orang yang lebih berbahaya lagi daripada Abu Dujana. Sebelumnya, Polri menangkap Yusron di Banyumas, Sabtu pekan lalu, dan ternyata ia adalah Abu Dujana.
Terungkapnya identitas Abu Dujana itu memerlukan waktu beberapa hari karena warga kelahiran Cianjur, Jawa Barat 1969 ini memiliki banyak nama lain, diantaranya Pak Guru, Mas'ud, Ainur Bahri, Sorim, Sobirin, dan Dedi.
Pada Selasa (12/6) Pemerintah Australia dan beberapa media di negara itu telah menyebutkan bahwa Yusron adalah Abu Dujana. Namun Polri membantahnya dan sehari setelahnya barulah Polri merilis bahwa Yusron adalah Abu Dujana.
Selain menangkap Abu Duajna, Polri juga menangkap tujuh orang teman dekatnya di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tetapi, Sisno belum menyebutkan identitas dan lokasi penangkapan karena keterangannya masih diperlukan untuk menangkap tersangka lain dan mencari barang bukti. "Abu Dujana dan tujuh tersangka lain masih dibawa anggota polisi yang saat ini terus bergerak di sekitar Jawa Tengah dan Yogyakarta," katanya.
Polri berjanji akan memberikan keterangan lebih detail setelah keterangan yang valid dapat diperoleh dari tim penyidik. Abu Dujana diduga ikut menyembunyikan bahan peledak di Gresik, Jawa Timur, menyembunyikan tersangka bom Marriot, aksi terorisme di Poso, dan beberapa peledakan bom termasuk bom Bali I.
Penangkapan Abu Dujana ini merupakan kelanjutan dari penangkapan para tersangka di Sleman, Yogyakarta,akhir Pebruari 2007 lalu. Dari keterangan tersangka yang tertangkap, polisi menemukan rumah persembunyian Yusron yang tidak lain adalah Abu Dujana.
Sumber: Republika, Rabu, 13 Juni 2007 12:48:00

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


1 comments: to “ Polri: Penangkapan Abu Dujana Perlemah Jaringan Terorisme

  • Banyumili Travel
    August 26, 2007 at 12:03 AM  

    Kata terorisme dewasa ini benar-benar merupakan bagian dari momok besar bangsa Indonesia, di samping dunia atau masyarakat internasional. Terror sempat membuat gentar rakyat kecil karena kejadian yang mereka alami telah mengakibatkan banyak pihak yang dirugikan dan dikorbankan.
    Terorisme merupakan fenomena yang sangat kompleks sebagai fenomena politik, kekerasan, kaitan antara terorisme dan aksi-aksi teror tidak dapat dirumuskan dengan mudah. Tindak kekerasan itu dapat dilakukan oleh individu, kelompok maupun negara modern dan telah menjadi fokus perhatian berbagai organisasi internasional, berbagai kalangan dan negara. Terorisme adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes ) baik dalam motif, modus operandi, maupun struktur organisasi. Motivasi pelaku dapat bersumber pada alasan-alasan idiologi, kriminal, maupun politik. Sasaran atau korban bukan merupakan sasaran sesungguhnya, tetapi hanya sebagai bagian dari taktik intimidasi, ataupun propaganda untuk mencapai tujuan. Kesamaan tindakan terorisme terletak pada penggunaan kekerasan secara sistematik untuk menimbulkan ketakutan yang meluas.
    Terorisme menjadi isu global setelah terjadinya serangan teroris pada 11 September 2001 di WTC New York dan Pentagon Washington area. Tragedi 11 september 2001 ini ternyata berdampak langsung kepada umat Islam di Indonesia, karena umat Islam di Indonesia yang dikenal moderat, tiba-tiba disorot dunia karena banyak teroris yang bersarang di Indonesia.
    Ketika elemen bangsa ini bersikukuh bahwa negeri ini aman atau paling tidak bukan sarang teroris, sebuah fakta yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya terjadi, bom dengan kekuatan dahsyat meledak di Legian Bali tepatnya di Sari Club dan Paddy’s Pub pada 12 Oktober 2002 (bom Bali 1) yang menewaskan sekitar 200 orang. Teror ini merupakan teror terbesar yang dialami bangsa Indonesia di samping teror-teror lainnya, seperti kasus bom di Hotel JW Marriot di Jakarta pada 5 Agustus 2003, bom di kedutaan Australia di Kuningan Jakarta pada 9 september 2004 dan baru-baru ini terjadi lagi di Bali pada 1 Oktober 2005 di Jimbaran dan Kuta yang menewaskan puluhan orang yang tidak berdosa (bom Bali II). Dunia pun semakin yakin Indonesia memang sarang teroris dan bukan tempat yang aman untuk berpariwisata, apalagi setelah orang-orang yang diduga pelaku adalah orang Indonesia.

    Pertentangan Entitas
    Hingga saat ini pengertian terorisme masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan di dalam peraturan perundang-undangan. Amerika Serikat sendiri yang pertama kali mendeklarasikan “perang melawan teroris” belum memberikan definisi yang gamblang dan jelas sehingga semua orang bisa memaknai makna sesungguhnya tanpa dilanda keraguan, tidak merasa didiskriminasikan serta dimarjinalkan. Kejelasan definisi itu diperlukan agar tidak terjadi salah tangkap dan berakibat merugikan kepentingan banyak pihak di samping demi kepentingan atau target meresponsi Hak Asasi Manusia ( HAM ) yang seharusnya wajib dihormati oleh semua orang beradab.
    Tidaklah aneh, jika agama dijadikan alasan untuk enginterpretasikan peristiwa September 11 sebagai jawaban atas gagasan di mana serangan itu menghadirkan “jihad Islam” atau " Perang salib". sejumlah alim ulama Islam dan pembuat kebijaksanaan Amerika mengakui bahwa agama deklarasi “teroris" adalah suatu bentuk penyimpangan Islam. Namun kekaisaran Kristen (perang salib) telah dilibatkan untuk membingkai tanggapan Amerika itu. Peristiwa ini telah ditafsirkan sebagai perjuangan budaya; sebagai contoh, sebagai persilisihan peradaban, suatu perjangkitan Occidentalism, yaitu kebencian yang disamaratakan Barat atas Islam.
    Sehingga sampai sekarang tidak ada definisi terorisme yang bisa diterima secara universal. Pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sensitive karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan, penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Tidak ada Negara yang ingin dituduh mendukung teroris atau menjadi tempat perlindungan bagi kelompok-kelompok terorisme. Tidak ada pula Negara yang dianggap melakukan tindakan terorisme karena menggunakan kekuatan (milite ). Ada yang menganggap seseorang itu bisa dianggap teroris sekaligus sebagai pejuang kebebasan (pahlawan/hero). Hal ini tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Itulah sebabnya hingga saat ini belum ada definisi terorisme yang diterima secara universal. Masing-masing negara mendefinisikan terorisme menurut keyakinan dan kepentingan mereka sendiri untuk mendukung kepentingan nasionalnya.
    Sesungguhnya jika pendefinisian terorisme memuat dimensi politis tertentu, maka tidak ada salahnya menawarkan sebuah definisi yang objektif. Salah satu kemungkinannya adalah mendefinisikan terorisme bukan dari identitas pelaku atau alasan para pelaku teror, melainkan dari kualitas aksi mereka, karena pendefinisian dari pelaku dapat bertolak dan stigmatisasi. Identifikasi para aksi teroris juga banyak bergantung pada persepsi dan impretasi, namun kualitas aksi dapat diukur secara obyektif.
    Dalam definisi ini kaitan antara korban dan target terorisme dapat dihapus karena siapa korbannya tidak penting. Korban hanyalah sarana simbol teknis untuk alasan-alasan aksi mereka. Semua aksi teroris memuat tindak kekerasan atau ancaman, kekerasan kadang dengan tuntutan eksplisit. Kekerasan itu diarahkan kepada orang-orang yang tidak melakukan perlawanan. Tujuan politis dan dilaksanakan demi publisitas yang maksimal.

 

Design by Amanda @ Blogger Buster