Kontekstualisasi Syari’ah dan Relevansinya di Abad 21*  

Monday, June 11, 2007

Oleh: Aini Aryani*

Islam menuntut kepada para pemeluknya untuk mampu mentransfer suara-suara langit (wahyu) ke permukaan alam realita dengan mengangkat nilai humanisme dan melakukan reinterpretasi serta transformasi ide-ide pemikiran keagamaan ke tatanan sosial masyarakat dengan mengedepankan ke-mashlahat-an bersama, sehingga mampu menciptakan kedamaian bagi seluruh manusia.
Islam adalah agama samawi yang ashlah dan universal. Ia memiliki perangkat hukum yang sempurna dan mampu menjadi agama yang solutif, sehingga tetap relevan di abad 21 ini, bahkan hingga akhir zaman nanti.

Membangun Akidah Sebelum Syariah
Tak sedikit masyarakat Indonesia yang menuntut untuk diberlakukan undang-undang penerapan syariah Islam di daerah-daerahnya, seperti yang terjadi di Aceh, melalui Undang-Undang no.44 Tahun 1999, yang kemudian diperkuat lagi dengan terbitnya Undang-Undang no.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi NAD. Di parlemen, pada Sidang Tahunan 2002, wacana diperjuangkannya kembali Piagam Jakarta, yaitu penyebutan secara eksplisit “dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya” masuk dalam amandemen UUD 1945, menandakan bahwa perjuangan menegakkan syariah Islam di bumi Indonesia tak pernah berhenti, meskipun selalu kalah.

Yang menjadi pertanyaan; apakah untuk menerapkan sistem hukum Islam, masyarakat harus menunggu keluarnya undang-undang penerapan syariah? Atau barangkali harus menunggu sistem negara berubah menjadi Khilafah Islamiyah? Kelihatannya agak jumplang jika sebagian dari masyarakat di Tanah Air berjuang gigih demi tegaknya sistem Khilafah Islamiyah, sementara sebagian lainnya belum mendalami benar bagaimanakah Islam itu, atau seperti apakah konsep negara Islam itu. Begitu pula perjuangan dari sebagian golongan demi hadirnya undang-undang penetapan syariah secara utuh, sementara masyarakat sekitarnya belum begitu mengerti seberapa pentingkah syari`ah itu. Atau hanya menganggap syariah sebagai sebuah sistem hukum yang identik dengan ‘kekejaman’ dan tidak manusiawi.

Jika ditelusuri, turunnya wahyu tidak dimulai dari aspek syariah, melainkan aspek akidah. Kehidupan seorang muslim tidak diawali dengan sistem dan hukum, tetapi diawali dengan paradigma dan pandangan. Syariah merupakan sesuatu yang bersumber dari akidah, sementara sistem hukum Islam dihasilkan dari pandangan tentang agama. Oleh karenanya, sebelum menegakkan syariah Islam kita hendaknya berupaya terlebih dahulu mengeksplorasi prinsip-prinsip umum dalam bidang akidah, melalui penafsiran-penafsiran yang dapat memenuhi tantangan zaman. Dengan kata lain, sejatinya sistem hukum yang otentik dibangun terlebih dahulu sebelum beranjak untuk mendirikan sistem hukum selanjutnya (baca: syariah).
Jika Islam telah mendarah daging dalam diri tiap individu, pun sadar akan urgensi syariah yang terlahir dari akidah, maka bukan tidak mungkin jika masyarakat Indonesia dengan sendirinya dapat menerapkan syariah Islam secara baik dan sempurna. Hingga pada akhirnya, tanpa disadari, mereka akan merasa hidup dalam suasana negeri yang damai dan bebas melaksanakan syariah, meski sebenarnya hidup di satu negeri yang tidak menganut sistem hukum Islam. Hal ini juga dapat terbaca dari fenomena menjamurnya bank-bank syariah di Tanah Air.
Penerapan syariah dapat dimulai dari masyarakat. Untuk itu, perlu menghadirkan wajah syariah yang sesungguhnya, dengan menunjukkan bahwa ia tidak seseram yang dibayangkan. Bukankah Islam shalih li kulli zaman wa makan? Mengapa penerapan syariah Islam cenderung hanya berkisar pada potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, atau pancung bagi pembunuh? Padahal, dzahir nash (teks) yang berhubungan dengan jinayat atau hukum pidana, masih mungkin untuk diolah dan ditafsirkan secara kontekstual, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi, serta mashlahah sebagai pijakan. Bahkan dalam menjatuhkan hukuman Hudud dan Qishas, dibutuhkan syarat-syarat yang sangat ketat dan teliti.

Pelaksanaan Hukum Pidana Islam
Syariat membagi criminal action menjadi tiga klasifikasi:
Kejahatan khusus atau ‘al-Hudud’ (The Fixed Punishment)
Kejahatan terhadap jiwa dan tubuh manusia atau ‘al-Qishas’ (Retaliation)
Kejahatan lain yang hukumannya diserahkan pada keputusan menurut kebijaksanaan hakim yang disebut ‘at-Ta`zir’ (The Discretionary Punishment)
Pembunuhan termasuk jenis kedua yang diancam dengan ‘Qishas’. Namun, pembunuhan dibagi lagi menjadi tiga jenis; sengaja, tidak sengaja dan tersalah. Qishas hanya dikenal dalam pembunuhan sengaja. Dan qishaspun bukan satu-satunya hukuman untuk pembunuhan sengaja. Tetapi ada hukuman alternatif (diyat) dalam bentuk ganti rugi finansial seharga seratus ekor unta jika keluarga korban memaafkan (lihat; al-Baqoroh:178). Bahkan ada pendapat, bahwa pemberian maaf ini lebih sesuai dengan spirit Islam.
Ketika qishas hanya boleh dijatuhkan dalam jenis sengaja, maka dalam hal tidak sengaja tidak boleh dijatuhkan qishas, dan hanya ada hukuman diyat. Apalagi bagi pembunuhan tersalah, maka yang wajib adalah diyat dan kaffarat. Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, dengan SK no 100 tgl 6/11/1390 H. menetapkan besarnya diyat 27.000 riyal untuk pembunuhan sengaja dan tidak sengaja.

Jika Islam telah melindungi jiwa manusia dari kejahatan pembunuhan dengan penetapan qishas, maka dalam bobot yang sama, Islam sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman pada si tertuduh. Dalam hal ini, Islam mengakui empat faktor: 1. Kesaksian (testimony) dari dua lelaki yang tidak diragukan kejujurannya, 2. Pengakuan dari tertuduh (confession), 3. Barang bukti (circumstantial evidence), dan 4. Keyakinan hakim (the judge’s personal observation).
Tentunya, Islam sangat selektif dalam menerima kesaksian. Pun, mengingat sulitnya memenuhi tanda bukti bagi suatu kejahatan, para yuris Islam merumuskan kaidah yang sangat manusiawi berupa ‘Dar`ul Hudud bi as-Syubuhat’ (menghindari hukuman Hudud jika terdapat hal-hal yang meragukan). Saking ketatnya, sistem pembuktian Islam ini mendapat pujian dari N.J Coulson, pakar hukum asal Inggris dalam bukunya ‘A History of Islamic Law’ sebagai “pembuktian paling tinggi tingkat keyakinannya”.

Konsepsi Syari`ah dan Relevansinya
Perdebatan kontekstualisasi pemikiran keagamaan adalah upaya untuk menguak nilai-nilai Islam “shaleh li kulli zaman wa makan” yang tersembunyi dibalik teks, selaras dengan visi dan misi maqoshid syari`ah. Syariah -bukan akidah- adalah sesuatu yang dinamis, tidak statis. Kedinamisannya terletak pada kenyataan bahwa syariah menuntut implementasinya dalam kehidupan sosial masyarakat. Sedangkan sosial dan budaya masyarakat itu sendiri senantiasa berkembang dari masa ke masa, dan berbeda antara satu tempat dengan yang lain. Untuk itu, diperlukan ijtihad para yuris dengan melandaskan diri pada prinsip dan kaidah-kaidah umum dalam syariah dan berpijak pada pertimbangan mashlahah, yang pada gilirannya akan menghasilkan suatu produk hukum baru yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat. Produk hukum baru tersebut adalah hasil reinterpretasi dari hukum yang sudah ada sebelumnya, tanpa menggeser hukum-hukum ushul agama yang sifatnya konstan (tsawabit).
Dr. H. Abu Yazid, LL.M mendefinisikan ‘mashlahah’ sebagai suatu kondisi dari upaya untuk mendatangkan sesuatu yang berdampak positif (manfaat) serta menghindarkan diri dari hal-hal yang berdimensi negatif (madharat). Sedangkan Ushul (pokok) merupakan pengetahuan yang dijadikan pijakan dalam berpikir rasional untuk melahirkan hukum-hukum cabang (furu`) serta untuk menertibkan dalil-dalilnya. Disamping itu, ushul juga merupakan tolok ukur untuk menentukan mekanisme pembentukan hukum-hukum cabang agar tidak bergeser dari titik orbitnya. Ilmu ushul dapat diumpamakan sebagai fondasi sebuah bangunan, sementara ilmu furu` dapat diposisikan sebagai bangunan itu sendiri. Bangunan yang tidak dilandaskan pada fondasi yang kuat akan mengakibatkan bangunan itu goyah. Sebaliknya, fondasi yang kuat saja tanpa dibina sebuah bangunan akan sia-sia belaka dan tak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.

Dalam sejarah pemikiran hukum Islam (fiqh) sering kita temui perubahan ketetapan hukum karena pertimbangan mashlahah. Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz, ketika menjabat Gubernur di Madinah, hanya mau memberi keputusan hukum bagi gugatan penggugat bila ia dapat mengajukan dua orang saksi, atau seorang saksi yang disertai sumpah penggugat. Sumpah tersebut dimaksudkan sebagai ganti dari kedudukan seorang saksi lain. Tetapi, setelah Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah yang berkedudukan di Syam, beliau enggan memberikan ketetapan hukum atas pengajuan formula saksi yang sama. Ketika ditanya tentang pendiriannya tersebut, ia menjawab: “kami melihat orang Syam berbeda dengan orang Madinah”. Kebijakan yang diambil oleh Umar ibn Abdul Aziz ini berasas atas pertimbangan bahwa dalam menyikapi satu perkara bisa berbeda berdasarkan perubahan tempat, kondisi dan waktu.

Khalifah Umar bin Khattab juga sering menggunakan ketetapan hukum berdasarkan pertimbangan mashlahah. Hal ini bisa dilihat dari kebijakannya yang tidak menerapkan hukum potong tangan bagi pencuri. Kebijakan tersebut tentu bertentangan dengan dzahir nash (teks) al-Qur`an yang juga diperkuat dengan sunnah fi`liyah. (lihat: Islam Akomodatif, hal. 118-120).
Pertimbangan Umar ibn Khattab dengan tidak menerapkan jenis hukuman ini adalah bahwa hukuman potong tangan tidak memungkinkan untuk diterapkan dalam kondisi masyarakat pada saat itu. Dengan kata lain, mashlahah yang menjadi pijakan ketetapan hukum menuntut adanya jenis hukuman lain untuk kondisi yang serba kekurangan. Dengan demikian, bagi Khalifah Umar, yang paling asasi adalah bagaimana ruh dan ajaran Islam dapat diterapkan demi kemashlahatan umat yang ukurannya tidak sama pada setiap komunitas masyarakat. Adapun ruh dari disyariatkannya hukuman potong tangan bagi pencuri adalah agar pencuri itu jera dari perbuatan buruknya dan masyarakat luas bisa mengambil ‘ibrah (pelajaran) dari kasus tersebut.

Ibn Qayyim al-Jauziyah, seorang ulama madzhab Hanbali, pernah membuat statemen populer, yakni: “Perubahan fatwa disebabkan karena terjadinya perubahan waktu, tempat, dan keadaan”. Lebih jauh lagi beliau berkata: “Syariat Islam berdiri diatas fondasi kebijaksanaan dan kepentingan hidup ummat manusia di dunia dan akhirat. Secara keseluruhan, syariat Islam bercirikan keadilan, rahmah, mashlahah, dan hikmah. Oleh karena itu, setiap masalah yang menyimpang dari sifat keadilan menuju kezaliman, dari rahmah menuju azab, dari mashlahah menuju mafsadah, dari hikmah menuju kesia-siaan, maka masalah tersebut tidaklah termasuk dalam lingkaran syariat Islam walaupun dipaksakan untuk dimasukkannya dengan jalan takwil (lihat: I`lam al-Muwaqqi`in `an Rabb al-Alamin, Juz III, hal. 11).

Konklusi
Pembahasan mengenai syariah hampir tak ada habisnya, karena ia mencakup bagian yang sangat luas di segala bidang kehidupan. Ia tak hanya mencakup aspek hukum, karena ia dapat meluas ke arah dakwah, budaya, sosial, bahkan hingga pada masalah politik dan ekonomi.
Terkadang kita kehilangan daya untuk menangkap esensi dan substansi dari syariah itu sendiri. Kita terjebak memahami syariah hanya pada masalah fiqh dan masalah halal haram. Atau menganggapnya hanya terbatas pada masalah hukum-hukum yang identik dengan kekejaman, tidak humanis, atau bahkan melanggar HAM, hingga tak jarang menjadi stimulus tumbuhnya ‘penyakit’ islamophobia di kalangan masyarakat.

Jika demikian, mengapa penerapan syariah tidak diawali dengan membangun sistem politik, ekonomi, sosial, budaya yang mampu membawa kesejahteraan dan kemajuan bagi kita semua? Mengapa prinsip-prinsip dan nilai akidah tidak dieksplorasi terlebih dahulu? Mengapa penerapan syariah Islam tidak kita orientasikan untuk menciptakan sistem pendidikan yang mampu melahirkan anak didik yang bertanggung jawab, santun dan bermoral?
Yang menjadi hal mendasar adalah; bagaimana ruh dan ajaran Islam dapat diterapkan demi kemashlahatan ummat, dan masyarakat menjalankan etos Islam dengan penuh kesadaran, kemudian negara menegakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat yang egalitarian. Bukankah yang demikian merupakan bentuk implementasi syariah pula? Bukankah prinsip-prinsip universalisme syariah -dengan tanpa menabrak prinsip ushul agama- mampu berinteraksi dengan budaya lokal yang partikular? Dan bukankah hal itu pula yang menjadikan syariah Islam shalih li kulli zaman wa makan?
Ajaran Islam senantiasa relevan kapanpun dan dimanapun, karena ia merupakan agama yang ashlah dan universal. Sedangkan universalisme Islam itu sendiri terletak pada kemampuannya menjawab tantangan zaman. Wallahu muwaffiq `ala aqwami at-thariq.[]

*Mahasiswi program LL.B (Hons), Fakultas Syariah & Hukum IIU Islamabad, Pakistan.

Referensi:
Abdul Qadir `Udah. At-Tasyri` al-Jinaiy al-Islamy: Muqaranan bil-Qanun al-Wadh`i. Jilid I. Dar at-Turats: Kairo.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah. I`lam al-Muwaqqi`in `an Rabb al-Alamin. Juz III. Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut.
Dr. H. Abu Yazid, LL.M. Islam Akomodatif (Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama Universal). LKiS: Yogyakarta. Cetakan I, Mei 2004.
Dr. Daud Rasyid, MA. Islam & Reformasi (Telaah Kritis Atas Keruntuhan Rezim-Rezim Diktator dan Keharusan Kembali Kepada Syari`ah). Usamah Press: Jakarta. Cetakan I, September 2001.
Muhtadi Kadi dan Sukron Makmun, ed. Diskursus Kontekstualisasi Pemikiran Islam. KSW Press: Kairo. Cetakan Pertama, November 2003.
Dr. `Aidh Abdullah Al-Qarmy. Jangan Takut Hadapi Hidup. Masrukhin, ed. Cakrawala Publishing: Jakarta. Cetakan I, Juni 2005.
Dr. Muhammad Muslehuddin. Islam and Its Political System: Islamic Law. Islamic Trust International Islamic University Islamabad Pakistan, 1998.

*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Dinamika, majalah yang diterbitkan Dept. Media & Informasi PPMI Pakistan

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


 

Design by Amanda @ Blogger Buster