Irish Unfazed by Smoke-Free Pubs  

Wednesday, June 27, 2007


By: James Helm BBC Dublin correspondent

Some Irish smokers favour the ban as a way to cut downBack in early 2004, when the introduction of a smoking ban in Ireland loomed, the prospect produced incredulity abroad.

Why, it was asked, would the country with the best-known "pub culture" in the world want to change a seemingly winning formula?

For Irish pub-goers, smokeless pubs are now the norm.
It has become a well-established routine for smokers in pubs the length and breadth of the land, from smart city bars to old-fashioned rural watering holes: if they fancy a quick cigarette, they have to put down their drink and head for the street outside or the beer garden at the back.
Some say that mingling outside is a great way to make new friends, with even non-smokers risking a gulp of tobacco smoke to join in.
Others joke that the only problem about smoke-free pubs is that you get a whiff of other, less-than-attractive, aromas instead.

But more than three years after the ban on smoking in the workplace, what have the effects been?
Speak to many pub owners, and they say the ban has cost them dearly in lost trade
The Irish government and various health experts and groups argue firmly that the ban has been a huge success, offering long-term health benefits to both workers and customers.
According to a recent survey, more than one in five Irish smokers has been smoking less since the ban came into force.

Heavy fines

Compliance is said to have been very high. There have been remarkably few stories of pubs or individuals flouting the ban and enjoying a sneaky indoor smoke.
While some publicans in some bars may occasionally turn a blind eye, the threat of stiff fines has kept people in line.
At the same time, politicians and civil servants have beaten a path to Ireland to learn about how the ban was introduced and the impact it has had.

The traditional pint and smoke is long gone for the Irish
A couple of years ago the then Scottish First Minister, Jack McConnell, visited a pub in Temple Bar in Dublin to hear how the ban had gone, prior to Scotland introducing its own legislation.
Yet speak to many pub owners, and they say the ban has cost them dearly in lost trade. Some claim business has fallen by up to 30%, and that the drop in custom has caused job losses, with some publicans selling up.
Those most affected seem to be isolated country pubs and urban bars with no outside space where smokers can go.
For some parts of the pub trade the smoking ban, coupled with broader trends of people drinking more at home rather than in the pub, and of new random breath testing, has contributed to a decline.

Part of life

At the time of the ban's introduction, I was struck by how many of the smokers I interviewed were actually in favour of the ban, partly as it would help them cut down on their tobacco intake.
Others resented the idea of having to head outside for a smoke, whatever the weather, and still do, but it has simply become part of life.
So even in the most remote pubs in the west of Ireland, I have seen a similar routine being played out by customers who want to light up.
One theory is that Irish consumers are a flexible bunch - that they have taken to the introduction of the euro, to the arrival of a plastic bag tax, and the smoking ban in recent years, all with a communal shrug of the shoulders and a desire to adapt and get on with it.

sumber: http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/6238492.stm

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Urgensi Pendidikan Bagi Wanita  

Wednesday, June 20, 2007

Oleh: Aini Aryani M

Kemajuan wanita adalah sebagai ukuran kemajuan suatu negeri. Kaum ibu yang dapat menggoyangkan buaian dengan tangan kirinya, dapat pula menggoyangkan dunia dengan tangan kanannya.” ( Napoleon Bonaparte )

Boomingnya arus globalisasi, mengharuskan setiap individu untuk turut berperan aktif didalamnya, baik itu laki-laki atau perempuan. Sayangnya, statement yang menyatakan bahwa tugas wanita hanya terbatas dalam rumah semata masih mengakar sampai saat ini, hingga tidak sedikit wanita yang enggan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan alasan telah menguasai “ilmu” memasak dan berhias yang mereka anggap sebagai “pengetahuan inti seorang wanita” dan merasa tidak perlu menuntut pendidikan yang tinggi. Padahal lebih dari itu, seorang wanita dikaruniai kemampuan lebih dari sekedar menunaikan tugas domestiknya. Memang, seorang wanita tidak boleh mengabaikan rumah tangganya, dan tetap mencurahkan kasih sayang untuk keluarganya. Syed Muhammad Quthb berkata, “ Mother is the focus of attention for all the members of the family” ( Islam, The Miss understood Religion Quoted by Encyclopedia of Seerah ). Namun disamping itu, wanita memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan diri dalam masyarakat.

“Ibu adalah Al-Madrasah Al-Ula bagi putera puterinya.” Ungkapan tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa wanita hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup guna mendidik putera puterinya sebaik mungkin. Kewajiban menuntut ilmu yang tinggi tidak hanya diwajibkan bagi laki-laki, karena pendidikan juga teramat penting bagi wanita. Seorang wanita berpendidikan dapat memberikan kontribusi lebih besar bagi keluarga, masyarakat, agama, bahkan kepada bangsa. Sebagai contoh, seorang muslimah yang berasal dari Hamedan, Iran bernama Shirin Ebadi mendapat penghargaan Nobel Peace Prize di Oslo, Norwegia pada tanggal 10 Desember 2003 lalu. Ia adalah seorang pengacara muslimah yang memperjuangkan hak asasi manusia, menentang kekerasan terhadap anak-anak, serta membela wanita-wanita yang yang dirampas kemerdekaannya, sehingga mereka kembali mendapatkan hak-haknya. Dengan talenta, keramahan, dan keahliannya yang mengagumkan, Shirin Ebadi menjadi muslimah pertama di dunia yang mendapatkan penghargaan sekelas Nobel. Seorang Shirin Ebadi adalah salah satu wanita yang membuktikan bahwa wanita yang memiliki pendidikan dan kemampuan tertentu, dapat memberikan kontribusi lebih besar bagi masyarakat, agama, bahkan kepada negerinya.

Pada zaman Rasulullah SAW. dan di masa kepemimpinan khulafa`ur Rasyidin, para wanita telah banyak turut andil dalam membangun masyarakat dengan bekal pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Aisyah bint Abi Bakr, Ummu Salamah, Hafsah, dan Ummu Waraqah dikenal sebagai wanita yang banyak menghafal Al-Qur`an serta mendalami tafsirnya. Dengan pengetahuan tersebut mereka mengajari para wanita lainnya. Kemudian Ummu Habibah, Aisyah bint Abi Bakr, Fatimah Az Zahrah, Ummu Sharik, Shafiyah, Juwairiyah, Ummu Aiman, Asma bint Abi Bakr, serta Fatimah bint Qais dikenal sebagai wanita ahli syari`ah yang sering menjadi tempat bertanya seputar masalah-masalah syar`i bagi para wanita yang ingin mengetahui syariat islam secara mendalam. Ada pula wanita yang dikenal sebagai orator hebat bernama Zaraqah bint Adi. Dengan keahliannya dalam berorasi, ia mampu mengobarkan semangat tentara Ali Bin Abi Thalib di perang Shiffien ketika mereka mulai putus asa dalam berjuang.

Selain para wanita tersebut di atas, masih berderet panjang nama-nama wanita yang berperan penting dalam masyarakat di waktu itu. Seperti Asma bint Umis yang mendalami tafsir, Ummu Salamah yang mendalami Ilmu Asrar, Khansa dan Ummu Ziyad yang mendalami ilmu sastra, serta Rufadah Aslamiyah dan Ummu Muta` yang menguasai ilmu bedah dan obat-obatan. Bahkan Aisyah adalah seorang wanita yang dikenal banyak meriwayatkan hadits hingga menempati urutan keempat setelah Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan Anas bin Malik diantara para periwayat hadits. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya peranan wanita dalam banyak aspek.

Namun disamping kesibukan sosialnya diluar rumah, hendaknya wanita tidak mengabaikan kewajiban dalam rumah tangganya yang menjadi Natural and Domestic Duties for Women. Serta segala aktivitas dan pemikirannya hendaknya tidak berseteru dengan ketetapan syari`at yang ada. Karena jika berlebihan dalam hal emansipasi, dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam pemikiran feminisme radikal. Seperti Maryam Mirza yang nekat menjadi khatib sholat Ied di Toronto, Kanada pada hari raya Iedul Fitri November 2004. Atau seperti perbuatan aneh yang dilakukan oleh Prof. Dr. Aminah Wadud yang berani menjadi khatib jum`at sekaligus mengimami jamaah yang berjumlah sekitar 100 orang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang diadakan di sebuah katedral pada tanggal 18 maret 2005.

Memang, seorang filosof bernama Jean Jacques Rousseau pernah berkata, “ Man was born free but everywhere he is in chain.” Mungkin pernyataan tersebut ada benarnya. Namun, jika kita menjadikan “chain” tersebut sebagai rantai peraturan yang baik dan positif, maka “rantai” tersebut dapat mengatur kehidupan manusia dengan baik pula, sehingga mereka dapat hidup dengan damai, karena manusia memang harus hidup dengan peraturan. Dan sebaik-baik peraturan adalah aturan yang telah ditetapkan Allah dan tak satupun manusia yang berhak menghujatNya.

Mungkin sempat terlintas pertanyaan: Apakah diskriminasi jika wanita tidak diperbolehkan menjadi imam bagi laki-laki?...Adakah dinamakan suatu ketidak adilan jika shaf dalam sholat jamaah dibedakan antara laki-laki dan perempuan?...Adakah dinamakan suatu kemerdekaan jika mereka berhasil berbuat suatu kenyelenehan yang melanggar syari`at?...Sebenarnya justru mereka malah terjajah dengan pemikiran dan ambisi-ambisi yang bersumber dari pemikiran-pemikiran mereka sendiri yang ingin merubah nash-nash yang ada. Padahal, sebenarnya pengkhususan-pengkhususan tersebut bukanlah suatu diskriminasi melainkan suatu kehormatan dan hak istimewa untuk wanita.

Laki-laki dan perempuan di tempat-tempat tertentu memang dibedakan, namun tetap bernilai sama. Seorang laki-laki yang tengah mempertaruhkan nyawanya di medan perang demi membela agama Allah, dinamakan “berjihad”. Begitu pula seorang wanita yang mempertaruhkan nyawanya ketika tengah melahirkan seorang anak juga dinamakan “berjihad”. Disinilah salah satu bukti keadilan Allah. Sehingga tidak ada yang berhak under estimate atau superior atas lain. Karena perbedaan dihadapanNya adalah perbedaan tingkat ketakwaan kepadaNya. “Inna Akromakum `ind-Allahi Atqokum…”. Betapa indahnya islam.

Namun bukan berarti wanita harus merasa inferior dengan perbedaan dan batasan-batasan tersebut. Justru, dengan itu wanita mendapat kehormatan dan keistimewaan. Karena kehormatan itulah, wanita diperbolehkan untuk mengaktualisasikan dirinya baik dalam keluarga maupun masyarakat tanpa harus berseteru dengan syari`at dan nash-nash yang ada, tidak bertentangan dengan kodratnya, serta dalam batas-batas kesopanan yang akan menjaga kehormatan dirinya. Untuk merealisasikannya, dibutuhkan pendidikan yang memadai bagi wanita. Oleh karena itu, wanita diberikan hak istimewa wanita dalam menuntut ilmu sebagaimana hak yang dimiliki oleh kaum pria. Wallau a`lam bisshowab.[]

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Diary Nanda*  

Oleh: Aini Aryani*

24 0ktober 2004
“Dy, tempat apa ini? Ups…bukankah ini rumah sakit? Kenapa aku disini?...Tapi sepertinya aku merasakan ada yang aneh dengan kakiku…Oh tidak! Ini pasti cuma mimpi, tidak…aku tidak mau menjadi cacat…..!!!”

26 Oktober 2004
“Dy, sekarang aku ingat kalau aku terjatuh dari tebing ketika aku hiking dengan tema-teman kampus kemarin lusa. Waktu terjatuh, kaki kananku menghantam batu cukup besar di bawah tebing itu. Dan akhirnya aku harus menerima kenyataan kalau kaki kananku harus diamputasi. Tapi aku belum sanggup menerima kenyataan ini, Dy. Apalagi aku akan selalu bergantung kepada kursi roda yang memuakkan ini. Sepertinya cita-citaku hanya akan jadi mimpi saja.”

27 Oktober 2004
“Tidak punya kesibukan memang membosankan, aku rindu kampus, rindu temen-temen. Padahal seminggu lagi Himmah,majalah kampusku harus sudah siap edar. Kamu tau kan, Dy, kalau aku termasuk dalam jajaran dewan redaksi-nya. Kasihan teman-teman. Sementara mereka sibuk di depan computer, aku malah hanya bisa duduk berpangku tangan di rumah. Dy, aku takut aku hanya akan jadi beban mama, aku hanya akan jadi benalu di rumah. Oh God…! Grant me a courage to face these worries”

28 Oktober 2004
“Kasihan mama, Papa dipanggil oleh-Nya ketika aku masih dikandungnya. Jatuh bangun mama membesarkan aku sendirian, beliau pasti berharap aku akan jadi orang nantinya. Apalagi mama adalah wanita yang berpendidikan tinggi, beliau mendapat gelar B.Ed di Punjab University, Pakistan. Lalu M.Ed di Damascus University. Aku pengen banget jadi dosen seperti mama. Dulu aku berkeinginan untuk mengikuti jejak mama kuliah di negeri Ali Jinah, Pakistan. Aku ingin mengambil program S2 disana. Tapi sekarang? Ahh...Impianku kandas, aku hanya akan merepotkan mama saja. Aku takut hanya akan jadi orang yang tidak berguna.”

30 Oktober 2004
“Dy, tadi pagi aku dapat surat tanpa nama pengirim,aku sempat tertegun membacanya. tau nggak apa isinya?!..

Worries are mists and fogs that disappear in front of piercing rays of determination and forceful effort. The joys of life are immense. As the best creature on this earth, human may have pleasure that know no bounds.
There could be worries, anxieties, difficulties and challenges in life. But we’re not to get wholly immersed or involved in such hurdles of life. But you’ve to free your self from the bandage inferiority and develop your self to superior being.

Siapa pengirimnya? mengapa ia tau kalau aku dihantui kekhawatiran?...”

02 November 2004
“Sehabis makan pagi, seseorang menelfon mama. Kedengarannya akrab, mungkin sebelum ini mama sudah sering kontak lewat telfon. Dari pembicaraan mereka sepertinya mama menolak suatu tawaran karena beliau seperti dihadapi dua pilihan yang membingungkan. Tapi ketika aku tanya, mama hanya tersenyum lalu berangkat kerja. Ah mama, ada apa sebenarnya?!

03 November 2004
“Waktu aku ngobrol dengan Bik Minah, tidak sengaja beliau bertanya pendapatku tentang tawaran pekerjaan untuk mama dari teman lamanya. Bik Minah pikir mama pernah membicarakannya denganku. Darinya aku tahu ternyata mama mendapat tawaran pekerjaan sebagai dosen di IIU Malaysia dari tante Firda, tante Firda pernah tinggal satu kontrakan bersama mama sewaktu kuliah di Lahore, Pakistan. Dan kini menjadi dosen di IIUM. Tapi sayang mama menolak tawaran itu.
Dy, pasti alasan mama menolak tawaran itu karena tidak tega meninggalkan aku dengan keadaan seperti ini. Mengapa aku selalu menjadi beban mama?!...”

17 November 2004
“Dy, aku kembali terbaring di ruangan serba putih ini. Kamu tau kenapa? Kemarin aku dan mama ingin sekali menikmati sore di taman kota, Tapi ketika mama membantuku menyebrang jalan raya, ada jeep super ngebut menabrak kursi rodaku yang tengah didorong mama,aku dengan kursi rodaku terseret jauh lalu aku terpelanting dari kusi roda. Mama terkejut lalu berteriak minta tolong,setelah itu aku tak ingat apa-apalagi.
Ya Allah…berikan aku kekuatan dan ketabahan…”

18 November 2004
“Jika bulan lalu,aku kehilangan kaki kananku, sekarang giliran kaki kiriku yang harus diamputasi…Dy, lengkap sudah penderitaanku. Dan impianku benar-benar hanya akan menjadi mimpi.

Kini langit itu semakin tinggi
Tangan ini semakin tak dapat meraihnya
Andai bintang sudi turun ke bumi
Kemudian tersenyum meraih tanganku

Namun senyum bintang itu pudar
Lalu ia terbang kembali ke langit
Kemudian mengabarkan pada awan

Tentang raga yang tak sempurna ini

Jika bintang tak mau mengantarku ke langit
Mungkinkah aku sampai kesana?

Kadang aku berfikir mengapa jeep itu tidak menghantam kepalaku saja? Mengapa tidak nyawaku sekalian ia renggut daripada aku harus hidup tanpa kaki…

Astaghfirullah, mengapa aku selalu mengeluh atas cobaan-Mu ya Rabb…!?

29 November 2004
“Dy, aku bosan di rumah. Syukurlah tadi pagi Aisyah, temanku menjengukku. Dari gramedia dia mampir kesini sebentar. Walaupun sebentar tapi kedatangannya membuatku terhibur. Paling tidak aku punya teman bicara. Apalagi dia membelikanku sebuah buku tebal karya Hj.Irene Handono, seorang da’iyah yang dulunya pernah menjadi biarawati.

Oh iya tadi sore si pengirim misterius itu mengirim surat lagi untukku, nih isinya…

Life is great. Life is real. Life is for living. Joys and sorrows are the two sides of a coin. If winter comes, spring can’t be far behind. After the darkest hour is the dawn, and every dark cloud has the silver lining.

Takdir datang bukan untuk disesali
Jasad sempurna bukan jaminan
Untuk bisa meraih segala asa
Namun tekad , usaha, harap dan doa
Yang dapat merubah segalanya

Karena Tuhan takkan membiarkan
Hamba-Nya yang mau bangkit
Kemudian berserah diri kepadaNya
Larut dalam ketidak berdayaan
Yakinlah.…!!!

Untuk yang kedua kalinya pengirim surat itu tak mencantumkan namanya. Aku jadi penasaran. Dy, aku harus cari tau siapa dia sebenarnya.

30 November 2004
“Kalau kupikir-pikir, bodoh sekali kalau aku hanya bisa mematung di rumah tanpa ada sesuatu yang dilakukan, sementara mama bekerja keras untukku, aku malah hanya berpangku tangan menyesali nasib. Apalagi operasi kakiku pasti menelan biaya yang tidak sedikit. Kalau aku hanya diam, berarti aku hanya akan membuat mama lebih kecewa. Benar-benar tidak adil. Tapi apa yang harus aku lakukan? Apa kemampuanku?


01 Desember 2004
“Tadi Irma, temanku menelfon aku. Dia salah satu redaksi Nadwah, majalah keputrian di kampusnya. Dia memintaku menulis karya ilmiyah tentang kristenisasi yang sedang gencar melanda negeri ini. Memang masalah itu amat membahayakan jika tidak dihalangi secepatnya, apalagi kalau orang islamnya sendiri tidak sadar kalau di sekitarnya banyak para misionaris yang mengincar. Buktinya para penduduk negeri ini yang dahulu penduduknya 80% beragama islam, sekarang sudah berkurang dari prosentase itu. Apalagi agama di Indonesia bertambah, karena konghucu sudah resmi menjadi salah satu agamanya. Anyway… aku akan berusaha menulis tentang masalah tersebut, semoga tulisanku nanti bisa bermanfaat.”

09 Desember 2004
“Ternyata buku pemberian Aisyah kemarin sangat membantuku menulis tema itu, karena bisa menjadi bahan rujukan. Dan juga menambah wawasanku sendiri tentunya. Judulnya ISLAM DIHUJAT, Menjawab buku The Islamic Invasion karya Dr. Robert Morey. Buku tersebut ditulis oleh Hj.Irene Handono. Tadi siang Lia kesini untuk mengambil tulisanku. Dia bilang Irma yang memintanya kemari.
Semoga ini menjadi awal mulaku untuk keluar dari perasaan inferior. Dan aku berharap dapat melakukan sesuatu untuk orang lain. Surat-surat tanpa nama pengirim itu sepertinya memang memberiku support, Dy…”

16 Desember 2004
“Astaghfirullah…Mengapa seperti ini jadinya? Apa memang aku yang ceroboh? Dy, salah satu redaksi Nadwah mengatakan kalau aku plagiator karena tulisanku sama persis dengan tulisan yang dimuat buletin mingguan di salah satu kampus ternama di kota ini.
Kabar yang aku terima, Irma menerima tulisanku yang sudah di print, padahal minggu lalu aku hanya memberikan disket pada Lia. Dan tulisan itu ditulis atas nama Lia. Jadi…Ya Allah, aku tidak menyangka kalau Lia tega berbuat seperti itu terhadap aku…”

17 Desember 2004
“Tadi aku coba menelfon Irma untuk menerangkan tentang apa yang terjadi, sebenarnya Irma ingin menolongku dan tetap akan memuat tulisanku di majalah Nadwah yang rencananya terbit minggu depan, tapi apa boleh buat, rekan redaksinya yang lain tidak akan setuju untuk memuat karya tulis yang sudah dimuat di media lain. Dy, aku sungguh terpukul. Mengapa langkah awalku ini tidak berjalan semudah yang kukira? Apakah aku memang tidak pantas untuk bangkit? Atau mungkin karena aku tidak mampu?.”

19 Desember 2004
“Dy, tadi Ulfa menelfonku. Dia memintaku menulis juga. Katanya ia ingin memuat tulisanku di majalah kampusku, Himmah. Kali ini aku diminta menulis tentang Kelahiran Isa Al-Masih yang Sesungguhnya, berhubung tanggal 25 nanti kaum kristiani akan merayakan Natal yang mereka yakini lahirnya Yesus Kristus. Ulfa rekanku dulu sewaktu aku masih aktif menjadi salah satu redaksi majalah Himmah. Tapi sepertinya aku masih trauma dengan kejadian kemarin, ghiroh menulisku seperti hilang, Dy.”

21 Desember 2004
“Tadi sore surat dari pengirim misterius itu datang lagi. Kali ini isinya menyindir keputus asaanku:
If your action is impeded, if it stops, even your simple problem would be enough to engulf you. But if you keep your will and energy in tack, and hold your head above water, come what may, even the biggest problem will melt away.
As human being, you must admit that being the best creature, you owe some obligation to your creator. Then, prove your self for this favour. Do the best you can. Don’t ever stop trying.

Aku tertegun membacanya. Ya, mengapa aku aku menjadi putus asa? Bukankah putus asa dari rahmatNya adalah perbuatan yang amat dibenciNya? Astaghfirullah…mengapa aku menjadi amat pesimis? Ternyata selama ini aku memandang under estimate terhadap diri sendiri. Aku harus bangkit kembali. Aku harus bisa berbuat sesuatu untuk orang lain.
Harus..!! Malam ini juga aku harus mulai menulis untuk majalah Himmah, mumpung masih ada tiga hari lagi. Semoga Allah memudahkan jalanku.

24 Desember 2004
“Tadi aku iseng ke ruang kerja mama, aku menemukan kertas-kertas yang berantakan. Ketika merapikannya, tidak sengaja aku membaca tulisan tangan mama. Tapi sepertinya aku pernah membacanya. Perlahan aku baca semua kata-kata di kertas itu. Ternyata…Ya Tuhan, bukankah kata-kata ini adalah tulisan yang sama persis dengan surat-surat yang kuterima tanpa pengirim? Berarti… Mamakah pengirim misterius itu?

26 Desember 2004
“Alhamdulillah akhirnya tulisanku kelar juga. Semoga layak muat dan menjadi da’wah bil-qalam. Dy, aku benar-benar malu. Malu pada diri sendiri, pada mama, dan yang pasti pada Allah. Mengapa aku begitu buta. Aku tidak pernah menyadari kalau Allah menganugrahkan harta yang begitu berharga untukku, seorang mama yang selalu menjadi motivatorku, sumber inspirasiku. Mom, I love you. Nanda janji tak akan mengecewakanmu lagi.[Nie]

*tulisan ini pernah dimuat di Buletin Nun, buletin yang diterbitkan Dept. Media & Informasi PPMI Pakistan, edisi Februari 2005)













AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Kala Senja Merenta  

Oleh: Aini Aryani*

Malam kembali keharibaanNya, mega mengundang penjaja kebisingan. Namun bagi Melati, malam atau pagi sama saja selama ia masih disini, di tempat yang amat tak ia sukai, yang membuatnya hanya bernilai tak lebih dari boneka bernyawa. Tempat yang orang-orang sebut `rumah gedongan`, namun baginya tempat itu tak lebih dari sebuah `penjara jiwa`.

Melati bosan, jemu, dan entah apa lagi yang mengusik ketenangannya, ia butuh suasana baru. Diraihnya kanvas dan alat-alat lukis. Lalu tepat di belakang rumahnya, di lapangan luas penuh hijau, ia mulai melukis wajah merah mega yang berkolaborasi dengan hamparan langit yang mulai membiru. Ia menemukan kedamaian disana. Ia sangat menikmati itu. Hingga…

”Braakkk…!!!” lukisan basah yang tadinya berada tepat di depan wajahnya, kini berpindah tepat di depan kakinya. Seseorang telah mencampakkannya.

“Papa sudah bilang, melukis itu tidak ada gunanya. Buang waktu saja. Lebih baik kamu kembali ke kamar dan tekuni materi-materi kuliahmu,” suara Papanya membuatnya tertunduk. Baginya itu bukanlah sebuah saran, melainkan sebuah `perintah` yang harus ia tunaikan. Hatinya bergemuruh, lukisan yang ia buat sedari pagi buta, kini tak berbentuk lagi. Ingin ia memberontak. Tapi lidahnya hanya sanggup meluncurkan sebuah kata, “Baik, Pa.”
***

Dokter. Kata itu membuatnya tak habis pikir. Mengapa Papa begitu berambisi untuk menyulapnya menjadi dokter. Apakah karena Papa seorang dokter, lalu dirinya juga harus menjadi dokter? Pertanyaan itu memantul dari satu relung ke relung lain dalam jiwanya. Hingga ketika keinginan menjadi seorang seniman menggebu-gebu di hatinya, atau ketika keinginan untuk tinggal bersama teman-temannya di asrama mahasiswi sebuah yayasan islami menghampiri hatinya, Papa dengan otoriter menolak keinginan-keinginan tersebut mentah-mentah. Sebaliknya, ia justru diberi `Titah` untuk mendalami ilmu medis di salah satu Universitas bergengsi di kotanya, jurusan yang sama sekali tak ia minati.

“Mungkin karena otakku pas-pasan, makanya aku sering dapat nilai merah di pelajaran-pelajaran exacta waktu aku masih SLTP dan SMU, tapi mengapa Papa tetap memaksaku untuk menuruti kemauannya..,” batinnya.

Akhirnya harapannya terkubur begitu saja. Tapi… Tidak… harapan itu belum sepenuhnya terkubur, karena ia masih dapat melukis diam-diam dari jendela kamarnya, pun dia masih diperbolehkan untuk bergaul dengan teman-temannya di yayasan islami At-Taqwa. Walaupun ia belum berjilbab seperti mereka karena larangan sang Papa, tapi paling tidak, hatinya belum terkunci untuk membenarkan kebenaran. Tidak seperti kemerdekaannya yang terkunci untuk mendapatkan hak memilih jalan hidup.

“Mel, tadi dr.Andika bilang kamu tidak mengikuti penelitian di laboratorium kampus. Kenapa?”
“Ee…Mmhh…tadi Mela ikut, Pa. Tapi nggak sampe selesai, Mela…Mela…,”
“Kenapa?” suara papanya meninggi. Lidahnya kelu, tak sanggup untuk mengatakan bahwa ia sangat tidak tertarik untuk mengikuti materi Biologi yang teramat sulit ia pahami hingga membuatnya jenuh. Tapi lagi-lagi ia hanya sanggup berkata,
“Mela..minta maaf, Pa.”

Papa mendekat, ada kilat kemarahan di sepasang mata elang Papanya.
”Jangan buat Papa marah..!!!” Kalimat itu seperti ancaman yang dapat membahayakan dirinya bila kesalahan itu diulangi. Ia menghela nafas. Lalu teringat bahwa ia harus mengantar teman-temannya ke suatu masjid untuk menghadiri pengajian. Bagi Melati, suatu ketenangan tersendiri bila dapat berkumpul dengan mereka untuk mendengarkan ceramah di suatu pengajian. Disana, ia seperti mendapatkan siraman rohani yang menyejukkan, sesuatu yang tidak pernah dirasakannya ketika ia berada di rumah besarnya, terlebih jika tengah berhadapan dengan Papa. Entah, sesuatu apa itu.

Sesampainya di rumah, Melati mendapati Papa di ruang tamu, “Mela, kamu masih betah kan mengantar dan menjemput teman-teman kamu yang kampungan itu?.”

Melati maklum atas pilihan kata `betah` dalam kalimat Papa. Hubungan antar teksnya jelas rapuh. Tapi ia sangat efektif untuk memberi muatan sarkastis bernada sinis sebagai bentuk penyindiran. Dalam tafsirnya, kalimat itu berarti, “Mela, kalau kamu masih mau mengantar dan menjemput teman-teman kamu dengan mobil hadiah dari Papa, kamu mau kan menuruti kemauan Papa dan mematuhi perintah Papa?”
“Masih, Pa.”
“Bagus. Kalau begitu, kamu paham kan maksud Papa?” Ia mengangguk pasrah.

***

Hujan enggan turun. Namun angin masih setia menebar gerimis di kota Metropolitan itu. Melati resah ketika tiba-tiba layar kaca di depannya memberitakan bahwa banjir telah menimpa beberapa rumah dan bangunan lainnya di dekat sungai Kalimalang. Ia teringat Aisyah dan Ifah, dua temannya yang tinggal di sebuah rumah kontrakan di daerah tersebut. Segera ia menuju tempat itu.

“Assalamualaikum,” salamnya.
“Waalaikumsalam, eh Melati. Masuk, Mel” ajak Aisyah ramah. “Duduk, Mel. Maaf ya kalo kursinya agak basah, maklum atap lagi bocor nih.” Katanya masih dengan tersenyum. Tak terlihat di wajahnya bahwa ia sedang tertimpa musibah. Tegar sekali, pikir Melati. Setelah beberapa saat berbincang hangat, akhirnya Melati menawarkan mereka untuk sementara tinggal di rumahnya. Tapi mereka menolak dengan halus. Melati mengangguk mengerti, lalu kembali ke rumahnya.

“Dari mana, Mel?” tanya Papa. “Dari daerah Kalimalang, Pa.” jawabnya.
“Ngucapin bela sungkawa buat temen-temen kamu yang kebanjiran ya?” suara Papa terdengar sinis. “Kamu nggak ingin kan melarat seperti mereka. Makanya, Papa pengen kamu jadi orang besar biar nggak menderita kayak temen-temen kamu itu. Kalo jadi seniman atau cuma sibuk di yayasan itu, masa depan kamu nggak akan cerah. Bisanya cuma minta-minta sumbangan. Jangan-jangan sumbangan yang mereka minta itu digunakan untuk kepentingan pribadi karena mereka sendiri kekurangan. Kalau sudah begitu, apa bedanya mereka dengan pengemis?”

Hatinya panas. Selama ini ia selalu menjadi ‘anak manis’ setiap mendengar kata-kata Papa. Tapi jika Papa menghina teman-temannya, ia tak bisa diam.

“Pa, mereka bukan pengemis. Mereka juga nggak cuma bisa minta-minta seperti yang Papa duga. Sebaliknya, mereka selalu memberi tanpa pamrih. `Memberi` bukan hanya bermakna materi kan, Pa? Mereka memberi ketenangan dan kedamaian, sesuatu yang amat jarang Mela temui di rumah besar Papa. Karena disini Mela hanya seperti boneka bernyawa yang nggak boleh nentuin jalan hidup.” Ucapnya pelan namun tegas. Hampir saja ia meninggikan suaranya, kalau tidak ingat nasehat teman-temannya untuk selalu menghormati Papa. Tapi…

”Plakk…!!!” sebuah tamparan mendarat di pipinya. Ia tak menyangka Papa tega menamparnya. Ia menangis, lalu pergi mengemudikan mobil secepat mungkin.

Papa tertegun, matanya bersirobok dengan foto Savitri, mendiang istrinya. Sepeninggal Savitri, hidupnya seakan menjelma hari-hari senjang yang menganga. Dan kinipun ia merasa Melati mulai mengabaikan keinginannya. Ia mulai mengembara dalam diam. Jangan-jangan memang salahnya yang selalu memaksaan kehendak. Tapi, bukankah semua yang dilakukannya semata-semata untuk kebahagiaan Melati? Namun, jika itu semua tidak membuatnya bahagia, apakah ia tetap harus memaksanya?

Bayangan mata sayu Melati yang berkaca-kaca muncul. Rasa bersalah menghiasi kembara diamnya. Papa memandang telapak tangannya yang baru saja ia daratkan ke pipi putri satu-satunya itu. Kemudian menyadari bahwa ia baru saja menciptakan ngarai yang curam diantara mereka. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa harus menyusul Melati. Segera ia menuju mobil dan mengemudikannya. Tapi…

“Tut…Tuuut.…!!!” ponselnya berbunyi..
“Halo..iya betul… Apa?!! kecelakaan? ...Melati?!!!”
Mobil yang tadinya akan ia kemudikan untuk menyusul Melati, kini segera berbelok arah menuju rumah sakit. Melati mendapat kecelakaan.

Papa menuju ruang operasi secepat mungkin, tak sabar ingin melihat wajah putri yang disayanginya. Baginya, Melati adalah bunga terindah serta anugerah paling berharga dalam hidupnya. Ia tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Namun terlambat, sampai di depan ruang operasi…

“Bagaimana kondisi putri saya, Dok?” tanyanya. Dokter itu menggeleng lemah,
“Maaf, Pak. Kondisi putri anda terlampau parah. Kami tidak mampu menyelamatkan nyawa putri anda.”

Papa terduduk lemas. Terlebih ketika ia tahu bahwa mobil yang tengah dikemudikan dengan kecepatan tinggi oleh Melati, bertabrakan dengan truk gandeng.
***

Pijar bola api meredup, awan barat menelan sinarnya perlahan. Namun laki-laki itu belum beranjak dari gundukan tanah merah dihadapannya. Rasa kehilangan menyeruak dalam hatinya. Ia menatap senja yang mulai merenta. Lalu teringat untaian kata yang pernah dibacanya di sebuah diary biru milik almarhumah putrinya…

~30 Juni 2005~
“Di suatu senja yang merenta, kutatap lukisan merpati-ku yang tengah bebas mengepakkan sayapnya di hamparan langit. Aku ingin bebas layaknya merpati itu. Kebebasan yang kuingin hanyalah kebebasan menentukan jalan hidup. Tapi… Ah, mana mungkin. Kemerdekaanku seperti terkurung dalam botol bersegel yang amat sulit dibuka karena tangan kekar Papa menggengggam tutupnya kuat-kuat…”

Mata laki-laki itu memanas. Langkahnya gontai, terseok meninggalkan pusara putrinya. Bulir bening yang ia tahan, kini bagai air bah yang tak terbendung. Pertahanannya pecah. Ia menangis. Arogansi yang lama ia bangun, runtuh sudah. Yang tersisa hanyalah sesal, hampa, serta rasa bersalah yang mencabik-cabik jiwa resahnya. Tubuhnya limbung ke tanah. Lidahnya hanya sanggup berkata, “Maafkan Papa, Nak…”. (Nie, Agustus 2005)

*tulisan ini pernah dimuat di Majalah IKPM cabang Pakistan, edisi Oktober 2005













AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Mission Impossible-nya Doni  

Thursday, June 14, 2007

Oleh: Aini Aryani

Sekitar dua jam lagi Doni akan tiba di kota Gudeg ini. Sudah lama sekali aku tidak melihat wajah adik semata wayangku itu sejak menikah dengan Mas Yudi yang saat ini sedang keluar kota bersama Mia, puteri kami untuk mengunjungi eyangnya. Kutata kembali meja hidangan untuk menyambut Doni. Beberapa saat kemudian kudengar suara mobil. Mobil Doni. Aku menuju halaman rumah setengah berlari. Setelah melepas lelah, kuajak ia menyantap hidangan spesial yang kusajikan. Setelah beberapa lama, kulirik Doni. Aku baru ingat kalau hari ini ulang tahunnya.
“Don, Selamet ulang tahun ya.” Doni menoleh kearahku.
“Makasih. Tapi, ucapan selamat tanpa kado kurang afdhol lho, Mbak.” Jawabnya enteng.
“Emang Pak pengusaha mau hadiah apa sih?” candaku. Saat ini Doni sudah memiliki usaha sendiri. Di Surabaya tempat ia tinggal, Doni memiliki sebuah Publishing House yang cukup sukses yang dikelolanya bersama dua teman dekatnya.
“Mmmm….apa ya.. Kira-kira menurut Mbak apa?”
“Kalau kadonya jalan-jalan keliling Jogja aja gimana?” tawarku.
“Yaa Mbak. Kalau itu sih Doni bisa keliling Jogja sendiri.”
“Lha, trus apa dong?” tanyaku. Doni terlihat berpikir. Aku jadi ikut-ikutan mikirin. Tiba-tiba satu ide muncul.
“Menurut Mbak, hadiah yang cocok buat orang single yang udah cukup umur itu…..” sengaja kupotong kata-kataku, membiarkannya menebak.
“Ooohhh…nyindir neh?” tebaknya. Aku tertawa kecil.
“Gimana…?” tawarku. Doni berpikir sebentar.
“Boleh deh. Asal Mbak yang nyariin ya..” Tantangnya.
“Iya deh, insya Allah. Emang mau kamu yang kayak gimana?”
“Doni pengen yang oke dong, Mbak”
“Yang oke gimana? Maksud Mbak kriterianya”
“Nggak banyak kok, Mbak. Doni kan suka gadis yang apa adanya. Ada cantiknya, ada menariknya, ada shalihahnya, ada pinternya, ada lembutnya, ada sabarnya, ada lincahnya, ada rajinnya, ada…”
“Walah, Doon…Don..Itu sih bukan apa adanya. Tapi ada apa-apanya.” Timpalku kesal. Doni nyengir.
“He…he. Pokoknya Doni percayain ke Mbak deh. Mbak Ajeng kan yang paling ngerti tipe yang Doni mau. Udah dulu ya Mbak. Doni mau istirahat. Capek.” Dia beranjak menuju ruang tamu, tanpa memedulikan wajah yang kutekuk berlipat-lipat.

Semenit kemudian ia kembali.
“Apa lagi?” tanyaku masih dengan raut kesal.
“Pokoknya Mbak Ajeng harus nyariin yang kayak tadi lho. Dan Doni cuma mau Mbak yang milihin. Oke?…” Katanya sambil mengerling lalu kembali ke ruang tamu.
Beginilah kalau punya adik laki-laki semata wayang yang sering punya permintaan yang kelewat ribet. Termasuk permintaannya kali ini. Minta dicariin gadis serba oke. Kriterianya yaa seperti yang dia sebut tadi. Itu baru sebagian lho. Sisanya masih banyak yang belum kesebut, gara-gara keburu aku potong. Huuhh…itu sih namanya ‘impossible mission’. Darimana aku bisa dapet gadis perfecto begitu. Kecuali kalau ada bidadari surga yang sudi singgah ke Jogja, demi nemuin si cerewet Doni. Itupun kalau bidadarinya pinter masak, pinter jahit, de-el-el. Tapi…kalaupun ada, mana mau sama si Doni yang rada slenge’an begitu…...Puzyyyiiiing dech!!!
***

Perjuanganku pun dimulai. Dari lihat-lihat daftar nama di buku agenda, dealing dengan rekan-rekan aktivis masjid, sampe kontak temen-temen lama. Akhirnya setelah beberapa lama, aku mendapat beberapa nama akhwat dari teman dekat. Kuhampiri Doni yang tengah asik di depan layar televisi. Kusodorkan beberapa foto berikut biodatanya satu-persatu.
“Yang ini namanya Atika. Anaknya ramah, cantik, dari keluarga baik-baik, lembut, pokoknya oke deh. Pinter masak lagi… Gimana?” kuperlihatkan padanya foto seorang akhwat. Doni terlihat berpikir sebentar. Lalu…
“Pendidikannya?”
“Dia anak FIKOM. Lagi nulis skripsi sekarang.”
“Pinter?”
“Mmm…kalau itu Mbak kurang tau.”
“Prestasinya?” tanyanya lagi. Aku manyun.
“Ya mana Mbak tau, Don. Kamu tuh kayak lagi nyeleksi calon karyawan aja tau nggak sih?” jawabku jengkel.
“Lho, kan Mbak sendiri yang bilang kalo ini bukan proyek main-main. Jadi kan Doni juga nggak mau maen-maen. Kalau salah pilih gimana?” belanya. Aku cuma bisa menghela nafas mendengarnya. Sebenarnya pengen banget sih ngomelin tuh anak. Tapi aku lagi males debat.
“Yaudah, ini ada yang pinter. Namanya Sinta. Ayahnya rektor. Ibunya dosen. Yang Mbak tau Sinta itu cerdas. Maklum dari keluarga pengajar. Prestasi akademiknya hampir nggak pernah ngecewain. Dia mahasiswi Ilmu Politik semester akhir. Mbak kenal cukup deket sama Sinta. Dia cantik dan aktif di kegiatan eskul kampusnya.” Jelasku. Kulirik Doni yang manggut-manggut.
“Cuman…nggak pinter masak.” Tambahku.
“Mmmm…Nggak deh, Mbak”
“Kenapa?”
“Yaa…bisa-bisa ntar Doni dimasakin internet mulu. Kan bosen.” Jawabnya enteng. Dahiku berkerut…
“Internet?” tanyaku heran.
“Iya…internet: indomie, telor, kornet….he…he..”
“Plukk…!!!.” kulempar kepalanya dengan bantal kursi. Dasar!!!

Pusing juga punya adik seperti Doni. Permintaannya sering aneh-aneh. Susahnya, hampir setiap keinginannya selalu terpenuhi. Aku akui, Doni memang dikaruniai banyak kelebihan; rupa yang bagus, otak yang encer, fisik yang kuat, mandiri dan pandai bergaul. Meskipun terkesan santai dan easy going, tapi sebenarnya dia tekun dan nggak mudah nyerah. Mottonya: “look relax, do all things”.

Doni lahir selang delapan tahun setelah kelahiranku. Kelahirannya ditunggu-tunggu oleh keluarga kami. Doni sangat disayang dan dimanja, terutama oleh Mama dan Eyang Puteri. Apa saja yang diinginkannya selalu terpenuhi, meski itu sangat sulit dijangkau. Aku juga sangat sayang pada adik semata wayangku itu. Mungkin semua itu yang membuatnya punya keinginan seperti saat ini. Sialnya, aku yang harus memenuhinya. Mumet dech!!!
“Apa kriterianya nggak bisa dikurangi lagi, Don?”
“Emmm…bisa sih.” Jawabnya. Aku sedikit senang.
“Misalnya?”
“Nggak cantik juga nggak apa-apa sih, Mbak. Yang penting menarik. Trus, nggak pinter juga nggak apa-apa, asal bisa nyambung kalau diajak diskusi dan ngobrolin hal-hal ilmiyah. Trus, nggak lembut juga it’s okay, asal sabar dan penyayang aja. Trus….”
“Aduh, Don…banyak amat sih syaratnya.”
“Masa sih?”
“Ya iyalah, itu sih namanya ngasih alternatif doang, bukan ngurangin kriteria. Huhhh...kamu itu.” rutukku sebal.
“Yaa gimana lagi, Mbak. Kriteria Doni yaa yang seperti itu.”
***

Pagi tadi aku dapat telefon dari Ratih, teman lamaku waktu aku masih kuliah dulu. Dia memberiku kabar yang membuatku sedikit punya harapan. Dia bilang punya adik sepupu yang serba oke.
“Siapa namanya, Rat?” tanyaku.
“Kamu inget nggak sama Aisyah? Itu lho, adek sepupuku yang dulu pernah aku kenalin ke kamu waktu kita jalan-jalan ke Malioboro. Inget?” tanyanya. Aku berpikir sejenak, mencoba mengingat.
“Oh…yang anaknya imut itu kan?” tebakku.
“Betul. Aisyah itu anak manis yang serba bisa lho. Dia cantik, keibuan, pinter, penyabar, rajin dan juga aktifis BEM. Makanya sekarang dia jadi pengurus inti BEM di kampusnya.”
“Memang Aisyah kuliah dimana, Rat? Fakultas apa?”
“Mahasiswi ekonomi UGM. Ntar lagi lulus. Kemaren temen-temennya bilang kalo Aisyah diprediksikan jadi calon wisudawati terbaik tahun ini. Dan selain pinter di kampus, dia juga pinter di dapur lho…” tambahnya.
“Ohya…? Pinter masak dong?”
“Pinter banget. Dia masak apa aja bisa. Dari mulai masakan Padang sampe masakan luar negeripun bisa. Malah aku sering tuh minta resep sama Aisyah. Kebetulan dia sering main ke rumahku juga. Soalnya rumah kita deketan. Oh iya, dia juga pinter jahit lho, Jeng.” Jelas Ratih. Wah, kayaknya sih yang kayak gini nih tipenya si Doni, batinku.
Setelah ngobrol beberapa lama, kututup gagang telfon setelah mengucap salam. Tak sabar aku ingin segera menyampaikan hal tadi pada Doni. Akupun segera memanggil Doni yang sedang asik ngopi di kursi depan rumah
“Doni…Don…” panggilku. Tak ada jawaban. Aku coba panggil lagi. Tetap sama: nihil.
“Dooon…Doniiii. Sini bentar, Dek!!!” panggilku lagi dengan suara yang lebih tinggi.
“Ada apa sih, Mbak. Pagi-pagi gini kok tereak-tereak.” Jawabnya sambil muncul dari balik pintu.
“Lagian dari tadi Mbak panggil, kamunya nggak jawab-jawab.”
“Ohhh…sori deh, Mbak. Tadi Doni lagi dengerin walkman. He..he…” jawabnya tak berdosa. Aku cuma bisa geleng-geleng kepala.
“Yaudah, duduk dulu.” Setelah dia duduk manis di sofa depanku, baru kuceritakan padanya semua yang kutahu tentang Aisyah.
“Mbak pernah kenal ya sama Aisyah?” tanyanya.
“Iya…Tapi kenalnya udah lama banget sih. Aisyah itu sepupunya teman Mbak. Tinggalnya di daerah Namburan Lor. Mbak masih inget-inget dikit.”
“Mbak punya fotonya?”
“Wah…nggak tuh, Don. Penasaran yaa…hayoo.”
“Mmm….nggak juga sih, cuman pengen tau aja.” Jawabnya sok acuh. Ini nih salah satu sifat si Doni yang bagiku paling menyebalkan. Gengsinya itu lho!!
“Oiya, Don. Besok lusa Mbak diundang ke rumah temen. Ada pesta kecil-kecilan katanya. Kamu temenin Mbak ya. Mbak males kalau sendirian. Bisa kan?”
“Bisa aja sih. Tapi bukan acara ibu-ibu kan? Doni males kalau itu.”
“Nggak. Acara aqiqah-an puteranya yang baru lahir kok. Jadi yang dateng nggak cuma ibu-ibu aja.”
“Oohh…iya deh. Insya Allah.”
***

Aku bersiap-siap untuk menghadiri undangan aqiqah putera pertama Ratih. Setelah merapikan jilbab, kuambil kunci mobil dan memanggil Doni. Doni baru saja keluar kamar, ketika aku hendak memanggilnya.
“Siap?”
“Siap, Mbak.”
“Nih kuncinya. Kamu yang nyetir ya” Kuserahkan kunci mobilku pada Doni.
“Siiip, Boss.” Jawabnya. Sesaat kemudian mobil kami meluncur menuju jalan Namburan Lor. Syukurlah jalanan tidak macet. Jadi kami bisa tiba secepatnya. Sesampai disana, kami disambut hangat oleh Ratih.
“Ini yang namanya Doni kan?” tebak Ratih sambil menunjuk kearah Doni.
“Iya, Rat.” Jawabku. Lalu kutoleh Doni. “Don, kenalin ini Mbak Ratih. Mbak Ratih ini dulu temen sekelas Mbak waktu masih kuliah dulu.” kukenalkan Ratih padanya. Setelah berbasa-basi sebentar, tiba-tiba Ratih melihat jam tangannya. Kemudian teringat bahwa acara akan segera dimulai.
“Jeng, saya permisi bentar ya. Acaranya mau dimulai.” Katanya.
“Oh iya, silakan.” Jawabku. Ratih beranjak menuju bayinya yang sedang digendong oleh eyangnya.
Kuperhatikan ruangan ini. Sepertinya tidak berubah. Masih sama dengan keadaan ketika aku kesini beberapa bulan lalu. Pandanganku juga tertuju kearah tempat hidangan yang sedang ditata oleh beberapa ibu-ibu dan….seorang gadis berjilbab. Cantik. Kalau kuperhatikan sekilas, sepertinya aku pernah kenal dengan gadis itu. Sesaat kemudian, kutoleh Doni. Ternyata pandangannya juga tertuju pada tempat yang sama denganku tadi.
“Ehheemm..” dehemku. Doni tak bergeming.
“Don…” panggilku sambil mengayunkan telapak tanganku di depan mukanya.
“Eh…iya, Mbak.” Jawabnya agak kaget.
“Ngelamun ya? Habis ngeliatin siapa hayo…Inget, jaga pandangan.”
“Ah. Enggak kok Mbak.” Jawabnya. Aku tersenyum.
Setelah acara inti selesai, para undangan dipersilakan menyantap hidangan yang telah disediakan panitia. Aku dan Doni duduk di sofa depan sambil menyantap hidangan makan siang. Tak lama kemudian aku melihat Ratih bersama seorang gadis cantik yang kulihat tadi. Mereka menuju tempat kami.
“Ajeng, ini lho yang namanya Aisyah. Masih inget kan?” katanya sambil mengenalkan gadis itu padaku.
“Ooohhh…iya, inget. Pantesan tadi waktu aku lihat sekilas, kok kayaknya pernah lihat dimana gitu.” Jawabku.
“Lho, memang lihat dimana tadi?” Tanya Ratih.
“Tadi, waktu Aisyah lagi sibuk menata meja hidangan sama ibu-ibu.” Jawabku.
Setelah saling berkenalan, kamipun terlibat dalam obrolan santai. Ternyata Aisyah gadis yang ramah dan humoris. Hingga kami cepat akrab dengannya meski belum kenal lama. Setelah berbincang-bincang, aku dan Doni pamit untuk pulang.
***

Sejak saat itu aku sering melihat Doni akrab berbincang dengan Aisyah di telfon. Aku ikut senang. Semoga ini menjadi akhir perjuanganku melaksanakan permintaan Doni yang menurutku impossible itu.
Pagi tadi aku terima sms dari Ratih. Siang ini dia mengajakku jalan-jalan ke tempat-tempat wisata kota bersama keluarganya. Usul bagus menurutku karena Doni sebentar lagi harus kembali ke Surabaya. Jadi, bisa sekalian mengajaknya untuk melihat-lihat keindahan kota ini sebelum dia meninggalkan Jogja. Lagipula aku juga sedang tidak sibuk.
Beberapa jam kemudian, mobil Ratih tiba di halaman rumahku. Dia mengajak kami berdua untuk pergi dengan mobilnya saja. Kebetulan suaminya menyewa mobil yang kapasitas muatannya cukup banyak, dan masih ada dua seat yang masih kosong Rekreasipun dimulai. Monumen Jogja Kembali, Borobudur, Kaliurang dan Malioboro sudah kami singgahi semuanya. Selama perjalanan dari satu tempat lain, aku kerap mendapati tingkah Doni yang sering mencari peluang untuk bisa ngobrol dengan Aisyah. Mungkin Aisyah memang seperti yang Doni inginkan, batinku sambil tersenyum dalam hati.
Hari mulai sore ketika kami hendak pulang. Sayang sekali, jalanan menjadi macet. Hampir setiap sampai di pertigaan atau di perempatan, selalu saja lampu merah. AC mobilpun bersaing dengan cuaca sore yang menjadi sangat panas. Seakan-akan matahari marah sore ini. Semua mengeluh. Gerah. Hingga tiba-tiba ….
“Hhhh….hhhhh…hhhhh” Aisyah merasakan sesak.
“Astaghfirullah…Aisyah kenapa?” tanyaku panik.
“Penyakit asma Aisyah kambuh. Kita harus cepat ke rumah sakit.” Jawab Ratih. Mobilpun segera melaju menuju RS. Sayang sekali, jalan masih sangat macet. Aisyah tampak semakin pucat. Semua menjadi panik. Doni apalagi.
“Hhhh…..hhhhh…” suara Aisyah semakin pelan. Mungkin semakin kesulitan bernafas. Padahal kaca-kaca mobil sedang terbuka.
“Sabar, Ais. Bentar lagi kita sampe ya, Sayang.” Kata Ratih mencoba menguatkan. Namun akhirnya Aisyah tak mampu bertahan. Ia pingsan.
***
Minggu berganti. Namun Aisyah masih berbaring di kasur putih rumah sakit. Aku dan Doni menjenguknya dua hari yang lalu. Ternyata Aisyah telah lama mengidap asma kronis yang sulit disembuhkan. Sejak mengetahui hal tersebut, Doni selalu terlihat murung. Jarang makan. Bahkan sering tak memperhatikan perkataanku karena tatapan matanya selalu kosong. Akhirnya, dia memutuskan untuk kembali ke Surabaya.
“Mbak, Doni berangkat dulu.” Pamitnya setelah berkemas.
“Iya, hati-hati ya. Jangan sering ngelamun lagi lho. Bahaya. Kalo adek Mbak ini jadi kesurupan gimana hayo?” candaku. Dia tertawa kecil. Tapi gurat kesedihan di wajahnya masih terlihat. Doni yang kuat dan periang, ternyata juga tak mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri. Semoga peristiwa ini dapat membuatnya berpikir lebih realistis dan mengakui bahwa manusia tidak ada yang sempurna, termasuk dirinya sendiri.
Setelah lima bulan sejak kepergian Doni, aku belum pernah mendengar kabarnya lagi. Mungkin masih sibuk. Terakhir aku terima smsnya tiga bulan lalu ketika Doni mengabarkan bahwa ia sedang bertugas keluar kota. Sengaja aku tidak menghubunginya, karena khawatir mengganggu kesibukannya. Namun, beberapa minggu kemudian dia menelfonku.
"Mbak Ajeng apa kabar?"
"Baik aja. Tumben kamu telfon. Kirain udah lupa kalo masih punya mbak di Jogja."
"Maaf Mbak. Doni kan kemaren-kemaren masih sibuk."
"Iya deh. Ngomong-ngomong kamu sendiri apa kabar?"
"Baik juga. Oh iya, Mbak kapan nih ke Surabaya. Gantian dong ngunjungin Doni."
"Mmmm…iya deh. Tapi ntar aja, kalo Mbak udah punya adek ipar. Gimana?" candaku. Tak ada respon. Aku tunggu beberapa saat. Doni masih diam. Kemudian…
"Tapi Mbak cariin buat Doni ya?" katanya.
"Lho, kan udah kemaren. Kamunya aja yang terlalu banyak pertimbangan."
"Emang Doni gitu ya Mbak?" tanyanya.
"Iya.." jawabku. "Don, orang itu pasti punya kekurangan. Siapapun itu. Termasuk diri kamu sendiri. Coba bayangin kalo orang lain nggak mau menerima dan nggak mau ngerti kekurangan kamu. Kamu juga harus sadar, berapapun banyaknya kelebihan yang kamu punyai, kamu pasti punya kekurangan. Itu pasti, Dek!" tambahku mencoba meyakinkan. Doni diam. Kuharap dia mencoba meresapi kata-kataku. Lalu…
"Mbak Ajeng bener." Katanya lirih. Aku tersenyum.
"Jadi?"
"Yaa…Mbak Ajeng cariin lagi dong." Katanya.
"Tapi kriterianya udah berubah kan?" tanyaku penuh harap.
"Masih yang kayak kemaren. Tapi…..yang nggak punya asma, he..he.." jawabnya asal. Huuuhhhh….Dasar Doni. Nyebelliiiin!!!! [Nie]

*tulisan ini pernah diterbitkan oleh Forum Lingkar Pena (FLP) wilayah Pakistan dalam buku antologi cerpen "Lembayung Sutera".



AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Ketika Angin Atheisme Berhembus*  

Wednesday, June 13, 2007

Oleh: Aini Aryani*

Petang tak lagi jingga. Mendung menempatinya. Lalu perlahan menyulapnya dalam warna empedu. Pekat. Hitam menghalangi cerahnya. Ia mulai menerawang. Jauh…

Parmenides, George Wilhelm Friedrich Hegel, Karl Marx, Mao Tse tung, Friedrich Engels, Vladimir Ilyich Lenin, Joseph Stalin, Leon Trotsky, Ludwig Feuerbach, Bruno Bauer, dan berderet nama lain telah berhasil menjamah keyakinannya. Menderanya dalam keraguan. Bahkan mungkin merenggutnya. Yang tersisa hanyalah secuil. Mungkin. Ia melihat nama-nama itu dalam deretan para manusia yang berjejer dalam sebuah advokasi. Advokasi pengusung bendera tanpa tiang. Propaganda keyakinan tanpa iman.

Adalah Iman, satu mustika yang pernah dimilikinya. Dulu. Kini…?? Ah, ia tak tahu. Bukan karena tak mau tahu. Namun sungguh, isi benak yang pernah dipertahankannya telah mengangkasa. Ingin ia meraihnya kembali. Gagal. Ia kini telah menjadi begitu berjarak. Telampau jauh.Bagai nelayan kehilangan dayung atau si buta kehilangan tongkat, ia tak mampu melanjutkan langkah, hanya angin yang kemudian membawanya menuju arus Atheisme.“Tuhan”….Satu kata itu memunculkan tanya di benaknya. Benarkah Dia ada? Ataukah seperti doktrin yang mereka percayai bahwa Tuhan hanya ada dalam otak manusia? Benarkah bahwa Dia tak nyata?Pernah ia didera rasa bimbang yang sangat oleh satu kalimat yang meniupkan ragu dalam jiwanya, “Coba kau buka cakrawala berpikirmu!! Teori-teori langit terlalu jauh untuk menjawab segala tanya. Kita harus logis, Kawan.” Uffhh…Benarkah segala sesuatu harus selalu logis dan didasarkan pada akal manusia? Jika tidak, mengapa Tuhan menciptakan akal yang Dia tempatkan di otak manusia, tempat yang begitu sentralis?Pertanyaan-pertanyaan itu sekilas muncul. Terlebih ketika jiwanya digugah oleh sebuah teori ‘Rational Structure of the Absolute’ yang dinyatakan Hegel, seorang filosof Jerman yang terkenal hebat itu; “What is rational is real and what is real is rational…Reason is the Sovereign of the world.”

Hhhh…ia merasa goyah. Namun…tiba-tiba ia teringat lagi tentang satu uraian seseorang yang dulu pernah ia kagumi. Masih segar di benaknya, “Tak semua harus berdasarkan akal. Otak manusia terlampau terbatas untuk menjangkau segalanya.”Bimbang lagi-lagi mendera. Mengerutkan dahinya. Membentuk tiga garis vertikal diantara kedua alisnya, hingga menautkan dua alis itu diatas sepasang mata elangnya. Ia menengadah ke atas. Ke arah atap bumi. Benar-benar ia telah gelap kini. Bola api penghias petang telah tertelan bulat-bulat oleh mulut malam yang tak sabar ingin menebar pesona dengan menghadirkan satu sabit. Sayang sekali, sang sabit tak mampu saingi kelamnya, hingga pesona itu tak ubahnya menjadi suasana pekat. Gelap. Segelap hatinya yang gundah. Tapi tunggu….bukankah ada nuansa indah dalam gelap??...Elegansi. Ya, tiba-tiba ada yang menggelitik hatinya untuk menyaksikan sekawanan bintang, juga merenungi galaksi lain dalam pesona gelap malam itu. Harmonisasi galaksi.

Jika segala sesuatu harus selalu didasarkan pada rasio, lalu mengapakah harmonisasi yang tercipta antar galaksi di angkasa begitu luar biasa? Tak adakah pengaturnya? Atau jika ada, lebih dari satukah Ia?...Mustahil..!!!Jika Tuhan hanya ada dalam otak manusia, lalu bagaimanakah cara menjelaskan sebab tenggelamnya kapal Titanic yang katanya anti tenggelam itu? Bagaimana menjelaskan begitu banyak rencana detail yang dibuat manusia kemudian hancur dalam sekejap?Jika memang manusia tak butuh Tuhan untuk menuntun arah hidupnya, mengapa ilmu psikologi selalu berkembang ke arah yang menuntun manusia menjadi baik? Mengapa orang-orang cerdas bisa berkumpul bunuh diri dalam sekte Heaven Gate?Kini, tak satupun darinya dapat ia ingkari. Akhirnya, ia tiba pada satu keyakinan. Dia memang ada. Pasti. Sang Maha Mengatur. Pencipta segala yang dikehendakiNya. Segalanya tak lebih dari ‘makhluk’ yang suatu saat akan berakhir pada satu titik keniscayaan.[Nie]

*tulisan ini pernah diterbitkan oleh An-Nahdlah, buletin PCI-NU cabang Pakistan




AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Polri: Penangkapan Abu Dujana Perlemah Jaringan Terorisme  

Jakarta--RoL-- Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Sisno Adiwinoto mengatakan, penangkapan Abu Dujana di Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu pekan lalu dipastikan akan memperlemah jaringan terorisme di Indonesia. "Dengan penangkapan itu, maka dipastikan aksi mereka melemah apalagi yang tertangkap ini orang penting," kata Sisno di Jakarta, Rabu.
Ia mengungkapkan bahwa Abu Dujana sebenarnya lebih berbahaya dibandingkan Nurdin M Top yang kini masih buron dan Azahari yang telah tertembak mati di Batu, Malang Jawa Timur. "Kalau sebelumnya yang berbahaya adalah Nurdin, tapi berdasarkan keterangan yang diperoleh maka Abu Dujana lebih berbahaya lagi," katanya.
Bisa jadi, lanjut Sisno, nantinya polisi akan menemukan orang yang lebih berbahaya lagi daripada Abu Dujana. Sebelumnya, Polri menangkap Yusron di Banyumas, Sabtu pekan lalu, dan ternyata ia adalah Abu Dujana.
Terungkapnya identitas Abu Dujana itu memerlukan waktu beberapa hari karena warga kelahiran Cianjur, Jawa Barat 1969 ini memiliki banyak nama lain, diantaranya Pak Guru, Mas'ud, Ainur Bahri, Sorim, Sobirin, dan Dedi.
Pada Selasa (12/6) Pemerintah Australia dan beberapa media di negara itu telah menyebutkan bahwa Yusron adalah Abu Dujana. Namun Polri membantahnya dan sehari setelahnya barulah Polri merilis bahwa Yusron adalah Abu Dujana.
Selain menangkap Abu Duajna, Polri juga menangkap tujuh orang teman dekatnya di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tetapi, Sisno belum menyebutkan identitas dan lokasi penangkapan karena keterangannya masih diperlukan untuk menangkap tersangka lain dan mencari barang bukti. "Abu Dujana dan tujuh tersangka lain masih dibawa anggota polisi yang saat ini terus bergerak di sekitar Jawa Tengah dan Yogyakarta," katanya.
Polri berjanji akan memberikan keterangan lebih detail setelah keterangan yang valid dapat diperoleh dari tim penyidik. Abu Dujana diduga ikut menyembunyikan bahan peledak di Gresik, Jawa Timur, menyembunyikan tersangka bom Marriot, aksi terorisme di Poso, dan beberapa peledakan bom termasuk bom Bali I.
Penangkapan Abu Dujana ini merupakan kelanjutan dari penangkapan para tersangka di Sleman, Yogyakarta,akhir Pebruari 2007 lalu. Dari keterangan tersangka yang tertangkap, polisi menemukan rumah persembunyian Yusron yang tidak lain adalah Abu Dujana.
Sumber: Republika, Rabu, 13 Juni 2007 12:48:00

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


Kontekstualisasi Syari’ah dan Relevansinya di Abad 21*  

Monday, June 11, 2007

Oleh: Aini Aryani*

Islam menuntut kepada para pemeluknya untuk mampu mentransfer suara-suara langit (wahyu) ke permukaan alam realita dengan mengangkat nilai humanisme dan melakukan reinterpretasi serta transformasi ide-ide pemikiran keagamaan ke tatanan sosial masyarakat dengan mengedepankan ke-mashlahat-an bersama, sehingga mampu menciptakan kedamaian bagi seluruh manusia.
Islam adalah agama samawi yang ashlah dan universal. Ia memiliki perangkat hukum yang sempurna dan mampu menjadi agama yang solutif, sehingga tetap relevan di abad 21 ini, bahkan hingga akhir zaman nanti.

Membangun Akidah Sebelum Syariah
Tak sedikit masyarakat Indonesia yang menuntut untuk diberlakukan undang-undang penerapan syariah Islam di daerah-daerahnya, seperti yang terjadi di Aceh, melalui Undang-Undang no.44 Tahun 1999, yang kemudian diperkuat lagi dengan terbitnya Undang-Undang no.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi NAD. Di parlemen, pada Sidang Tahunan 2002, wacana diperjuangkannya kembali Piagam Jakarta, yaitu penyebutan secara eksplisit “dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya” masuk dalam amandemen UUD 1945, menandakan bahwa perjuangan menegakkan syariah Islam di bumi Indonesia tak pernah berhenti, meskipun selalu kalah.

Yang menjadi pertanyaan; apakah untuk menerapkan sistem hukum Islam, masyarakat harus menunggu keluarnya undang-undang penerapan syariah? Atau barangkali harus menunggu sistem negara berubah menjadi Khilafah Islamiyah? Kelihatannya agak jumplang jika sebagian dari masyarakat di Tanah Air berjuang gigih demi tegaknya sistem Khilafah Islamiyah, sementara sebagian lainnya belum mendalami benar bagaimanakah Islam itu, atau seperti apakah konsep negara Islam itu. Begitu pula perjuangan dari sebagian golongan demi hadirnya undang-undang penetapan syariah secara utuh, sementara masyarakat sekitarnya belum begitu mengerti seberapa pentingkah syari`ah itu. Atau hanya menganggap syariah sebagai sebuah sistem hukum yang identik dengan ‘kekejaman’ dan tidak manusiawi.

Jika ditelusuri, turunnya wahyu tidak dimulai dari aspek syariah, melainkan aspek akidah. Kehidupan seorang muslim tidak diawali dengan sistem dan hukum, tetapi diawali dengan paradigma dan pandangan. Syariah merupakan sesuatu yang bersumber dari akidah, sementara sistem hukum Islam dihasilkan dari pandangan tentang agama. Oleh karenanya, sebelum menegakkan syariah Islam kita hendaknya berupaya terlebih dahulu mengeksplorasi prinsip-prinsip umum dalam bidang akidah, melalui penafsiran-penafsiran yang dapat memenuhi tantangan zaman. Dengan kata lain, sejatinya sistem hukum yang otentik dibangun terlebih dahulu sebelum beranjak untuk mendirikan sistem hukum selanjutnya (baca: syariah).
Jika Islam telah mendarah daging dalam diri tiap individu, pun sadar akan urgensi syariah yang terlahir dari akidah, maka bukan tidak mungkin jika masyarakat Indonesia dengan sendirinya dapat menerapkan syariah Islam secara baik dan sempurna. Hingga pada akhirnya, tanpa disadari, mereka akan merasa hidup dalam suasana negeri yang damai dan bebas melaksanakan syariah, meski sebenarnya hidup di satu negeri yang tidak menganut sistem hukum Islam. Hal ini juga dapat terbaca dari fenomena menjamurnya bank-bank syariah di Tanah Air.
Penerapan syariah dapat dimulai dari masyarakat. Untuk itu, perlu menghadirkan wajah syariah yang sesungguhnya, dengan menunjukkan bahwa ia tidak seseram yang dibayangkan. Bukankah Islam shalih li kulli zaman wa makan? Mengapa penerapan syariah Islam cenderung hanya berkisar pada potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, atau pancung bagi pembunuh? Padahal, dzahir nash (teks) yang berhubungan dengan jinayat atau hukum pidana, masih mungkin untuk diolah dan ditafsirkan secara kontekstual, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi, serta mashlahah sebagai pijakan. Bahkan dalam menjatuhkan hukuman Hudud dan Qishas, dibutuhkan syarat-syarat yang sangat ketat dan teliti.

Pelaksanaan Hukum Pidana Islam
Syariat membagi criminal action menjadi tiga klasifikasi:
Kejahatan khusus atau ‘al-Hudud’ (The Fixed Punishment)
Kejahatan terhadap jiwa dan tubuh manusia atau ‘al-Qishas’ (Retaliation)
Kejahatan lain yang hukumannya diserahkan pada keputusan menurut kebijaksanaan hakim yang disebut ‘at-Ta`zir’ (The Discretionary Punishment)
Pembunuhan termasuk jenis kedua yang diancam dengan ‘Qishas’. Namun, pembunuhan dibagi lagi menjadi tiga jenis; sengaja, tidak sengaja dan tersalah. Qishas hanya dikenal dalam pembunuhan sengaja. Dan qishaspun bukan satu-satunya hukuman untuk pembunuhan sengaja. Tetapi ada hukuman alternatif (diyat) dalam bentuk ganti rugi finansial seharga seratus ekor unta jika keluarga korban memaafkan (lihat; al-Baqoroh:178). Bahkan ada pendapat, bahwa pemberian maaf ini lebih sesuai dengan spirit Islam.
Ketika qishas hanya boleh dijatuhkan dalam jenis sengaja, maka dalam hal tidak sengaja tidak boleh dijatuhkan qishas, dan hanya ada hukuman diyat. Apalagi bagi pembunuhan tersalah, maka yang wajib adalah diyat dan kaffarat. Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, dengan SK no 100 tgl 6/11/1390 H. menetapkan besarnya diyat 27.000 riyal untuk pembunuhan sengaja dan tidak sengaja.

Jika Islam telah melindungi jiwa manusia dari kejahatan pembunuhan dengan penetapan qishas, maka dalam bobot yang sama, Islam sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman pada si tertuduh. Dalam hal ini, Islam mengakui empat faktor: 1. Kesaksian (testimony) dari dua lelaki yang tidak diragukan kejujurannya, 2. Pengakuan dari tertuduh (confession), 3. Barang bukti (circumstantial evidence), dan 4. Keyakinan hakim (the judge’s personal observation).
Tentunya, Islam sangat selektif dalam menerima kesaksian. Pun, mengingat sulitnya memenuhi tanda bukti bagi suatu kejahatan, para yuris Islam merumuskan kaidah yang sangat manusiawi berupa ‘Dar`ul Hudud bi as-Syubuhat’ (menghindari hukuman Hudud jika terdapat hal-hal yang meragukan). Saking ketatnya, sistem pembuktian Islam ini mendapat pujian dari N.J Coulson, pakar hukum asal Inggris dalam bukunya ‘A History of Islamic Law’ sebagai “pembuktian paling tinggi tingkat keyakinannya”.

Konsepsi Syari`ah dan Relevansinya
Perdebatan kontekstualisasi pemikiran keagamaan adalah upaya untuk menguak nilai-nilai Islam “shaleh li kulli zaman wa makan” yang tersembunyi dibalik teks, selaras dengan visi dan misi maqoshid syari`ah. Syariah -bukan akidah- adalah sesuatu yang dinamis, tidak statis. Kedinamisannya terletak pada kenyataan bahwa syariah menuntut implementasinya dalam kehidupan sosial masyarakat. Sedangkan sosial dan budaya masyarakat itu sendiri senantiasa berkembang dari masa ke masa, dan berbeda antara satu tempat dengan yang lain. Untuk itu, diperlukan ijtihad para yuris dengan melandaskan diri pada prinsip dan kaidah-kaidah umum dalam syariah dan berpijak pada pertimbangan mashlahah, yang pada gilirannya akan menghasilkan suatu produk hukum baru yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat. Produk hukum baru tersebut adalah hasil reinterpretasi dari hukum yang sudah ada sebelumnya, tanpa menggeser hukum-hukum ushul agama yang sifatnya konstan (tsawabit).
Dr. H. Abu Yazid, LL.M mendefinisikan ‘mashlahah’ sebagai suatu kondisi dari upaya untuk mendatangkan sesuatu yang berdampak positif (manfaat) serta menghindarkan diri dari hal-hal yang berdimensi negatif (madharat). Sedangkan Ushul (pokok) merupakan pengetahuan yang dijadikan pijakan dalam berpikir rasional untuk melahirkan hukum-hukum cabang (furu`) serta untuk menertibkan dalil-dalilnya. Disamping itu, ushul juga merupakan tolok ukur untuk menentukan mekanisme pembentukan hukum-hukum cabang agar tidak bergeser dari titik orbitnya. Ilmu ushul dapat diumpamakan sebagai fondasi sebuah bangunan, sementara ilmu furu` dapat diposisikan sebagai bangunan itu sendiri. Bangunan yang tidak dilandaskan pada fondasi yang kuat akan mengakibatkan bangunan itu goyah. Sebaliknya, fondasi yang kuat saja tanpa dibina sebuah bangunan akan sia-sia belaka dan tak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.

Dalam sejarah pemikiran hukum Islam (fiqh) sering kita temui perubahan ketetapan hukum karena pertimbangan mashlahah. Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz, ketika menjabat Gubernur di Madinah, hanya mau memberi keputusan hukum bagi gugatan penggugat bila ia dapat mengajukan dua orang saksi, atau seorang saksi yang disertai sumpah penggugat. Sumpah tersebut dimaksudkan sebagai ganti dari kedudukan seorang saksi lain. Tetapi, setelah Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah yang berkedudukan di Syam, beliau enggan memberikan ketetapan hukum atas pengajuan formula saksi yang sama. Ketika ditanya tentang pendiriannya tersebut, ia menjawab: “kami melihat orang Syam berbeda dengan orang Madinah”. Kebijakan yang diambil oleh Umar ibn Abdul Aziz ini berasas atas pertimbangan bahwa dalam menyikapi satu perkara bisa berbeda berdasarkan perubahan tempat, kondisi dan waktu.

Khalifah Umar bin Khattab juga sering menggunakan ketetapan hukum berdasarkan pertimbangan mashlahah. Hal ini bisa dilihat dari kebijakannya yang tidak menerapkan hukum potong tangan bagi pencuri. Kebijakan tersebut tentu bertentangan dengan dzahir nash (teks) al-Qur`an yang juga diperkuat dengan sunnah fi`liyah. (lihat: Islam Akomodatif, hal. 118-120).
Pertimbangan Umar ibn Khattab dengan tidak menerapkan jenis hukuman ini adalah bahwa hukuman potong tangan tidak memungkinkan untuk diterapkan dalam kondisi masyarakat pada saat itu. Dengan kata lain, mashlahah yang menjadi pijakan ketetapan hukum menuntut adanya jenis hukuman lain untuk kondisi yang serba kekurangan. Dengan demikian, bagi Khalifah Umar, yang paling asasi adalah bagaimana ruh dan ajaran Islam dapat diterapkan demi kemashlahatan umat yang ukurannya tidak sama pada setiap komunitas masyarakat. Adapun ruh dari disyariatkannya hukuman potong tangan bagi pencuri adalah agar pencuri itu jera dari perbuatan buruknya dan masyarakat luas bisa mengambil ‘ibrah (pelajaran) dari kasus tersebut.

Ibn Qayyim al-Jauziyah, seorang ulama madzhab Hanbali, pernah membuat statemen populer, yakni: “Perubahan fatwa disebabkan karena terjadinya perubahan waktu, tempat, dan keadaan”. Lebih jauh lagi beliau berkata: “Syariat Islam berdiri diatas fondasi kebijaksanaan dan kepentingan hidup ummat manusia di dunia dan akhirat. Secara keseluruhan, syariat Islam bercirikan keadilan, rahmah, mashlahah, dan hikmah. Oleh karena itu, setiap masalah yang menyimpang dari sifat keadilan menuju kezaliman, dari rahmah menuju azab, dari mashlahah menuju mafsadah, dari hikmah menuju kesia-siaan, maka masalah tersebut tidaklah termasuk dalam lingkaran syariat Islam walaupun dipaksakan untuk dimasukkannya dengan jalan takwil (lihat: I`lam al-Muwaqqi`in `an Rabb al-Alamin, Juz III, hal. 11).

Konklusi
Pembahasan mengenai syariah hampir tak ada habisnya, karena ia mencakup bagian yang sangat luas di segala bidang kehidupan. Ia tak hanya mencakup aspek hukum, karena ia dapat meluas ke arah dakwah, budaya, sosial, bahkan hingga pada masalah politik dan ekonomi.
Terkadang kita kehilangan daya untuk menangkap esensi dan substansi dari syariah itu sendiri. Kita terjebak memahami syariah hanya pada masalah fiqh dan masalah halal haram. Atau menganggapnya hanya terbatas pada masalah hukum-hukum yang identik dengan kekejaman, tidak humanis, atau bahkan melanggar HAM, hingga tak jarang menjadi stimulus tumbuhnya ‘penyakit’ islamophobia di kalangan masyarakat.

Jika demikian, mengapa penerapan syariah tidak diawali dengan membangun sistem politik, ekonomi, sosial, budaya yang mampu membawa kesejahteraan dan kemajuan bagi kita semua? Mengapa prinsip-prinsip dan nilai akidah tidak dieksplorasi terlebih dahulu? Mengapa penerapan syariah Islam tidak kita orientasikan untuk menciptakan sistem pendidikan yang mampu melahirkan anak didik yang bertanggung jawab, santun dan bermoral?
Yang menjadi hal mendasar adalah; bagaimana ruh dan ajaran Islam dapat diterapkan demi kemashlahatan ummat, dan masyarakat menjalankan etos Islam dengan penuh kesadaran, kemudian negara menegakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat yang egalitarian. Bukankah yang demikian merupakan bentuk implementasi syariah pula? Bukankah prinsip-prinsip universalisme syariah -dengan tanpa menabrak prinsip ushul agama- mampu berinteraksi dengan budaya lokal yang partikular? Dan bukankah hal itu pula yang menjadikan syariah Islam shalih li kulli zaman wa makan?
Ajaran Islam senantiasa relevan kapanpun dan dimanapun, karena ia merupakan agama yang ashlah dan universal. Sedangkan universalisme Islam itu sendiri terletak pada kemampuannya menjawab tantangan zaman. Wallahu muwaffiq `ala aqwami at-thariq.[]

*Mahasiswi program LL.B (Hons), Fakultas Syariah & Hukum IIU Islamabad, Pakistan.

Referensi:
Abdul Qadir `Udah. At-Tasyri` al-Jinaiy al-Islamy: Muqaranan bil-Qanun al-Wadh`i. Jilid I. Dar at-Turats: Kairo.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah. I`lam al-Muwaqqi`in `an Rabb al-Alamin. Juz III. Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut.
Dr. H. Abu Yazid, LL.M. Islam Akomodatif (Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama Universal). LKiS: Yogyakarta. Cetakan I, Mei 2004.
Dr. Daud Rasyid, MA. Islam & Reformasi (Telaah Kritis Atas Keruntuhan Rezim-Rezim Diktator dan Keharusan Kembali Kepada Syari`ah). Usamah Press: Jakarta. Cetakan I, September 2001.
Muhtadi Kadi dan Sukron Makmun, ed. Diskursus Kontekstualisasi Pemikiran Islam. KSW Press: Kairo. Cetakan Pertama, November 2003.
Dr. `Aidh Abdullah Al-Qarmy. Jangan Takut Hadapi Hidup. Masrukhin, ed. Cakrawala Publishing: Jakarta. Cetakan I, Juni 2005.
Dr. Muhammad Muslehuddin. Islam and Its Political System: Islamic Law. Islamic Trust International Islamic University Islamabad Pakistan, 1998.

*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Dinamika, majalah yang diterbitkan Dept. Media & Informasi PPMI Pakistan

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


 

Design by Amanda @ Blogger Buster